Hj. Fatimah Syam Binti H. Ahmad (Perempuan Perantau Banjar) - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag
= Narasumber : Ramnah binti Abdurrahman (Aman) =
Mengarungi lautan dari dusun terpencil simpang hilir Nagara
(sekarang kecamatan Daha Selatan), tanpa takut dia lakukan bersama sepupunya H.
Zahri (Selakau). Hj. Fatimah berdiam di Pemangkat, dimana kota itu nantinya
membentuk koloni "urang Banjar Perantau" di tengah komunitas suku
Melayu Sambas (tempatan). Sebagai kaum Muhajir, Fatimah Syam tidaklah
sendirian. Walau dia berada di tanah bumi Melayu, tapi kehadirannya membawa
rahmat bagi lingkungan sekitar. Pluralitas etnisitas yang heterogen di bumi
rantau Melayu, memang jauh berbeda dengan Nagara tanah leluhur yang homogen.
Fatimah Syam (acil) adalah anak H. Ahmad dan Hj. Santan, keduanya
urang Nagara asli. Hj. Santan memiliki saudara Hj. Hintalu dan Hj. Emas, nama
zaman bahari, bisa jadi yang lebih terkenal adalah nama kecil atau gelar. Jejak
kesejarahan mereka inilah yang nantinya berkembang biak ke seantero bumi.
Memulai dari yang kecil menuju keluasan keturunan saling berait dan berkait
satu sama lain.
Fatimah Syam merupakan generasi pertama perempuan Banjar yang
merantau menginjakkan kakinya di bumi Melayu Kabupaten Sambas. Tradisi
pernikahan keluarga (geneosis) pada tataran memiliki garis keturunan yang sama,
menyebabkan orang Banjar sulit terpisah, saat itu suku Banjar belum bisa
membuka diri untuk menerima kehadiran suku lain. Pernah dicoba, tapi karena
berbeda custom dan style (gaya) kerumahtanggaan "bubuhan Banjar" yang
masih kental, terkadang memunculkan masalah, lebih parah lagi pihak
"kuitan atawa paninian" ikut mengatur persoalan domestik kerumahtanggaan.
Saat itu, memang belum waktunya untuk "open the door" bagi suku-suku
lain. Memang sudah ada yang mencobanya, tapi resistensinya sangat tinggi,
diperlukan adaptasi bagi "yang datang".
Adaptasi (jusment) yang penulis maksudkan adalah penyesuaian
bahasa, makanan, pakaian, adat istiadat, hirarki keluarga, melayani suami,
sampai pada kebiasaan sehari-hari. Kalau tidak bisa menyesuaikan dengan custom
orang Banjar, atau tidak bisa menjadi Banjar, "pendatang" itu pasti
merasa keterasingan (alienasi) di tengah keramaian, atau merasa kesendirian di
tengah komunitas orang Banjar, ada dua pilihan, tetap tinggal di kampung Banjar
Pemangkat, atau hijrah agak menjauh pada komunitas netral, di Sambas, Tebas
atau Selakau. Dengan kondisi itu, posisi jejaka orang Banjar, akan menikahi
dara orang Melayu, tidak bisa sebaliknya. Karena kategori suami Banjar lebih
superiority dari pada istri. Dasar ini tertanam pada suku Banjar, bahwa suami
adalah Raja di rumah tangga.
Hal ini bisa dimaklumi, suami Banjar merupakan satu-satunya
pencari nafkah menghidupi keluarga. Hak dan kewajiban seluruhnya ada pada
suami. Hal ini disebabkan, pranata pendidikan formal dan non formal hanyalah
hak asasi kaum pria Banjar. Belakangan ini, kaum perempuan Banjar memiliki
askses yang sama dengan kaum pria, bahkan bisa lebih tinggi. Kondisi ini kadang
memicu pertengkaran dan "melawan" suami. Bahkan, akses politik pun
terbuka lebar bagi perempuan berjuang dipilih dan memilih, terkadang melupakan
tugas domestiknya sebagai ibu dan istri.
Mengetahui nama Hj. Fatimah Syam memiliki sepupu yang banyak, baik
dari garis ayahnya (H. Ahmad) dan ibunya (Hj. Santan). Seperti anak-anak dari
saudara Hj. Santan, misal Hj. Emas (Amas dalam dialek Banjar) memiliki (julak)
Sarah, (tangah H. Darham), (acil) Hj. Syamsiah, (su) Mahdiyah. Posisi mereka
berempat ini sepupu bagi Hj. Fatimah Syam. Tersebutlah H. Darham menikah dengan
Hj. Mastura melahirkan Mansur, Dare, dan Khairul. Julak Sarah menikah dengan
Abdurrahman (Aman) melahirkan Ramnah yang nantinya menikah dengan Hasan
Matangsuri, Hj. Syamsiyah menikah dengan Qursain melahirkan Tiarum dan Aliani
Qursain. Sedang (su) Mahdiah menikah dengan Saidi tetapi tidak memiliki
keturunan. Lalu H. Darham menikah lagi, memiliki anak Jauhari dan Yatim.
Sebatas ini, dapat dimengerti keturunan yang menyebar lewat pernikahan mereka
yang awalnya berada pada rumpun Banjar.
(Julak) Diyah (Guru ngaji) menikah dengan H. Dahlan pun masih
sepupu Hj. Fatimah Syam, dari pernikahan mereka melahirkan Astam yang menikah
dengan Komalasari (Mala) saudara (su) Danah yang tinggal di Perigi Parit, (su)
Danah menikah dengan Anang. Dari pernikahan Astam dengan Mala melahirkan
Juriyah, Asnah, Ahmadi, Imansyah (kuncil). Perlu diketahui bahwa saudara Astam
bin H. Dahlan adalah Lani dan Amran (ayah dari Mok Niam), komunitas mereka
terhimpun di Selakau.
Ada juga sepupu Hj. Fatimah Syam yang masih menetap di simpang
hilir Nagara, tetapi sebagian anaknya merantau ke Pemangkat dan sebagian tetap
mendiami Nagara. Sepupu Hj. Fatimah Syam itu adalah Bidan Aluh, profesi bidan
profesional Nagara "tempo doeloe". Anak bidan Aluh adalah Julak Masri
(Tebas), H. Badri (Pemangkat), Acil Esah dan (su) H. Hasan (Tebas). Jejak
(Anjang) Ibad (H. Badri) menikah dengan (ngah) Liyah anak dari Haji Tuhalus.
Haji Tuhalus ini menikah dengan anak gadis Melayu (Mak Tuan Suteh) yang
sangat lemah lembut, Haji Tuhalus dengan Suteh melahirkan Bujang Basrah (Pak
Lung), Sarkiyah (istri Pak Ya' Ramlan), dan Liyah. Berait berkait keluarga
besar Hj. Fatimah Syam yang telah mendiami Banjar Pesisir Pemangkat hingga
wafatnya (tahun 1985) dalam usia 82 tahun, serta pusaranya di Pemangkat.
Gunung Gajah kota Pemangkat telah banyak menyimpan memoriam dan
artefak orang Banjar perantauan, tidak terhitung lagi nama mereka,
sebagian telah terlupakan juga, sebagian tetap diingat menjadi kenangan dan doa
tulus untuk mereka yang dikenal maupun yang tidak kenal.
Makam di gunung itu menunjukkan bahwa orang Banjar perantauan
sudah puluhan tahun bahkan (mungkin) mendekati satu abad mereka meramaikan
Pemangkat. Ada tetap tinggal, ada pula yang pulang lagi ke Negara seperti Adam,
Tarsi dan Badariah. Pemangkat lumbung padi pada sektor pertanian yang tersubur
ketika itu. Ibarat gayung bersambut, kedatangan (muhajirin) Banjar menyediakan
alat pertanian dengan profesi mereka tukang besi. Informasi ini sampai ke
Negara yang paceklik, saat ekonomi. Motivasi ini telah mendorong mereka berupa
respon hijrah ke Pemangkat secara besar-besaran dan gelombang per gelombang.
Kabar berhasil di tanah rantau sampai ke benua, memunculkan dan
menumbuhkan niat si acil si anang, si utuh si galuh, si amang si nanang untuk
"marasai jua".
Ada nama perantau Banjar yang sama, tapi pangkatnya berbeda di
mata Hj. Fatimah Syam, seperti Mursyid (Tebas) dan Mursyid (Sekadim), Zahri
(Pemangkat) dan Zahri (Selakau), Basran (Pemangkat), Basran (Jawai), Salman
(Semparuk) dan Salman (Sambas), Hasan (Tebas) dan Hasan (Matang Suri), inilah
transmigrasi mandiri dengan biaya sendiri bukan dari program pemerintah.
Perantau Banjar telah ikut serta memberi andil dalam mengindonesiakan indonesia
dari Sabang sampai Merauke.
Nilai-nilai luhur berupa kemurahan hati dari Hj. Fatimah Syam
inilah yang harus diteladani, menyediakan rumah besar tingkat dua untuk
menampung dan memberi kerja, lalu menikahkan para perantau siapa saja, terdapat
ikatan keluarga atau bukan, termasuk orang Banten, Sadama. Nilai kemurahan hati
Fatimah, Allah SWT balas dengan ridha dan surgaNya, insya Allah.
Surga diperuntukkan bagi hamba Allah yang berhati pemurah, Fatimah
Syam telah membuktikan imannya semasa hidup. Sekarang, rumah itu
"dihalusi", karena tidak seperti dulu lagi, sudah berbeda masa dan
berbeda keadaan. Masing-masing keturunan Hj. Fatimah Syam membawa hidup mereka,
jalan mereka sesuai dengan apa yang inginkan. Tetapi, nama Hj. Fatimah Syam
binti H. Ahmad "urang Nagara", tetap dikenang, perempuan perantau
Banjar berhati pemurah.
Nilai luhur Hj. Fatimah Syam binti H. Ahmad bersama suaminya (H.
Zamhari bin H. Tasin) inilah dzuriyat dari pernikahan H. Zamhari bin H. Tasin
dengan Hj. Fatimah Syam binti Ahmad telah melahirkan H. Bujang Dara, Djambrut,
Nadrah, Darjat dan Hj. Barkah. Kelima anak beliau ini seluruhnya sudah wafat, yang paling dahulu menghadap Allah SWT adalah Barkah (putri bungsu Zamhari) dan sebagai istri
Zahran Sabran (1975), kedua orang tua ini, dari pernikahan mereka (1961) telah
melahirkan Asyikin (1962), Muhammad Thamrin (1965), Muhammad Yusran (1968),
Ma'ruf (1971), Sholihin (1974). 1975 ibunda Barkah wafat menghadap Penciptanya,
Allah SWT.
luar biasa!!!! detil dan faham sekali dengan sejarah. Mantap
BalasHapusAlhamdulillah
Hapus