INTENSITAS DIALOG DENGAN ALQURAN
INTENSITAS DIALOG DENGAN ALQURAN
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Pasca Ramadan, intensitas dialog dengan Alquran
wajib semakin mendalam. Karena, setelah Ramadan, ibadah yang meningkat menjadi
indikator puasa wajib Ramadan yang diterima (maqbul). Pembiasaan yang
berkesadaran, bukan pembiasaan karena keterpaksaan.
Pembiasaan karena kebodohan lebih berbahaya daripada
racun ular cobra. Pemikiran keagamaan yang menyimpang lebih berbahaya daripada
opium (ganja). Sebab, kebiasaan yang berbasis kebodohan akan tertular dari
generasi ke generasi (g to g). Pemikiran yang menyimpang akan terus diwariskan
secara viral dan berkelanjutan (sustainable). Berhentilah mewariskan pemikiran
yang menyimpang. Pemikiran yang menyimpang tidak memberikan sisa apa-apa,
kecuali kesesatan. Dalam ranah (diktum) keagamaan mengambil corak ikutan
ekstrim, arogan. Kebiasaan yang buruk, akan terhenti dengan kebaikan yang lebih
kuat daripada keburukan. Akan Kami datangkan hamba-hamba Kami yang memiliki
kekuatan besar. Mereka akan mengamuk di kampung-kampung. Demikian janji ketetapan
yang akan datang waktunya.
Mulailah dengan membuka mata hati yang terang, lisan
bicara yang tenang, dan telinga mendengar yang lengang. Bukan seperti shummum
bukmun 'umyum fahum la ya'qilun (tuli, bisu, buta, maka mereka tidak berakal).
Keadaan tuli hati, bisu hati, buta hati, adalah keadaan tiga petaka yang sangat
menyengsarakan, sedang mereka tidak menyadarinya (wahum la yasy 'urun). Kondisi
ini, berakibat tidak akan pernah kembali lagi kepada Allah (la yarji 'un),
tidak mengetahui (la ya'lamun), tidak bisa berpikir (la ya'qilun), tidak mampu
lagi beramal (la ya'malun), tidak mampu lagi merasa (la yasy 'urun), tidak
mampu lagi menganalisa (la yatafakkarun), tidak kuat lagi bicara (la
yatakallamun), tidak sanggup lagi mengingat (la yadzkurun). Sembilan item
kesesatan, berakhir (khatam) pada kematian (baca Albaqarah:7).
Dengan firman Tuhan: "Allah telah mengunci mati
hati mereka, pendengaran mereka, penglihatan mereka, terdapat benteng
(penghalang). Dan bagi mereka siksa yang pedih." (Albaqarah:7). Siksa yang
pedih akan menimpa orang-orang kafir dan munafik. Ayat Alquran di awal surah
Albaqarah telah menjelaskan tiga manusia beserta perannya (peran batin). Ketiga
peran batin tersebut adalah orang-orang yang takwa (muttaqun), orang-orang yang
durhaka lagi mendustakan (kafirun), orang-orang yang bermuka dua (munafiqun).
Mengingat fungsi Alquran sebagai peringatan (adz-dzikru), maka posisi manusia
zahir, "menonton" perilaku manusia batin. Manusia batin yang bekerja.
Pekerjaan tipologi muttaqun, kafirun, munafiqun. Artinya, harus ada jarak
antara manusia zahir dengan manusia batin. Pengambilan jarak itu, berguna bagi
muhasabah (evaluasi) diri.
Manusia zahir berdimensi bumi (ard), sedang manusia
batin berdimensi langit (samawat). Bukankah keduanya berjarak. Jarak, jeda,
berada dalam liputan rahmat Allah SWT. Supaya tidak terseret oleh rasa sedih,
takut, kecewa, khawatir, ragu, gembira, pesta, buatlah jarak dari dua jiwa
(jiwa bumi dan jiwa langit).
Hakikatnya, Alquran dengan 30 juz atau 30 bagian
adalah kalamullah yang tertulis. Akibat tertulis sehingga terbaca, terhimpun,
terkodifikasi dalam lembaran kertas berupa huruf, kata, kalimat, ayat, surah
dan juz. Hasil kodifikasi Alquran terhimpun pada mushaf Usmani. Atau gaya
tulisan rasam Usman bin Affan yang menjadi corak ikutan seluruh umat di dunia.
Dalam kajian batin, mushaf Alquran sebagai yang
dibaca, bila di luar diri, disebut ayat-ayat tertulis (kitabiyah) berjumlah 30
juz. Sedang Alquran yang terbentang di alam semesta, keberadaan nya disebut
ayat-ayat tercipta (kauniyah). Meski, ayat kealaman tidak terhitung banyaknya.
Namun, ahli batin mengatakan terdapat 20 juz entitas ayat tersimpan di alam.
Kalkulasi 30 juz ditambah 20 juz berjumlah 50 juz. 50 juz ini, wajib dibaca
oleh 1 juz di dalam diri. Maksudnya, 1 juz membaca 50 juz. Memaca 30 juz
Alquran yang tertulis, dan membaca 20 juz Alquran yang tercipta. Wahyu pertama
adalah membaca satu diri (iqra' bismi rabbikalladzi khalaq). Bermaksud,
interaksi diri dengan Alquran, lebih diintensifkan guna memahami kitab diri (baca:
Al-Isra':13-14).
Intensitas interaksi (dialog) Alquran adalah
mendialogkan tiga karakter (sifat) dengan diri batin, saat diri zahir
"memerhatikan" sepak terjang tiga diri batin beserta identitasnya
(ciri). Pola pertama, enam pencirian (karakteristik populasi) orang yang takwa
(baca: Albaqarah:3-5). "Mereka beriman kepada yang ghaib, mendirikan
salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan
mereka yang beriman kepada Alquran yang diturunkan kepada kamu. Dan yang diturunkan
sebelummu (Taurat, Zabur, Injil). Dan mereka yang yakin kepada hari
akhir."
Pola kedua, dua item karakter orang yang ingkar,
durhaka dan mendustakan. Firman Tuhan: "Sesungguhnya orang-orang kafir
ialah sama saja bagi mereka. Kamu beri peringatan, atau tidak kamu beri
peringatan, mereka tetap tidak beriman. Allah telah menutup hati mereka,
pendengaran, penglihatan, ada benteng (perintang). Dan bagi mereka siksa yang
pedih." (Albaqarah:6-7).Dua ciri mereka, tidak beriman. Karena mati hati
(tidak merasa), mati pendengaran (tuli), mati penglihatan (buta). Terdapat
penghalang antara mereka dengan Allah SWT berupa lapisan hijab (dinding) yaitu
kesombongan. Palu sang-hakim memutuskan, kepastian siksa neraka untuk mereka.
Pola ketiga,
sebelas karakter untuk orang-orang munafik (munafiqun). Mereka adalah
mengaku beriman, tetapi tidak beriman. Menipu Allah dan menipu orang-orang yang
beriman. Tidak memiliki kesadaran, di hati mereka terdapat penyakit dengki.
Mendustakan ayat-ayat Allah, lalu berbuat kerusakan. Namun, merasa melakukan
upaya perbaikan. Menghina orang yang beriman sebagai orang yang kurang akal
(sufaha'). Mengaku beriman, tetapi mereka adalah antek-antek syaitan, serta
menjadikan iman sebagai bahan gurauan. Mereka membeli kesesatan dengan
petunjuk. Mereka tuli, bisu, buta, mereka tidak menemukan jalan kembali (kepada
Tuhan). Terakhir, mereka takut mati. Sebelas karakter (ciri khas) orang munafik
terhimpun di dalam surah Albaqarah sebanyak tiga belas ayat (8-20). Jadi,
keseringan (intensitas) berdialog dengan ayat suci, berdampak tersingkapnya
tabir-tabir ketuhanan (mukasyafah rububiyah).
Tujuan literasi ini ditulis guna memahami kitab diri
sendiri, bukan mengkritik kitab diri orang lain. Perkataan dan perbuatan tidak
untuk menghakimi (judgement) orang lain dan keadaan. Namun, pembacaan terhadap
diri zahir untuk memperbaiki karakter diri batin. Sehingga mendekati akhlak
terpuji, dan menjauhi akhlak tercela. Sebaliknya, jika seseorang dalam hidup
senang mencari-cari kesalahan orang lain, pertanda dia belum belajar. Atau,
medan hatinya masih mati (qalbun mayyit). Jika masih suka menyalahkan diri
sendiri, penciri dia sedang belajar. Namun, hatinya masih sakit (qalbun
maridh), hati yang belum sehat total. Harapan tulisan ini membentang hati yang
sehat (qalbun salim). Qalbun salim yang bercirikan tidak menyalahkan diri
sendiri, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak lagi menyalahkan keadaan.
Tetapi, secara bertahap, diam, dan pelan memperbaiki diri sendiri dan
lingkungan. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar