Kada Simbulikan - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

Kada Simbulikan
Oleh Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag
    "Kada simbulikan" artinya tidak pulang selamanya. Inilah sebagian besar prinsip urang Banjar di perantauan. Mereka berlayar seakan tidak menoleh ke belakang lagi. Jasad mereka terkubur di tanah rantau. Sesungguhnya bumiku luas, sembahlah Aku saja.
    Firman Allah SWT di atas sangat diyakini telah mendarah daging di hati urang Banjar perantauan. Sehat sakit,  hidup mati mereka tanggung sendiri. Bahkan, untuk bisa bertahan hidup, mereka sangat pandai beradaptasi, bahkan (mungkin) telah banyak yang kehilangan identitas kebanjarannya, dari aspek kebahasaan dan kebudayaan.
    Prinsip di atas mengandung norma kekuatan. Penguatan prinsip tersebut tampak pada membaurnya urang banjar pada masyarakat tempatan. Bila tidak menjadi tokoh agama, minimal tidak merusak tatanan yang sudah baik. Bila belum mampu memberi, minimal tidak menahan hak orang lain. Bila belum mampu membahagiakan orang lain,  minimal tidak menyakiti hatinya. Bila belum mampu bertatap muka, minimal tidak menghujatnya. Urang Banjar diajari jangan banyak mengomentari kehidupan orang lain, jangan mengomentari rumah tangga orang lain, jangan mengomentari hal keadaan orang lain, nilai kehidupan tersebut tersimpul dalam nasihat "jaga muntung".
    Jaga muntung telah membuat orang Banjar perantau bisa hidup disemua tempat dan keadaan. Urang Banjar perantau, tidak ingin mencari musuh, mereka ingin bersahabat dengan semua orang. Kalaupun mereka dimusuhi,  mereka tidak mengasah parang. Urang Banjar perantau tahu, bahwa dia sebatang kara. Seakan telah tertanam pada jiwa mereka, bahwa aku wajib berbuat baik, adapun hukuman bagi yang berbuat buruk, biarlah Allah SWT yang menghukum atau memberi hidayah, sebab itu wilayah hak ketuhanan, bukan wilayah hak kehambaan.
    Norma kekuatan lain adalah cita-cita mengindonesiakan Indonesia. Harapan tersebut secara implisit terjadi sejak di mulainya urang Banjar pergi meninggalkan kampung halaman. Merasa bahwa urang Banjar adalah bagian dari Keindonesiaan Kita, Aku, Dia, Kamu dan Kami, maka pola pikir kesemestaan inilah, membuat urang Banjar perantau merasa berada di "banua saurang". Merasa di banua saurang berangkat dari pola pikir yang mendasarinya, bahwa keesaan Tuhan itu sama walau majemuk dalam realita. Bahwa kemanusiaan itu sama, walau ragam dalam kostum. Bahwa keadilan itu rasa, walau puspa dalam raga. Bahwa mutiara mulia itu indah, walau beda dalam warna. Bahwa air laut itu bening, walau ada asin, ada tawar. Kepahaman di atas, membuat urang Banjar perantau bisa bertahan hidup di tanah rantau, bahkan telah berkarya selama ratusan tahun sebelum Indonesia Merdeka.
    Terasa perih dan pilu saat mengantar kepergian si Utuh, si Galuh, si Anang, si Amang, si Acil, yang mungkin tidak akan kembali lagi. Mungkin setelah kepergian si Utuh si Galuh, generasi setelah mereka tidak tahu lagi, bahwa mereka adalah urang Banjar. Disebabkan rantai pewarisan dari generasi ke generasi terhenti (stagnansi). Stagnansi pewarisan bahasa budaya Banjar, boleh jadi upaya sadar untuk merapatkan anak-anak Banjar menjadikan lingkungan di mana saja mereka berada sebagai media belajar untuk menjadi (learning to be) bagian dari Keindonesiaan Kita. Nilai teragung terwujud saat urang Banjar perantau dapat menyumbangkan yang terbaik dari mereka di negeri orang. Passing over (melintas batas) sebagai kejatidirian urang Banjar perantau, open (terbuka) dengan perubahan dan menerima pembaharuan merupakan salah satu nilai ketahanan urang Banjar di perantauan. Pola hidup bisa menerima pembaharuan dan diri yang berkesadaran untuk berubah (self awarness)  adalah modal sosial (social capital) urang Banjar di perantauan. Selalu meng-up grade diri tetapi tidak arogan, menjadi citra mereka. Nilai - nilai luhur seperti itulah, yang telah terinternalisasi dalam keseharian mereka di bumi Banjar tercinta, yang mengutamakan "ruhui rahayu" (rukun damai bahagia sejahtera. Sistematika semboyan urang Banjar ini sangat rapi,  karena  sejahtera bisa maujud dengan mempersyaratkan bahagia, bahagia mempersyaratkan damai, damai mempersyaratkan rukun, rukun rumah tangga, rukun tetangga, rukun warga, rukun bangsa, rukun negeri, sebagai pengamalan langsung terhadap rukun Islam yang lima berlandaskan rukun Iman yang enam. Ruhui rahayu urang Banjar memiliki nilai pendidikan kearifan lokal Kalimantan. Nilai jual kearifan lokal Banjari mengantar para perantau mengarungi lautan luas, menjelajahi daratan panjang, tanpa tahu kemana kemudi akan terhenti, tanpa tahu kemana haluan akan berlabuh, tanpa tahu kemana kapal akan bersauh, bismillah tawakkaltu alallah.
    Bismillah awal bermula perantauan, saatnya ilmu yang didapat di bumi Banjar, hasil mengaji di rumah tuan guru, hasil latihan adzan dan imam di langgar tepian sungai Nagara untuk diasah uji di bumi baru perantauan. Sebenarnya, pengalamanlah yang telah mendewasakan mereka. Bertemu dengan corak ragam manusia yang kasar, yang halus, yang jahat, yang baik, yang mulia, yang hina, yang putih, yang hitam, yang tinggi, yang rendah, membuat urang Banjar perantau bijak dalam menentukan sikap
    Orang Banjar di bumi perantauan bukan tidak ingat tanah moyang mereka. Kadang upaya melepas rindu mereka kisahkan dengan anak-anak mereka tentang suasana lahir dan batin tentang kampung halaman nan jauh di mata, tetap dekat di hati. Kaganangan (kerinduan) mereka tumpahkan dengan bercerita sesama bubuhan Banjar tentang ibu pertiwi yang telah mengandung, membesarkan, memberi pendidikan pada bumi yang dipijak dan pada langit yang dijunjung
    Tidak dapat didustai, kuitan abah uma yang tinggal tiada khabar berita, kecuali yang datang kabar duka kematian, itupun jika diketahui. Kebanyakan adalah sumbat dan putus komunikasi dengan keluarga besar di Banjar. Kenangan "bakunyung" di hulu sungai,  maulah gangan waluh, maunjung iwak, maulah mandai, mancatuk wasi', mambanam haruan, manyanga' papuyu. Lain pula "kaganangan lawan"  apam Barabai, wadai bahinti gula nyiur, nasi kuning iwak haruan, lumbuk acan katupat bakacak, dodol Kandangan, ragi tapai Nagara, pupur wangi baras ala Nagara, gasan baaksi gadis Nagara, semua kenangan itu membuat jiwa terbang melayang terbawa mimpi.
    Belum lagi kesan terdalam saat Ramadan tiba. Mungkin di bumi rantau tidak ditemukan Saat Ramadan tiba seakan Nagara menjadi serambi Mekah serambi Madinah. Saat di langgar orang "hibak basambahyangan", para penuntut ilmu penghapal Al Quran menjadi imam, dalam dan luar negeri "bulik gasan maisi pembacaan" Ramadan Karim. Rindu merindu, tidak kuasa mereka ucapkan, hanya titik derai air mata membasahi pipi yang sudah mulai keriput. Sekali - kali menoleh ke atas langit yang biru, ya Allah, sampaikan salamku pada bubuhan
    Sampaikan salamku pada julak, tangah, gulu, acil atau gadis pujaan yang sudah bapangantinan. Sementara "ulun" masih meniti nuktah suara langit. Entah kemana hanyut terdampar, entah kemana terbang letih terlabuh, entah kemana bahtera tempat bersaung, sekutip dua kutip kata tidaklah mampu menghapus memori yang telah terpahat.
    Menelisik kisah kasih kenangan di atas, hanya akan semakin memantik rindu membuat diri remuk redam dalam ketiadaan obat merindu. Hanya "badapat ubat mujarabat". Tapi apa daya, apa kata, masih ingatkah jalan pulang ?  Pulang keharibaan abah uma yang terlebih dahulu keduanya telah berpulang. Akankah diri penuh penyesalan, akankah diri menyalahkan diri, akankah diri, sungguh tidak ada jawaban. Teringat pada paninian yg melepas kepergian cucunda di Pelabuhan Nagara. Berurai air mata saat paninian melepas kepergiaan cucunda, entah ke mana kepergian, tiada berita walau kicauan  burung.
    Setiap pagi "nini" memantau di pelabuhan, "pabila pang kapal datang dari Banjar", "pabila urang mamuat di kapal kan berlayar, "nini" bapasan, jaka ikam tadapat wan cucuku, suruh inya bulik, aku kaganangan. Pabila urang datangan, nini batakun, tadapatkah ikam wan cucuku. Pabila malam datang merayap, salapas Isya, nini duduk di muha lawang, atawa di hambin sambil bakuciak : "Manang cucuku, buliklah ikam. Aku kaganangan".  Peristiwa sedih ini telah berlangsung puluhan tahun lamanya. 
(Terinspirasi dari kisah nyata Zahran)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN