MENELAAH ARTI HIJRAH
MENELAAH
ARTI HIJRAH
Oleh
Ma’ruf
Zahran Sabran
Dahulu,
bila kalender Yunani kuno, hanya mengenal sepuluh bulan dalam setahun. Sedang
Islam menyatakan, dalam setahun terdapat dua belas bulan. Disamping
berkesesuaian kata qamar, yang artinya bulan. Penyebutan qamar dalam Alquran
sebanyak 12 kali. Sedang penyebutan yaum (jamak: ayyam), yang artinya hari.
Muncul dalam Alquran sebanyak 360 kali penyebutan kata yaum. Menunjukkan dalam
setahun berjumlah 360 hari. Meski untuk banyak kepentingan, seperti hari
kiamat, hari dunia, hari akhirat, hari pilihan yang agung, dan lainnya. Dalam
firman: "Sungguh, perhitungan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan.
Di dalam kitab Allah, sebagai ketetapan hari (masa) penciptaan langit dan bumi.
Di sisi-Nya terdapat empat bulan yang disucikan. Itulah agama yang benar."
(Attaubah:36).
Hijrah
bukan sekedar mengganti kostum. Hijrah tidak sebatas berpindah secara fisik
(migration). Bukan hanya berpindah sapaan dari ayah kepada abi, dari ibu
menjadi ummi. Akhi dan ukhti. Utamanya, yang dikehendaki adalah hijrah yang
berarti peralihan dari syirik kepada tauhid. Maksudnya, dari menuhankan materi,
mempertuankan sesuatu yang tidak layak untuk dipertuankan. Menuju kepada tauhid
sejati. Tidak tergambar, bukan tulisan dan bacaan. Beriman dalam kegaiban.
Dalam kegaiban, kaum beriman mendirikan salat. Dalam kegaiban pula, mereka
menafkahkan rezeki di jalan Allah SWT.
Orang-orang
yang hijrah (muhajirin), tidak semata nampak dari cadar yang dipakai, atau
jenggot yang tumbuh lebat. Namun, bagaimana sang muhajir merubah dirinya dari
tamak kepada dunia, menuju sikap zuhud (mementingkan akhirat). Arti hijrah
disini, lebih berdimensi batiniah daripada lahiriah. Sebab tidak ada hubungan
yang signifikan antara performa (tampilan) dengan sikap batin. Maksudnya, hijrah
akan menyata pada saat melunaskan utang kepada piutang yang tidak mampu. Hijrah
lebih menyata pada sikap membantu tanpa pamrih, ikhlas. Hijrah terbukti dengan
sikap rendah hati, tidak menganggap diri suci. Hijrah tampak pada sikap
memaafkan, meskipun batin tersakiti. Menerima kesalahan orang lain, dan
memaafkan, berbuat baik kepada yang bersalah tanpa syarat.
Sudahkah
profil ini menyatu pada jiwa si-muhajir. Secara implisit, Rasulullah SAW
menyatakan, bukan dinamakan hijrah, jika motivasi untuk meraih dunia, atau
karena perempuan yang ingin dinikahi. Jelas, motivasi materi (kebendaan) dunia,
bukan menjadi tujuan hijrah. Hijrah menuju tauhid (keesaan) artinya meniadakan
peran majemuk dari makhluk. Meneguhkan peran kuasa Allah SWT pada tiap-tiap
sesuatu. Meyakini, sungguh bumi yang berputar pada porosnya adalah kuasa Allah
SWT. Auto, menghapus peran makhluk, kecuali diperankan oleh Allah SWT, Tuhan
yang maha esa.
Inilah
jalan kemerdekaan abadi dan jalan pelepasan total, yang menyebabkan seseorang
tidak berutang kepada orang lain. Orang yang sudah berjalan pada jalan hijrah,
bermakna dapat menemukan jurus pelepasan. Dia dapat melepaskan seseorang dari
jerami kesakitan hidup. Memberi semangat (spirit) bahwa manusia sangat
berharga, sebagai kreasi Tuhan yang paling agung. Selalu mencari solusi, tanpa
menyinggung perasaan orang lain. Karena keyakinan kepada takdir sudah tuntas.
Dari alif hingga ya. Terus, pola hijrah yang membangkitkan semangat, perlu
dituruti. Hijrah yang menembus ke akar inti (esensial), bukan arti pinggiran
(feriferal). Buktinya, menyeleksi kata-kata yang berguna, membuang basa-basi.
Tampil sederhana secara tulus, kesahajaan. Bukan pencitraan palsu untuk mencari
"panggung." Maksudnya, hijrah bukan Arabisasi, namun Islamisasi.
Bukan upaya mencetak orang menjadi Arab. Namun, proses menjadikan orang selaku
muslim.
Faktanya,
tidak ada satupun seruan dalam Alquran kepada bangsa Arab (ya ayyuhal
'arabiyyun). Tetapi seruan Alquran kepada manusia (ya ayyuhan-nas), dan
panggilan kepada orang-orang yang beriman (ya ayyuhalladzina amanu). Seruan
hijrah dari permusuhan kepada persaudaraan. Ajakan hijrah dari perpecahan
menuju persatuan.
Menunjukkan
bahwa Islam bukan agama sektarian, dan bukan ajaran cauvinistik. Islam ajaran
yang lintas suku, etnis, organisasi, negara. Dan, ajaran Islam lintas pranata
sosial, ideologi, politik, ekonomi. Termasuk lintas pranata agama yang
berinstitusi. Islam tidak mengenal manusia suci, namun adab tetap dikedepankan.
Antara guru dengan murid yang saling beradab. Antara imam dengan jamaah,
sehingga tumbuh terjalin hubungan kasih sayang diantara keduanya.
Hijrah
dari kufur nikmat menuju ke syukur nikmat. Mengemuka kufur nikmat, niscaya
siksa yang datang. Mengapa gerangan? Orang yang kufur nikmat adalah tidak
berterimakasih kepada pemberian Allah SWT. Nikmat Allah SWT dinilai nihil,
memantik jiwa yang tidak puas. Lalu dia mencela nikmat. Otomatis, nikmat yang
sudah dicela, tidak akan pernah datang lagi. Siapapun yang bermusuh dengan
nikmat, pasti nikmat-nikmat yang lain, tidak tercurah lagi. Karena, satu nikmat
Tuhan memiliki banyak komunitas di jaringan komunikasi mereka. Jiwa solidaritas
yang mereka miliki. Maknanya, dalam pandangan Tuhan, tidak ada makhluk
an-organik. Semua yang diciptakan bergerak, bernapas dan merasa.
Setelah
hijrah, adalah posisi syukur yang tidak bergeser lagi. Bukan berarti tidak mau
bergaul, tetapi membatasi pembicaraan yang tidak berguna. Pabila pembicaraan
tidak menjurus kepada nasehat takwa, sebaiknya dihindari. Takwa yang
indikatornya adalah Alquran, sunnah, doa, tawadhu', dan mengingat kampung
akhirat. Jika tidak itu, terasa sia-sia waktu pembicaraan. Ketika jiwa telah
merasakan resah saat tidak bersama Allah, dan gelisah saat membelakangi
Rasulullah. Ketahuilah, jiwa sedang ditarik (jazbah) ke medan fana fillah.  Hancurlah (faniyah) alam semesta di jiwa.
Terus, dan padamlah (mahiyah) api yang berisi imitasi duniawi. Maksudnya,
materi pembicaraan yang tidak se-kalam, pelan-pelan hindarilah dengan tata
kesantunan dan cara kesopanan.
Memang,
hijrah melahirkan manusia baru, jiwanya. Betapa tidak, dari kufur kepada
syukur. Syukur yang bercirikan menjaga amanah karunia. Menyampaikan amanah
secara jujur, akan mengundang nikmat yang lain. Sekalam dan sejiwa Tuhan,
hamba, syukur,  nikmat. Hingga satu
nikmat yang disyukuri, akan mempromosikan kepada nikmat yang lain sebagai
ajakan kebaikan, untuk datang berkali-kali. Itulah filosofi rezeki yang
disyukuri. Bahwa, syukur sebagai aura positif, melahirkan banyak kebahagiaan.
Hijrah
juga mengingatkan bahwa manusia bersifat lemah. Sungguh kekuatan yang dibina,
dan kekuasaan yang dipertahankan, ibarat menegakkan benang basah. Hijrah
merupakan kesadaran batin tentang titik balik. Bahwa jika sekarang aku ada
(hidup), berarti ada yang menghidupkan. Artinya, dahulu aku mati. Orang yang mati
lalu hidup. Bisakah sombong dalam kehidupan, setelah kematiannya? Bukankah
jalan mensyukuri kehidupan merupakan puncak pengawasan. Untuk tidak
menyia-nyiakan hidup yang hanya sekali ini saja.
Pondasi
paling kokoh berhijrah adalah Alquran. Hijrah bukan semata tanda,  bukan sebatas simbol raga. Tetapi juga hati
yang sensitif merasa. Sanggup mendengar kalam Tuhan yang bersuara di hati
kecil. Artinya, hijrah memberi makna sebagaimana Alquran yang aktif memberikan
peringatan (adz-dzikru). Hijrah dapat bermakna Alfurqan (pembeda). Hijrah dapat
diartikan hikmah (kebijaksanaan), ruh (spirit), huda (petunjuk), rahmah (kasih
sayang), ilham (inspirasi). Bila Alquran pada setiap jiwa sudah aktif, niscaya
dia (Alquran) yang bekerja. Bekerja mengelompokkan dan memisahkan sebagai
fungsi alfurqan bagi muhajir. Bekerja memberi sinyal peringatan dini
(adz-dzikru) bagi muhajir. Wallahua'lam.

Komentar
Posting Komentar