JALAN SUNYI
JALAN SUNYI
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Banyak orang linglung menghadapi
cabaran kehidupan. Semakin tua usia bumi, semakin jauh dari kebahagiaan.
Sepertinya, tema sabar dalam khutbah, hanya selesai di atas mimbar. Namun,
belum merealita di bumi. Sabar di sini, hanya sebatas ideologi langit.
Sebelum merasakan bahwa sabar
identik dengan kebahagiaan, dan bahagia adalah sabar. Kita, wajib mengenal
siapa yang sabar, dan maha sabar (Ash-shabur). Maha sabar (Tuhan), memberi
cahaya kepada yang sabar (Muhammad). Sampai terbit kesabaran pada aku, kamu,
kami, dan kita. Pancaran cahaya Tuhan (emanasi) dari dua sumber induk
sifat-Nya. Aljalal dan Aljamal.
Jalali dan jamali-Nya, wajib
disabari. Menyabari jalali-Nya (sifat keagungan) adalah sangat wajar. Sebab
harus dan tidak ada pilihan lain. Pecahan dari induk sifat jalal adalah
Adh-dhar (memberi derita). Pacutan cemeti sengsara dari-Nya, mesti disambut
dengan sabar. Aljabbar, sang maha pemaksa, sifat-Nya yang wajib direspon dengan
sabar.
Lalu, induk jamali (keindahan)
berupa Arrahman, maha pengasih. Arrahim, maha penyayang. Alhalim, maha
penyantun. Bagi sebagian besar orang mensyukuri sifat keindahan, kecantikan
Tuhan. Namun, bagi sebagian kecil orang, menyabarinya. Kenapa gerangan?
Menempuh jalan kecil yang sepi,
sunyi. Watak utama para sufi, sufi malamatiyah. Kalah pamer dalam pacuan kuda
akademik. Dia adalah bingkai usang yang tersimpan di pojok beranda belakang
rumah. Tidak ada ciri yang istimewa dari dirinya. Bersahaja, ada adanya. Tidak
meminta, bukan berarti sombong. Tapi, menjaga marwah ketuhanan yang terdapat di
dalam diri yang mendapat petunjuk (baca: Yasin ayat 21). "Ikutilah seruan
orang-orang yang tidak mengharap upah darimu. Mereka adalah orang-orang yang
berada dalam kepastian petunjuk."
Sudah bisa menikmati rahmat
adalah rahmat. Juga, menikmati bala' (musibah) adalah rahmat. Itulah jalan
sunyi, senyap, lenyap, yang sudah ditempuh oleh sahabat sufi. Tidak lagi
terpandang kepada isyarat yang datang dan isyarat yang pulang. Sebab isyarat
sudah ada di dalam, kedalaman baqaillah. Kecuali, menjalani kehidupan dengan
merdeka. Sebagaimana Aku datang sendiri, dan Aku pulang sendiri. Tanpa bersama
dengan kata aku, kamu, kami, kita. Tuntaskan Aku. Bila telah mengenal Aku,
pasti hancur semesta.
Perlu latihan jiwa (mujahadah).
Dari terpisah hingga mengenal. Dari mengenal, lalu mendekat. Tawajjuh,
melihatlah dengan mata-Nya. Mendengar dengan telinga-Nya. Bercakap dengan
lisan-Nya. Nabi Ibrahim sudah mengikrarkan dan menjadi sumpahnya. "Inni
wajjahtu wajhiya..." (baca: Al-An'am ayat 79). Finalti ucapan setelah
melewati, menempuh proses panjang pencarian Tuhan. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar