RESONANSI IDULFITRI SALING MEMAAFKAN

 

RESONANSI IDULFITRI SALING MEMAAFKAN

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

PENTING, jangan terganjal masuk surga, karena masih terdapat persoalan di dunia. Jangan merasa sanggup menuntut dosa orang lain di akhirat. Alam akhirat sangat mencekam, lama dan sangat lama. Untuk diajukan berkas perkara tuntutan. Antri dan sangat melelahkan. Melalui artikel ini, penulis menyarankan agar bisa memaafkan kesalahan orang lain. Kesalahan siapapun, jangan dituntut di akhirat. Sebab, memaafkan jauh lebih mulia daripada menuntut balas, atau pelunasan hutang dan janji.  Justru, kedua pihak yang bertikai, beradu argumen dan berdebat. Bisa jadi, keduanya dimasukkan ke dalam neraka. Karena berhati busuk, dan perdebatan yang tidak pernah usai. Kemaafan, keampunan, kedamaian, lebih dicintai Allah SWT daripada kebencian dan cerai-berai. Meskipun orang tersebut, rajin beribadah dan bolak-balik haji/umrah.

Orang yang tidak mau berubah, pertanda tidak mendapat lailatul qadar. Tanyakan lailatul qadar kepada diri sendiri. Islam adalah jalan hidup (way of life). Istilah jalan, cara, sangat banyak ditemui dalam kitab suci Alquran seperti sabil (jamak subuh),  thariqah, syariat. Semuanya menunjuk pada sikap dinamis, tidak statis. Bila Islam identik dengan perubahan, seharusnya setiap tahun di bulan Ramadan, terjadi perubahan mendasar. Beragama yang sekarang, jangan terhenti pada satu titik. Namun, carilah jalan-jalan yang dapat mengantarkanmu (wabtaghu ilaihil washilah) kepada Tuhan yang sejati ditaati.

Orang yang setakat ini, terhenti pada satu medan. Tanpa mau menempuh medan-medan lain (stagnan). Dalam arti berorientasi sebatas kepada diri sendiri (ego sentris), hanya memandang kepada kelebihan diri, tanpa melihat kepada kekurangan diri. Ego sentris inilah berhala dalam diri yang sangat berbahaya, daripada berhala-berhala luar diri. Ego sentris berhala dalam diri seperti suka mengatur orang lain. Suka menggurui, suka menanyakan soal kemampuan orang lain. Karena ego sentris berhala dalam diri telah memandang diri menyandang kemampuan, keilmuan, kemuliaan. Tipe berhala diri lebih senang menghardik daripada mendidik, dapat diketahui dari nada dan gaya bahasa yang dilontarkan. Lisan yang belum selamat dari menghujat dan mengumpat, niscaya dia sedang membangun neraka Hutamah untuk dirinya. Neraka Hutamah diperuntukkan khusus bagi orang yang beragama hanya tertuju ke luar diri, implikasinya suka mencela, menghujat, mengumpat. Serta senang menyimpan koleksi asesoris duniawi, dan selalu dibicarakan. Tranding topik tentang mobil, tentang rumah, sawah, sekolah, ilmu pengetahuan, kekayaan, ibadah. Pokoknya, tema pembicaraan yang selain Allah. Tetapi yang dibicarakan adalah tuhan-tuhan yang disenangi napsu. Termasuk ibadah, bila niatnya adalah napsu ingin meraup pahala yang banyak. Lalu, dengan sebab pahala, amal diri yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga Tuhan. Kemudian, menepis Allah SWT sang pemilik amal dan sang pemilik surga.

Resonansi idulfitri bukan saja dampak, tetapi juga sebab yang terbit dari dalam diri untuk memaafkan. Dengan rangsangan idulfitri, seseorang yang beriman menjadikan pemberian maaf adalah postur diri batin. Artinya, resonansi idulfitri tentang gerakan memaafkan, tumbuh dari kehidupan batin yang melembaga (internalisasi) pada kehidupan. Terimplementasi pada kelahiran suci kembali.

Sebenarnya, latihan (riyadah) untuk memaafkan sudah harus terbit, tumbuh, kembang, sejak Rajab (bulan isra' mi'raj), Syakban bulan arwah, finalnya terdapat di Ramadan (bulan umat), berakhir pada Syawal (peningkatan). Kesadaran (counsiusness) dalam ibadah salat, zakat, puasa, haji melatih dua sifat (karakter). Karakter syukur dan karakter sabar. Ternyata, melatih karakter syukur lebih sulit daripada melatih karakter sabar. Sebab, kesyukuran berada dalam lingkup kesenangan. Kesabaran berada dalam lingkup kesusahan. Orang yang susah, lebih mudah mengingat Allah daripada orang yang berada dalam lindungan keamanan. Keamanan identik dengan lalai, kesenangan dengan lengah, kebahagiaan dengan pongah, kedamaian dengan lupa.

Kehadiran kehidupan di dunia, wajib dijadikan untuk beriman dan wahana amal saleh. Sungguh besar kerugian orang yang tidak mengimani Allah dan Rasul-Nya. Penting, surah Alma'arij untuk dibaca, guna menunjukkan finalti kedurhakaan terhadap kesucian (fitrah), karena sikap keingkaran. Hari itu, keimanan tidak bisa ditebus dengan harta, meski seluruh bumi berisi emas. Keimanan dan amal saleh tidak sanggup ditukar-ganti, meski dengan keluarga, anak, istri/sumi. Bahkan semua manusia, tidak diterima tebusan mereka. Tidak! Sungguh mereka akan dilempar ke neraka Ladza.

Lisensi takwa diantaranya adalah insan pemaaf. Pemaaf yang sudah menjadi karakter (watak) takwa. Memberi maaf, lebih mulia nilai dan mutunya daripada meminta maaf, sudah inheren (melekat pada diri). Indikator takwa yang dimaksud berdasarkan firman Tuhan. Surah Ali Imran ayat 133-136. Surah dan ayat ini, mengingatkan penulis pada almarhum ayahnda tercinta, H. Zahran. Sering beliau membacanya, saat menjadi imam di surau Nurul Huda dan di masjid besar Attakwa Pemangkat. Orang yang memberi maaf, di akhirat kelak akan Allah SWT maafkan. Tiket masuk surga tanpa hisab. Sebab, orang yang rela memberi maaf, biasanya berada pada posisi benar tetapi tidak sombong. Kerap kali, orang yang meminta maaf juga menunjukkan kesadaran akan kesalahan egonya. Meminta dan memberi maaf (saling memaafkan), keduanya adalah akhlak yang mulia. Ironi, sekira yang salah, tetapi membantah. Sudah tahu salah, tetapi masih menyanggah. Orang yang selalu mengaku benar, sungguh berdosa hatinya.

Novelty (kebaruan) takwa lebih lanjut, tidak sekedar memberi maaf. Namun sanggup membangun relasi kemanusiaan non strata (ashlihu bainan-nas). Nilai kebaruan, kembali kepada kesucian (idulfitri) yang dibangun dari puing-puing dosa yang berkeping. Oleh sebab itu, surga lebih dekat kepada orang-orang yang bertakwa. Dan surga diperuntukkan untuk mereka (lil-muttaqin). Finalisasi penghuni surga (jannah)  bercirikan menafkahkan hartanya saat lapang dan sempit, baik sedikit maupun banyak. Menandakan manusia takwa tidak bakhil, bukan pengumpul materi, dan bukan penimbun harta. Sebab bila pengumpul dan penimbun, justru semakin kurang. Sifat harta adalah kurang, harta merupakan digit yang tidak terbatas. Akan terbatas, jika sudah mati (mulut ditimbun tanah). Mulut selalu bicara, sebagai modal untuk mencari harta. Terkecuali mulut yang sudah "disumpal" oleh tanah (mati). Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN