Generasi Baru Banjar - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

 

GENERASI BARU BANJAR

Paradigma (cara pandang) baru bagi generasi Banjar yang lahir 1995 - 2010 berbeda dengan generasi yang lahir 1923. Apabila generasi lawas batas dunianya hanya apa yang dia lihat dengan mata telanjang, berbeda halnya dengan generasi baru Banjar yang begitu lahir (generasi 2000) telah berakrab dengan hand phone (HP). Dampak menyertanya adalah longgarnya primordialisme berupa kesukuan dan adat istiadat yang sudah terpelihara puluhan tahun. Pudarnya pesona tersebut sebab dari cara pikir (mindset) normatif ke arah cara pikir pragmatis. Maksudnya, menjadi Banjar adalah given, tapi untuk memerankan sesuatu merupakan konstruk sosial. Tetapi kondisi ini tidak rigid (kaku), melainkan lentur (elastis), maksudnya terkadang penguatan pada paguyuban, pada sisi lain pelemahan pada patembayan, atau sebaliknya. Masyarakat global (nanti) hampir tidak memiliki lagi identitas, atau mengalami bentuk identitas ganda sebagai warga dunia raya. (Mungkin) keluar masuk antar negara tidak lagi butuh pasport seperti sekarang. Contoh awal dalam hal ini adalah runtuhnya tembok Berlin. Atau, Simpadan - Ligitan di Pulau Nunukan. Atau, tapal batas teritorial berlaku secara yuridis formalita dihampir seluruh Perbatasan Antar Negara, sedang secara sosialita ringgit - rupiah telah saling menyapa, jual - beli informal seperti telah serumah. Ternyata, menyatukan dunia melalui kegiatan non formal lebih mudah (back to nature). Dampak ikutan yang luas adalah pada pola kekeluargaan yang lebih meluas, dalam hal ini melalui pranata perkawinan. Perkawinan silang menjadi trendy, ketika orang tua Banjar tidak lagi sebagai penentu bagi jodoh anaknya seperti "kekoesaan tempo doeloe". Wacana ini terbuka seiring terbukanya akses pendidikan bagi generasi baru Banjar. Dampak pendidikan mempengaruhi hampir merata pada seluruh lini kehidupan, baik peluang maupun tantangan. Misal, pembaca doa "tempo doeloe" tidak diberi honor (penghargaan). Seiring dengan kemajuan pendidikan, honor (penghargaan) itupun diberikan.

Saat sekarang posisi orang tua (kuitan) Banjar masih sangat urgent (penting) dalam memberikan pertimbangan. Pertimbangan atas dasar kematangan berpikir karena diasah diasuh oleh pengalaman timbul rasa asih yang mendalam, lalu pertimbanganpun ditinjau dari banyak aspek dan memandang jauh ke depan, bukan semata benar/salah, tapi bermanfaat/tidak untuk jangka panjang.

