SIKAP BIJAK MENGHADAPI PERBEDAAN
SIKAP BIJAK MENGHADAPI PERBEDAAN
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Dimana-mana, orang menyembah Allah SWT. Frekuensinya semakin
bertambah banyak, lebih banyak lagi. Masjid-masjid penuh, sehingga kesulitan
menampung jamaah. Sehingga, fenomena masjid lantai dua sudah semarak. Terutama
di kota Pontianak, bahkan dalam satu jalan terdapat empat masjid, yang hanya
berjarak 300 meter saja. Sebagai indikator keberhasilan dakwah digital dan
manual.
Masjid di kota Pontianak, sebagian besar, kajian bakda Maghrib
sampai menjelang Isya, diisi dengan kajian fikih sentris. Tidak heran, mungkin
itu, yang hari ini sedang dibutuhkan umat. Meskipun fikih sentris membawa
perbedaan furu'iyah dan khilafiyah (pertentangan cabang-cabang agama).
Konsekuensinya, terdapat masjid dengan amalan tertentu. Penamaan masjid Muhammadiyah,
ada pula masjid dengan amaliyah yang sudah mentradisi. Penamaan masjid
Wahabi/Salafi, dan pengistilahan masjid Islam Jama'ah. Artinya, terdapat masjid
komunitas dan masjid yang terbuka lintas madzhab.
Bukan menjadi persoalan, sebab Nabi Muhammad SAW sudah memprediksi
umat beliau. Akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Hanya satu yang
masuk surga. Terhadap perpecahan ini, itulah realita yang harus kita hadapi
dengan lapang dada.
Atas problematika keumatan tersebut, setiap kita hendaklah waspada.
Untuk tidak terombang-ambing dalam kancah perdebatan. Saat ini, semua akses
internet telah terbuka untuk semua orang. Dan, semua orang dapat berkomentar
apa saja. Mungkin, diam adalah solusi terbaik. Ketika semua orang sudah mengaku
yang terbaik. Mungkin, inilah masanya, "diam itu emas." Maksudnya,
selektif dalam bicara. Konsekuensinya, lebih banyak diam daripada bicara.
Kecuali berbicaralah yang baik, atau diam. Dua opsi yang ditawarkan oleh
Rasulullah SAW. Bicara yang bermanfaat, atau tutup mulut secara rapat. Hindari
perdebatan dan perkelahian. Bila tidak ditemukan solusi, sebagian kelompok atau
individu, bersikeras dengan pendapat sektarian. Serahkan kepada Allah SWT
dengan berserah diri. Saat diri, sudah tidak mampu lagi merubah keadaan.
Beriman kepada Allah SWT dan beriman kepada kuasa takdir-Nya,
merupakan finalti keberimanan. Setelah meyakini bahwa setiap orang dikalungkan
takdir. Masih maukah kita memaksakan kehendak kepada seseorang. Dimana
masing-masing kita-pun, telah ditakdirkan.
Takdir-Nya berada dalam arus perubahan. Perubahan jasmani dan
rohani. Jelas, tegas, jasmani memiliki kemajuan tumbuh-kembang. Perubahan
rohani selayaknya pula mengalami pendakian. Dari tidak sabar menjadi sabar. Dari sabar menjadi
bertambah sabar. Artinya, tidak sebatas tidak membalas kejahatan orang lain.
Namun memberi maaf dan berbuat baik pada yang
bersalah (wal ya'fu wal yashfahu). Menolong-nya, dan memberi kemudahan
dalam semua urusan-nya.
Maksudnya, perbedaan tidak lagi menjadi perintang untuk bersikap bijak. Sebab, perintah dari
kedalaman hati, tidak lagi membuat jarak dan dilema dalam kemaslahatan umum.
Siapapun mereka, jika terluka pasti perih. Diguyur hujan, pasti basah. Disembur
api, pasti melepuh. Bukan persoalan keyakinan yang mereka anut. Tapi kemanusiaan
itu satu (the humanity is one).
Dalam skala global, kita mengenal damai dan perang dunia. Terlepas
siapa yang berperang. Tentu, diawali dari perbedaan pandangan tentang politik,
sosial, ekonomi, militer, sumber daya alam dunia. Memacu konflik regional dan
kawasan. Tapi perang, pasti menyisakan kerugian di kedua pihak. "Menang
jadi arang. Kalah jadi abu." Dan terlepas dari para pihak yang menjaga
kedamaian. Pasti mereka dapat saling menguntungkan (simbiosis mutualisma).
Disini, jiwa sabar diuji untuk segera merespon, bereaksi cepat.
Bertindak sebelum berpikir. Pasti beresiko tidak baik diujungnya. Dan jiwa
sabar diuji untuk tenang. Pasti keberuntungan diakhirnya. Tenang dalam arti
"tidak terpancing" oleh umpan pujian dan umpan hinaan. Jiwa stabil,
tentu akan berpikir sebelum bertindak. Karena, jika bertindak salah arah,
meskipun benar. Pasti banyak yang terkuras, tidak hanya kerugian material.
Namun juga kerugian dan kelelahan non material, seperti jiwa yang terhimpit.
Tuhan memberi ruang informasi kepada siapa saja yang memerlukan.
Fakta kalamullah dalam kitab suci Alquran, menjelaskan. Bahwa melindungi orang
musyrik menjadi wahana mendengarkan seruan keselamatan. Firman Tuhan: "Dan
jika diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu. Lindungilah,
agar dia dapat mendengar firman Allah. Kemudian, antarkanlah dia ke tempat yang
aman. Demikian itu, karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak
mengetahui." (Attaubah:6). Nilai universalitas Islam ini, itu yang
menjadikannya ajaran yang bersikap kesemestaan.
Dengan kata lain, Tuhan memberi waktu untuk menunda siksa, sampai
datang ajal yang ditetapkan. Masa penundaan adalah hari ini. Sebelum gelar
perkara di hari penghakiman. Masih sempat mengedit karya kehidupan yang sedang
ditempuh. Dan revisi dilakukan, sebelum makalah dilaporkan, di hari pelaporan.
Jadi, semangat perubahan ke arah perbaikan, menjadi spirit agama. Dan, bersikap
bijak dalam menghadapi perbedaan, dengan cara mengedepankan perdamaian.
Wallahua'lam.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar