MEMAKNAI TEKS DALAM KONTEKS
MEMAKNAI TEKS DALAM KONTEKS
Oleh
Ma'ruf Zahran Sabran
AGAMA adalah akal, tidak beragama bagi orang yang
tidak berakal. Keterangan dari Rasul sanggup menembus batas wilayah taklid,
jumud lagi picik pikir. Beragama dengan realitas di bumi, dan jangan mengawang-awang
di langit. Meski demikian, budaya harus tunduk pada arahan agama.
Semoga literasi kali ini menjadi sangat bermanfaat
saat setiap orang harus cerdas dalam beragama dan berbudaya. Bukan kajian
teologis, namun penghadiran tulisan ini berdasarkan rasa kemanusiaan, supaya
tidak terkesan menggurui dan memaksa.
Toleransi beragama mencakup tiga harmoni dalam
kehidupan sehari-hari. Akal sehat diperlukan saat menyikapi perbedaan satu sama
lain. Rasa empati lebih diperlukan lagi dalam irama yang berbeda, tapi menguatkan.
Apa yang dimaksud toleransi sesama umat beragama yang berbasis akal sehat? Jika
di tempat ibadah kita bisa tenang, kenapa di luar sana banyak yang gaduh, malah
saling menghakimi. Penghakiman sepihak dapat mematikan akal sehat seseorang.
Maknanya, Alquran diturunkan bukan untuk
menyenangkan banyak orang, dia berjalan pada rel kebenaran dan kelurusan. Lurus
meskipun tidak disenangi oleh banyak orang. Jika kamu mengikuti kebanyakan
orang. Pasti kebanyakan mereka tidak mengetahui. Atau dalam redaksi lain,
sedikit sekali manusia yang bersyukur. Kebanyakan manusia kufur, buktinya
adalah menyia-nyiakan nikmat Allah. Dua nikmat Allah yang sering dilalaikan,
dihamburkan yaitu nikmat kesehatan (waktu sehat), dan nikmat kesempatan (waktu
sempat).
Untuk bisa lurus dalam menilai sesuatu, takar dengan
akal, timbang dengan rasa dan kepatutan moral. Contoh, tradisi pembacaan tahlil
selama tiga atau tujuh malam bagi keluarga yang mendapat musibah kematian.
Apabila menimpa keluarga miskin, patutkah secara moral mengundang orang untuk
datang (tahlilan), dan diberi makan-minum. Padahal secara realita, kita sendiri
menyaksikan bahwa mereka sehari-hari adalah kelurga miskin (don't have).
Mengapa hati terasa tumpul untuk memaknai setiap
peristiwa? Ketahuilah, jiwa yang larut dalam keramaian dan kerumunan adalah
menjadi tawanan komunitas. Tidak pernah menjadi diri sendiri. Artinya tidak
pernah merdeka. Kemerdekaan diri yang direnggut paksa oleh doktrin palsu, dogma
palsu, restu palsu. Kepalsuan yang dituruti berawal dari kebodohan akal yang
mengandung kebohongan. Ibaratnya, tidak pernah menjadi burung elang. Elang yang
berkarakter gagah, berani, tegak, tegas, terbang. Hanya menjadi ayam sayur,
santapan semua orang. Demikian juga beragama, bila tanpa prinsip,
berombang-ambing dalam sangka dan praduga. Terjebak dalam tipuan teologis.
Hari ini banyak orang yang terjebak pada tipuan
sketsa teologis. Takziah yang seharusnya memberi, namun menerima lebih banyak.
Seakan transaksi doa yang harus mendapat imbalan, apa bedanya dengan jual-beli.
Ketika dibungkus dengan label agama. Kenduri dibolehkan kendati terdapat
"pihak yang menjerit" karena ketiadaan materi. Namun apakah tokoh
merasakan denyut nadi rakyat dan tetangganya? Tidak, sekeras itukah hati kita,
saat kebejatan moral telah dibungkus dengan kopiah, sehingga melenyapkan diri
yang bermarwah?
Tampil Syekh Ahmad Surkati, pendiri dan pemimpin
organisasi Al-Irsyad di Indonesia (lahir: Sudan, 1897, wafat: Jakarta,
Indonesia, 1943) memberi jawab. Pendapat beliau melarang tahlilan untuk arwah
karena tidak diajarkan oleh agama. Terutama makan dan minum di rumah duka,
dengan alasan sedekah. Lalu, adakah orang yang sanggup ikhlas mendoakan arwah
tanpa imbalan, tanpa kenduri?
Tesa (aksi) yang dilontarkan Ahmad Surkati mendapat
kritik berupa anti tesa (reaksi) oleh kaum pemuka adat dan pemangku istiadat.
Ada pula yang mengambil jalan tengah (konvergensi) dari kedua kutub ekstrim.
Berada diantara dua posisi yang melarang dan menganjurkan dengan catatan.
Dengan catatan, membolehkan sedekah untuk para arwah
bagi keluarga (ahli waris) yang berkemampuan secara ekonomi dan finansial.
Sebaliknya, melarang keras sedekah arwah bagi keluarga yang miskin, apalagi
sampai berhutang. Hukum umum yang berlaku atas pertimbangan ekonomi. Jangankan
sedekah untuk arwah dengan mengundang pengajian yang berimplikasi menyediakan
juadah berupa takziah malam pertama, kedua, ketiga hanya alibi (pembenaran).
Atau tahlilan diganti dengan tausiah, sama juga. Bukan sekedar membedakan
dengan dangdutan (pesta)!
Jeritan keluarga miskin selama ini tertutup oleh
dinding-dinding budaya yang berbalut agama. Seakan betapa kejam teolog yang
tidak sanggup mendengar dinding ratap dan tangis. Tugas ulama, guru agama,
tidak sebatas membuka dan menutup acara keagamaan secara seremonial tanpa mengetahui
dan merasakan apa yang menjadi kesusahan umat sehari-hari. Pemimpin agama tidak
sebatas pulang-pergi ke masjid, lalu sudah merasa taat. Sedang rintihan
masyarakat sekitar tidak diperdulikan dan tidak diambil peduli.
Inti agama bukan ritual berkerumun tapi akal sehat
mengalami kemandulan. Masjid dengan saldo bombastis, menara dan kubah emas,
marmer warna-warni. Mimbar mengkilat dihiasi lampu kerlap-kerlip. Bukan
menambah hidayah, tapi semakin menambah salat mereka lalai (salatihim sahun).
Akal sehat sudah terkubur oleh kecintaan materi yang
berlipat-lipat dengan kecintaan yang sempurna (hubban-jamma). Penyakit
hubbud-dunia telah merambah hingga memasuki ranah agama. Tidak hirau lagi
dengan cara pantas atau tidak pantas, halal atau haram. Terpenting hantam, cari
jalan pintas dan potong kompas menjadi ciri abad ini. Labeling agama menjadi
daya pikat untuk meraup keuntungan besar. Dengan segala cara, jual beli
jabatan, korupsi proyek haji, korupsi pembangunan rumah ibadah, sampai kepada
pemalsuan makam (kubur) orang-orang saleh. Mengingat ziarah kubur mendapat
momentum tersendiri bagi perusahaan perjalanan (travel) wisata religi. Kondisi
unik yang hanya terjadi di Indonesia.
Ritual agama sangat berpotensi bagi mengundang
rupiah dan dolar. Memerhatikan kondisi akhir zaman sangat berpeluang orang
pintar memintari orang bodoh. Untuk kepentingan membodohi orang bodoh inilah,
hakekat beragama selama berabad-abad ditutupi. Atas nama Allah, mereka
mengancam manusia dengan dosa dan neraka. Atas nama Allah mereka mengiming-imingi
umat dengan pahala dan surga. Mereka dengan sengaja membuat kebohongan dan
dusta, bahwa hidup adalah menumpuk amal. Biar ego diri suci semakin
menjadi-jadi. Sebabnya ialah miskin ilmu. Orang yang miskin ilmu selalu
menghindar saat kajian ilmu dibuka, di rumah, di masyarakat.
Umat beragama yang selalu terpuruk karena duka cita
masa lalu, dan ketakutan terhadap masa depan. Pertanda belum merdeka dari
syirik (mempersekutukan) Allah Jalla wa 'Ala. Menjadi muslim ialah orang yang
berserah diri kepada Allah. Memercayakan hidup dan mati kepada Allah. Tidak
bersandar kepada amal, tidak bersandar kepada salat. Bersandar dan berharap
kepada Allah saja, bukan harap kepada surga. Dan tidak cemas dengan neraka.
Kembali (pulang) yang sebenarnya adalah kepada Allah, bukan kepada makhluk
(surga atau neraka). Pada saat amal baik tidak sanggup tegak dihadapan Tuhan,
entah lagi amal buruk?
Melainkan pulanglah kepada-Nya dengan nikmat, saat
seperti dahulu engkau datang dalam kondisi tubuh telanjang. Adapun saat engkau
pulang dikafani adalah dalam rangka kelihatan lebih santun secara fikih. Jasad
yang telanjang demikian juga roh kembali. Roh kepada kepada tiupan asal
kejadian, jangan membawa atribut. Berbahagialah orang yang mengembalikan
dirinya, sebelum dipaksa kembali. Tersenyumlah orang yang membayar hutang
sebelum jatuh tempo. Kapan masa sehingga kita sanggup mengembalikan pinjaman
sebelum ditarik paksa? Setelah mendapat hidayah pulang. Apakah bentuk hidayah
pulang tersebut? Nabi bersabda: "Matilah kamu sebelum mati." Sungguh,
alam akhirat lebih terang daripada alam dunia. Sebab dahulu, kita semua pernah
ke akhirat. Begitu bayi lahir ke alam semesta, Tuhan protek semua memori
tentang akhirat yang hakekatnya adalah Diri-Ku (Allah).
Misi dan visi manusia hari ini bukan mencari Tuhan,
namun menemukan kembali Tuhan yang hilang, itulah makna taubat.
Taba-yatubu-taubah artinya kembali kepada-Nya, baik bagi pendosa maupun bagi
yang patuh. Jelas, hakekat taubat merupakan tugas semua orang. Bila telah
menemukan Tuhan artinya berkekalan dalam kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. "Ketahuilah, sungguh kekasih Allah, mereka tidak tersentuh oleh
kesedihan, kesempitan, kehinaan, kemiskinan. Mereka yang beriman dan bertakwa.
Bagi mereka kegembiraan hidup di dunia dan di akhirat. Tidak akan berubah
ketentuan Allah. Itu Dia, keuntungan yang agung." (Yunus:62-64). Akhirnya,
maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
Komentar
Posting Komentar