Rasa keagamaan telah ditanamkan oleh orang tua suku Banjar pada anak mereka dengan pendidikan keteladanan, bukan indoktrinasi. Dengan pengalaman bukan pengarahan, satu praktik lebih berguna dari pada sejuta teori. Disinilah pola Pendidikan Islam informal orang Banjar "zaman bahari" mendidik keluarganya, mulai dari membiasakan diri pada kebaikan hingga menjadi kebiasaan. Pendahulu telah meletakkan dasar, bahwa jam 03.00 sudah Tahajjud, duduk tafakkur di pasahapan, menjadi pandangan setiap subuh bagi anak menantu, cucu cicit buyut barataan. Mereka telah menempuh jalan yang diridhoi Allah. "Anum - anum batulak haji."  Seakan hidup mereka untuk Allah SWT semata. Tiga pusat pendidikan telah membentuk karakter "urang Banjar", madrasah, rumah dan masyarakat. Madrasah diajarkan Nahwu Saraf (ilmu bahasa), gasan mengaji Kitab, di rumah pembiasaan pola perilaku keagamaan ahlus sunnah (habitual formation), di masyarakat berguru pembacaan dengan muallim (tuan guru). Lingkungan yang menguntungkan bagi generasi Banjar dahulu. Sekarang, menjadi kewajiban generasi Banjar yang akan datang berupaya menghadirkan "atmosfir" keilmuan tersebut. Kadang terdapat tantangan. Tapi, bagaimana generasi baru Banjar mampu menjawab pertanyaan zaman kekinian ? Seperangkat IT boleh dijadikan medium meluaskan massage trilogi Keislaman, Keindonesiaan, Kebanjaran. Minimal lokalitas Banjar dapat ditemui sampai di area mana bahasa Banjar digunakan, itulah bumi Banjar "the facto". Mulai dari Nanga Bulik sampai Kota Baru Gunungnya Bamiga'. Pengaruh kebahasaan dan kebudayaan ini merambah hingga ke bumi Melayu Kalbar, seperti tradisi Tumbang Apam, Batuang Minyak, Mandi Safar dan sebagainya. Kontribusi perantau inilah yang membawa "adat rasam" budaya sekaligus penyiaran agama. Utusan kesultanan Utsmaniyah yang telah menjalin hubungan diplomatik bilateral dengan kesultanan Banjar, mulai dari Sultan Tahliliyah, berupa beasiswa kuliah di Mekah - Madinah, seperti Syekh Muhammad Arsyad al - Banjari dan generasi semasa dengan beliau. Al Banjari inilah yang terus melanjutkan penyebaran Islam di luar tanah Banjar. Sintang (1600) adalah bukti penyiaran Islam yang datang dari Banjar dengan kapal kayu dan rakit. Sambung - menyambung berkelindan hingga ke gugusan kepulauan Borneo. Kepulauan Borneo termasuk Malaysia dengan sembilan negeri bagian, Thailand, Philipina, Singapora, Tanjungpura, dan gugusan tanah Jawa dan kepulauan Sumatera. Hingga di Mekahpun hari ini ada "kampung Banjar".

Generasi baru Banjar ditantang untuk bisa berbuat atau malah lebih dari pada leluhurnya. Sudahkah darah patriot sejati pejuang agama mengalir deras dari ubun-ubun hingga ke ujung kuku ? Sudahkah perahu dan rakit yang digunakan leluhur untuk menyeberangi lautan : Kalimantan - Sumatera - Sulawesi - Malaysia, Thailand - India - Burma - dijadikan inspirasi. Era Revolusi Industri 4.0 dan 5.0 merupakan peluang tersendiri bagi medan dakwah, sosial dan pendidikan.

Bahwa hari ini, banyak ilmuan yang "tercengang" melihat barat. Barat telah diberhalakan oleh timur. Seharusnya kaum terpelajar berani berijtihad walau salah. Ilmuan yang taklid dan jumud tidak bisa diharapkan untuk kebangunan jiwa dan raga Indonesia Raya. Generasi terdahulu telah mencontohkan, tidak ada bumi yang "tabu" untuk dijelajahi. Sepanjang lautan dan daratan hanyalah bumi milik Allah SWT. Feodal dihadapan barat, hanya semakin menjatuhkan harkat dan martabat Kebanjaran, Keindonesiaan dan Keislamanan yang berperadaban global.

Nabi Muhammad SAW secara revolusioner membuka wilayah research dalam Hadits : "Barang siapa yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka dia diberi dua pahala. Sedang jika ijtihadnya salah, maka dia diberi satu pahala." Kini, ada yang salah dalam pola pendidikan hari ini, kita telah berhasil menciptakan peserta didik untuk menjadi peniru yang ulung, bukan "menjadi diri." Polarisasi pendidikan ini menyempitkan arti pendidikan sama dengan birokrasi. Birokratisasi pendidikan lebih kental dan lebih nyata dari pada pendidikan itu sendiri dalam praktiknya. Praktik birokratisasi pendidikan yang lebih menguat, mengental dan menyata dari pada pendidikan itu sendiri, hanya akan melahirkan sarjana yang dehumanisasi. Pantas, Nabi Muhammad SAW bersabda : " Barang siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah hidayah (petunjuk), tidak menambah baginya kepada Allah, kecuali semakin jauh (dari Allah SWT)". Ilmu yang profan tidak bisa disandingkan dengan hidayah yang sakral. Ilmu yang immanent tidak bisa disandingkan dengan hidayah yang transendent. Ilmu yang kosmos tidak bisa disandingkan dengan metakosmos. Keparahan dunia pendidikan menjadi - jadi saat pendidikan berhaluan kapitalisme dan elitisme. Pendidikan berpola seperti di atas tidak banyak memberi manfaat, kecuali kesombongan yang melahirkan kasta baru. Kasta baru ini akan membuat regulasi, dimana gelar kesarjanaan menjadi pemisah antara mereka dengan masyarakat yang dahulu telah menjadi rahim kesarjanaan mereka. Inilah teori yang telah ratusan tahun dijunjung tinggi sebagai citra akademika, yaitu rasionalisme, dimana rasionalisme berakar pada atheisme.

Birokratisasi pendidikan boleh diikuti tapi jangan diberhalakan sebagai harga mati. Atmosfir di kalangan kaum terpelajar semestinya berbeda dengan struktural. Guru merupakan jabatan profesional yang tak tergantikan oleh siapapun. Guru tidak bisa didikte oleh kekuatan apapun. Guru adalah jiwa, bukan perangkat pembelajaran, guru bukan media, artinya tidak ada istilah mantan guru. Karena pengaruh guru tidak pernah mati dan tidak diketahui batas mana pengaruhnya berhenti. Membangun kemitraan guru - siswa tidak bisa terjalin dengan regulasi yang rigid, formalitas dan ritualistik. Guru - siswa sesama insan pembelajar, mereka berkesadaran untuk belajar bersama dan memperoleh hasil belajar bersama, artinya bukan hubungan atas  -  bawah (top down), tetapi kesetaraan nilai (equallibrium).

Kebudayaan sekolah inilah yang harus ditanamkan serta pengadaan proyek pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berperadaban yang bercirikan berani tapi santun dan bertanggungjawab, jujur dan terus menerus melakukan peningkatan mutu diri, mandiri dalam berpikir dan bertindak, tidak jumud. Pencirian ini syarat mutlak bagi bangun peradaban sejati  kesemestaan. Perababan bukan ditandai dengan bangunan yang mewah, jumlah wc, jumlah kursi dan meja guru - siswa, perangkat class room digital, jumlah ruang UKS, dan halaman olahraga. Inventaris sekolah itu penting, tapi bukan segalanya. Segalanya adalah pembangunan jiwa pendidikan terlebih dahulu, baru pembangunan raga pendidikan.

Anggaran pendidikan mulai SD hingga PT yang bertitik tumpu pada fisik sekolah, dan telah merasa "bermutu" dengan sekolah "tingkat", terkecoh dengan "tampilan luar", serta seluruh pemangku kepentingan merasa cukup dengan estimasi anggaran pada sapras. Ada yang terabaikan, ada yang terlupakan, itulah guru, jiwa pendidikan. Maksudnya, kompetensi profesi keguruan tidak pernah diupgrade. Misalnya, sejak diangkat menjadi guru tahun 1975, tidak pernah mengikuti loka karya, simposium, workshop, kalaupun ikut, guru hanya menjadi pendengar yang pasif. Miris benar nasib pendidikan di tanah air.

Akreditasi Sekolah/Madrasah penting, tapi bukan segalanya. Pengelolaan pendidikan yang sentralisasi dimana standar kelayakan mengacu pada area JABOTABEK, sungguh tidak adil bagi daerah terpencil, atau belum memenuhi standar apalagi layak mutu.

Akhirnya, generasi baru Banjar harus bisa membuka diri untuk kemajuan bersama di tengah persaingan pasar global. Tetapi, tidak melupakan warisan leluhur yang telah ditulis oleh pedatuan dahulu, untuk diamalkan sebagai landasan spiritual Banjar dari generasi ke generasi yang tertulis dalam kitab Ad Durrun Nafis, kitab Berencong karya Datuk Sanggul, kitab Senjata Mukmin, kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, kitab Aqidatul Aqaid karya Abdurrahman Al Banjari, dan ribuan kitab yang telah ditulis oleh ulama Banjar.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN