HAKIKAT SALAT

 

HAKIKAT SALAT

Oleh

Ma'ruf Zahran Sabran

Menurut rasam Usmani (gaya tulisan dari sahabat Usman bin Affan, beliau adalah hamalatul-qur'an), tulisan salat terangkai atas rangkaian kata shad, lam, waw, ha. Dari kata shalah (Indonesia: salat), memiliki turunan kata (derivatif) kata shalawat (Indonesia: selawat) dan silaturrahim. Ketiga kata ini, salat, selawat dan silaturrahim mengandung kesamaan yaitu sambungan, persambungan atau hubungan. Ketiganya tidak boleh putus, bila kita mengingini harmoni kehidupan. Kehidupan ada dua, kehidupan jasmani dan kehidupan rohani. Kepastian dualitas yang diciptakan Tuhan, sangat nyata di alam semesta. Faktanya, matahari  memiliki dua tempat terbit atau dua timur (masyriqaini). Dan dua tempat terbenam, dua barat (maghribaini). Berdasarkan firman Tuhan: "Tuhan yang memelihara dua timur, dan Tuhan yang memelihara dua barat." (Arrahman: 33).  Surga-Nya juga ada dua (jannataini) sebagai ganjaran (reward) orang-orang yang takut kepada Tuhan. Takut dalam mendekat kepada Allah (muraqabah), bukan dalam arti takut kepada-Nya, lalu menjauh. "Dan bagi siapa yang takut terhadap kekuasaan Tuhan-nya, dua surga untuknya." (Arrahman: 46). Surah Arrahman merupakan surah yang diistilahkan dengan penganten Alquran, karena banyak memuat kreasi penciptaan yang berpasangan (dualitas).

Dalam konteks salat, ada salat syariat dan ada salat hakikat. Meski dalam praktik, keduanya dikerjakan secara simultan (bersamaan). Dalam salat syariat terhimpun salat hakikat. Dalam salat hakikat terkumpul salat syariat. Namun, sosok ego syariat banyak mendominasi salat manusia. Sosok ego hakikat, banyak pula mendominasi salat manusia. Jika salat masih berperantara, antara manusia dan Tuhan, maka wilayah antara tersebut itulah ego diri. Salat yang demikian, bukan semakin mendekatkan diri dengan Allah yang sejati, tetapi semakin menjauhkan diri dari pusat kesadaran. Lalu menuhankan ego. Arogansi menjadi hakim terhadap keimanan, ketakwaan orang lain. Arogansi menjadi pengawas bagi salat dan puasa orang lain. Artinya, salat yang menggelapkan cahaya diri, bukan salat yang menerangi hati.

Umpama salat yang ditolak, seperti kain kotor yang dilemparkan ke muka orang yang salat. Hadis tersebut selalu pahami secara syariat. Misal, tidak tumakninah bacaan dan gerakan salat. Namun, fokus pada salat syariat saja, kerap melupakan esensi (hakikat) ketuhanan. Esensi ketuhanan adalah unsur utama di alam semesta, meski ghaib. Esensi penggerak dan esensi pembaca, inilah tujuan hakikat salat. Ketiadaan diri, kecuali yang membaca dan yang dibaca yaitu Dia (Allah). Dia akan lebur kedalam Engkau. Engkau akan lebur kedalam Aku. Salat adalah komunikasi yang tidak berjarak, penting untuk dipahami dan dihayati (Aku dengan Aku). Wajib dipahami secara spiritualitas, bukan materialitas.

Sedang salat bila diterima, diumpamakan pakaian bersih lagi putih yang sampai kehadirat Allah Swt. Indikator salat diterima, berupa salat yang menjadi energi positif. Berhikmah, bermanfaat, berguna bagi orang lain sebagai ekses dari salat yang didirikan. Untuk mengetes salat para musalli, lihat pada saat kehidupan keseharian. Bisakah menjaga lisan sebagai cermin rukun qauliyah (bacaan). Bisakah menjaga perbuatan sebagai cermin rukun fi'liyah (perbuatan). Bisakah menjaga hati sebagai cermin rukun qalbiyah (batin). Artinya, nilai salat terimplementasi pada kehidupan keseharian sebagai dampak salat.

Perlu diwaspadai, orang yang ahli syariat, banyak menghukum orang lain dari segi syariat. Orang yang alim hakikat, sering menghukum orang lain dari aspek hakikat. Keduanya belum menyadari siapa mereka sebenarnya diantara kosmologi alam semesta yang tunduk pada rancangan Tuhan. Manusia sangat mudah sekali untuk menuruti ajakan jahat yang berbisik di kawasan dada manusia (shudurin-nas). Misal, dia tidak menyakiti manusia dengan memukul dan menendang tubuh melalui tangan atau kaki. Namun, sudahkah dimengerti bahwa memukul bisa lebih keras dengan menggunakan lisan yang lancar dalam mencela. Celaan dan kritikan bedanya sangat halus, bisa ditinjau dari materi yang disampaikan, atau gaya bahasa yang digunakan, atau timing (situasi, kondisi, waktu, tempat) saat menyampaikan kritik. Bila kritik disampaikan secara luas, bukan nasehati. Tetapi mencederai "air muka" orang lain di majelis (dunia maya). Termasuk media sosial yang digunakan untuk menghujat orang lain, merupakan dosa berkelanjutan. Karena, jejak rekam digital tidak mudah untuk dihapus.

Ketika salat, bukan sebatas  menghadirkan formalitas syariat dan spiritualitas hakikat. Sebab, penghadiran keduanya (fikhi dan tasawufi) hanyalah berputar disekitar alam pikiran dan alam perasaan saja. Sementara ahli salat tidak sedang kemana-mana, belum miraj. Imam Ahmad ibnu Athaillah Assakandari rahimahullah (wafat: Mesir, 709 H) mengibaratkan seekor keledai yang diikat dengan tali kekangnya pada pohon kurma, maka dia hanya berputar disekitar pohon kurma. Namun menyangka telah pergi kemana-mana. Hari ini, betapa banyak orang yang salat, salatnya stagnan. Sangat fikih oriented, dari niat sampai salam. Paling tinggi, salat berfokus munajat, tetapi tidak memberi dampak (atsar).

Salat yang benar, dia mampu menjadi kompas kehidupan. Musafahat, salat yang mampu menjadi musafahat bagi pendiri salat, tidak sekadar salat munajat. Salat yang bernilai musafahat yang sanggup menjaga mushalli berupa menghindari perbuatan keji dan mungkar (baca surah Al-Ankabut: 45). Maksudnya, salat yang bersifat musafahat akan mampu berdampak positif, dari ibadah menuju Tuhan. Bukan berarti setelah salam, habis pula nilai yang terkandung dalam salat. Idealnya, keseluruhan salat seharusnya berdampak positif terhadap perbuatan dan perkataan sehari-hari, serta menjaga hati. Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN