POTENSI KEMERDEKAAN MEMBEBASKAN PENJARA DIRI
POTENSI KEMERDEKAAN MEMBEBASKAN PENJARA DIRI
Oleh
Ma'ruf Zahran Sabran
Tidak ada seorang-pun yang dapat lepas dari diri
sendiri. Ketergantungan kepada yang selain Allah (auliya-a min dunillah) hanya
akan menyisakan kesengsaraan. Awalnya, pertama kali setiap insan menyaksikan
Allah SWT. Kemudian terlupakan, karena insan berkenalan dengan bunda, ayahnda,
saudara dan lingkungannya. Insan bergaul, akhirnya diapun terabaikan, seakan
tidak pernah memiliki dan tidak pernah dimiliki.
Misal istri, akan sayang kepada suami bila saling
membutuhkan dan dibutuhkan. Anak akan dekat, bila mereka memiliki kepentingan.
Jika kepentingan itu sudah hilang, orang tuapun ditinggal. Setelah anak dewasa,
mungkin saat orang tua membebani anaknya, mereka berharap kematian untuk keduanya.
Minimal menyuruh orang tuanya diam, jangan berkomentar. Artinya, belum ada
kasih sayang tulus seorang anak, kecuali sangat sedikit. Jangan berharap kepada
yang tidak kekal. Jangan takut kepada masa depan. Sebab harap dan takut
merupakan penjara diri.
Semakin dewasa anak, semakin jauh dari orang tuanya
karena sudah bisa mandiri. Beberapa kasus terjadi, orang tuanya dititipkan di
Panti Jompo. Istri demikian pula, saat mereka beramai-ramai lulus pada profesi
publik, beramai-ramai pula mereka
mengadukan suaminya ke Pengadilan Agama. Aduan cerai gugat dari istri
dengan alasan suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Alasan yang paling
banyak bercerai ialah ketidakcocokan dalam keluarga.
Atau sebaliknya, orang tua membuang bayinya ke
tempat pembuangan sampah. Atau menggugurkan janin (aborsi) dengan sengaja.
Tanpa dibenarkan oleh kode etik kedokteran dan kebidanan, serta melanggar norma
kepatutan sosial dan agama. Atau KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang
dilakukan oleh suami kepada istri secara verbal dan non verbal, atau tindakan
pelecehan seksual. Sehingga telah melanggar komitmen perlindungan terhadap ibu
dan anak. Lalu dimana kasih tulus, sayang setia, dan cinta sejati?
Lebih ironis, tubuh (jasad) yang setiap detik kita
jaga, pelihara. Akan pergi meninggalkan roh saat wafat. Padahal Dia lebih dekat
daripada urat leher. Dalam firman Tuhan: "Dan sungguh, Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf:16). Lalu, dimana
zikir hati, zikir nafas, zikir kullu jasad. Bisakah mereka menolong. Saat hati
menjadi hancur, saat nafas menjadi hancur, saat jasad menjadi hancur. Bahkan
roh menjadi musnah. Surga dan neraka akan hancur, kecuali Tuhanmu menghendaki
yang lain (lihat Hud:106-108).
Potensi kemerdekaan mampu mendobrak jeruji penjara
diri. Maksudnya, filosofi datang sebatang kara, dan pulang sebatang kara, tentu
memiliki nilai. Nilai kearifannya adalah jangan bergantung kepada orang lain.
Dan jangan bergantung kepada diri sendiri yang lemah. Sebab ketika roh dan
jasad terpisah, keduanya menjadi musuh utama dan pertama. Musuh pertama karena
keduanya saling menyalahkan, kelak di akhirat. Musuh utama karena roh yang
pernah bersatu dengan jasad di dunia, menjadikan keduanya sangat mendekat,
sebagai sahabat raga dan jiwa (qarin). Di akhirat keduanya saling menjauh,
saling menuding, saling menghujat. Lalu siapa sejatinya diri aku? Jika diri aku
menyalahkan diri aku. Tuhan berfirman: "Diri yang beramal baik untuk diri.
Diri yang beramal jahat untuk diri. Dan Tuhanmu tidak berbuat zalim (aniaya)
kepada hamba-hamba." (Fushshilat:46). Lalu, siapa diri? Untuk sebuah
pertanyaan pemantik, jawab dulu disini: Dari mana datangnya diri? Kemana
pulangnya diri? Akan menjadi apa diri?
Menelaah diri sama dengan menelaah Alquran. Susunan
28 huruf hijaiyah merupakan struktur biologis manusia sempurna. Teruskan
kajian, kelak akan menemukan Tuhan yang berkekalan. Berkekalan merupakan hadiah
(surga) dunia dan akhirat. Keterbuangan dan ketersisihan, bahkan kebinasaan
merupakan hukuman (neraka) dunia dan akhirat.
Kemudian, hakikat surga sangat dekat kepada karakter
yang disandangnya. Karakter (sifat) surga adalah ramah, damai, bahagia tanpa
curiga, senyum tanpa masam, ikhlas tanpa dengki. Karakter surga akan
mencocokkan (combine) dengan karakter penghuninya. Sebaliknya, hakikat neraka
adalah karakter jahat yang disimpan di dalam diri.
Karena manusia merupakan satu-satunya kreasi
tertinggi Tuhan, menempati sinta teratas di level semua ciptaan. Sampai dirinya
sanggup menampung karakter yang lain, secara utuh untuk mereflika alam semesta.
Secara berganti, pada menit pertama, manusia berkarakter Jibril. Namun pada
menit kedua, manusia bisa berkarakter Iblis. Keduanya berada di rumah produksi,
yakni hati. Literasi Arab menyebut "qalbu." Qalbu berarti
berbolak-balik. Akan mencari apa saja, tanyalah hati. Hati hampir mirip toko
serba ada. Jelmaan multi wajah (batin).
Wajah kesadaran tentang diri mengenai resiko berbuat
baik adalah bahagia. Kesadaran tentang diri mengenai resiko berbuat jahat
adalah sengsara. Kesadaran ini yang membuat manusia bebas memilih (free will),
dan bebas bertindak (free act). Tuhan mempersilahkan manusia, atas nama-Nya
untuk bertindak. Bertindak dalam kategori kebenaran atau kesesatan. Artinya,
kini manusia sedang membangun dirinya untuk menuju jalan lurus (husnul
khatimah), atau memilih jalan berliku (suul khatimah).
Dua jalan tersebut hadir, untuk menimbang bahwa
manusia mempunyai kehendak bebas, tidak terikat. Maka Tuhan telah memberikan
ketentuan hukum-Nya kepada alam semesta. Agama menyebut sunnatullah, yang
tertata pada hukum alam (nature of law). Alam semesta yang bekerja atas
perintah Tuhan telah tuntas pada diri manusia, berupa ketentuan yang bersebab
dan tanpa sebab. Telah Dia nyatakan: "Barangsiapa menghendaki keuntungan
akhirat, akan Kami tambahkan bagi keuntungan. Barangsiapa menghendaki
keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya sebagian. Dan tidaklah mereka mendapat
bagian akhirat." (Asysyura:20). Pilihan bebas yang berkemerdekaan ada pada
setiap individu (potensi yang dibawa sejak lahir).
Akhirnya, kemerdekaan bersikap zalim atau adil,
manusia berhak memilih dan menentukan. Akan bersyukur atau kufur, langkah bebas
yang bertanggungjawab. Final sudah, "aku yang menebang, aku yang memikul."
Salam merdeka, sekali merdeka tetap merdeka.
Komentar
Posting Komentar