KEBEBASAN BERKEHENDAK
KEBEBASAN BERKEHENDAK
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Kebebasan berkehendak memiliki dua arti. Arti positif dan arti
negatif. Saat diri siap menjadi alat peraga dari Allah SWT. Saat itulah,
manusia telah kehilangan kedirian, keakuan. Kehilangan kedirian jangan dipahami
secara dzahir. Pahamilah secara batin. Lebih tepat, rasakanlah! Sebab, bila
Tuhan telah berkuasa penuh. Pasti musnahlah diri. Kecuali, seperti wayang yang
dimainkan sang dalang. Secara syariat, dia dikendalikan oleh Allah SWT.
Sementara secara hakikat, dia sangat merdeka. Merdeka dari suruhan makhluk, dan
merdeka dari perintah hawa nafsunya sendiri. Lebih dari ketiadaan harga diri.
Sebab, identitas dan idealisme dirinya telah dibeli oleh Allah SWT dengan
surga, rahmat, ampunan dan rida-Nya.
Bukankah selama ini, identitas diri adalah beban. Materi, proferti,
profesi, famili, kendaraan, bila tidak dipahami sebagai amanah adalah beban.
Tidak menjadi rahmat. Namun, identitas diri beserta semua atributnya, bisa
menjadi laknat (kutukan).
Tanda rahmat adalah seseorang menunaikan amanah dengan tenang,
tidak buru-buru. Menggunakan nalar yang sehat, ilmu yang bermanfaat, iman yang
dipenuhi hikmat (kebijaksanaan). Tanda rahmat mampu bersahabat lintas
kepentingan. Menyayangi orang-orang yang menyayanginya. Memaafkan orang-orang
yang membencinya. Tumbuh dan berkembang di seputar ilmu dan kajian. Jadikan
diri yang bermanfaat. Bak kata pepatah: "Biarkan ketika engkau lahir,
manusia disekitarmu tertawa. Sedangkan engkau menangis (bayi). Tetapi, ketika
engkau wafat. Biarkan manusia disekitarmu menangis. Sedang kamu tersenyum
bahagia menemui Tuhanmu." Pertanda, kehidupanmu selama di dunia, telah
banyak memberi arti untuk orang lain. Pertolonganmu, kebaikanmu, nasehat
darimu, solusi bernas untuk masa depan orang lain yang lebih cerah. Menerbitkan
semangat, untuk diri orang lain yang hampir patah. Bahkan, engkau telah dapat
menjadi sandaran banyak orang. Kepergian dirimu, telah terpadam suluh
"wasilah" ilmu, nasehat iman, dan spirit amal. Engkau laksana
"kawah candradimuka" bagi banyak orang.
Rahmat Allah SWT juga menanda pada seseorang yang mematuhi
batas-batas hukum Allah SWT. Terikat dalam mematuhi batas-batas hukum (hudud)
Allah SWT, itulah kebebasan dan pelepasan dari ketergantungan kepada makhluk
dan ketergantungan kepada kehendak hawa nafsu yang jahat. Sebaliknya, siapa
yang melanggar batas hukum Allah SWT. Maka sungguh dia terjajah atau menganiaya
diri sendiri (wamayyata 'adda hududallahi faqad dzalama nafsah).
Namun kurang disadari, oleh banyak pengamal syariat. Bahwa mereka
sedang dimerdekakan Allah SWT. Tapi, selama mereka merasa pelaksanaan syariat
adalah kewajiban. Selama itu pula, penjara syariat belum dibongkar. Apalagi
mereka telah menikmati jebakan syariat. Maknanya, mereka telah dipenjara,
sehingga tidak mempan terhadap perspektif di luar syariat (imunitas). Semua itu
disebabkan, mereka memahami syariat
secara tidak utuh (belum syamil-kamil). Atau, bangunan beragama (konfigurasi)
nya setengah-setengah.
Istilah Alquran, mereka beriman kepada sebagian isi Alkitab, dan
kafir kepada sebagian. Sedang Alkitab ada di tangan mereka. Meskipun khithab
(sasaran) ayat ini menyasar umat Yahudi dan Nasrani (mukhathab) di masa lampau.
Disebalik teks suci, mengandung hikmah pelajaran hidup untuk umat Muslim di
masa kekinian. Sejarahnya, umat Yahudi mengambil corak beragama materialisme
oriented atau syariat sentris. Umat Nasrani memegangi agama bertipe
spiritualisme oriented atau hakikat sentris. Dimanakah posisi umat Muslim
sekarang?
Idealnya, umat Muslim adalah diri syariat yang berhakikat, dan diri
hakikat yang bersyariat. Dengan istilah lain, syariat yang berhakikat, dan
hakikat yang bersyariat. Bila hakikat tidak bersyariat, niscaya batil. Bila
syariat tidak berhakikat, niscaya kosong (sia-sia). Keduanya, wajib menyatu,
tidak terpisahkan. Di dalam berhakikat, di luar bersyariat. Meskipun jiwa di
luar dan di dalam adalah esa (satu). Perbedaan keduanya hanya sekedar
memudahkan paham saja. Hakikatnya sama, antara di luar dan di dalam.
Makrifatnya esa. Ketika esa, itulah kemerdekaan kehendak (iradah-murid). Atau
menyatunya kehendak Tuhan dalam kehendak makhluk. Karena iradah adalah kehendak
dari Tuhan yang dianugerahkan kepada makhluk, menjadi muridun. Berhubungan
(bertalajim) antara sifat Tuhan dengan sifat makhluk, lalu menjadi menyatu
(tawhid-muwahhid).
Pilihan diksi dalam kitab suci, sangat indah. Bila Dia menggunakan
istilah yurid, berbeda bila Dia menggunakan istilah yasya' (bandingkan surah
Alhaj ayat 14 dan 18). Ketika hamba Allah yang beriman dan beramal saleh,
sungguh mereka telah sesifat dengan Allah SWT. Sedang bila mereka durhaka,
sungguh tidak lagi sesifat dengan Allah. Maka mereka sendiri yang menghendaki
neraka. Artinya, orang yang telah kehilangan sifatnya, lalu mengikuti dan
menyatu (sesifat dengan-Nya). Sungguh surga tempat kediamannya. Sedang mereka
yang mencari di luar itu, Tuhan telah berlepas tangan.
Akhirnya, pengkajian sifat tujuh perlu dipertajam. Penajam diri
guna tidak sekedar diimani (ilmu, hayat, qudrat, iradat, sama', basar, kalam).
Namun, sanggup meraih level diatasnya. Supaya tidak terlempar dari rahmat-Nya,
saat babak final (akhir bentuk maskulin dari akhirat). Untuk terselamatkan dari
neraka dunia dan neraka akhirat. Tidak sekedar mereka beriman, tetapi juga
menyatu dalam gerak ('amal shalih). Dalam sifat tujuh, hilang lenyap sifat kehambaan.
Namun lebur ke dalam sifat kesatuan ketuhanan (tawhid-muwahhid). Hayat menjadi
hayyun, hayyun berasal dari hayat. Maksudnya, dari hayat kepada hayat. Lebih
dalam lagi, bermakna sehidup, sepengetahuan, sekuasa, sekehendak,
sependengaran, sepenglihatan, sepembicaraan (sepemandiran). Bukankah tidak
terpisah lagi? Untuk menggapainya, terlebih dahulu, telah duduk di makam
musyahadah (penyaksian). Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar