HAMBA RAMADANI ATAU HAMBA RABBANI - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag
HAMBA
RAMADANI ATAU HAMBA RABBANI
Hamba Ramadan boleh dimakna dengan pengabdian kepada dan selama
Ramadan ada. Ramadan tiba, ibadah hambapun semarak, begitu Ramadan pergi, secepat itu pula ibadah hamba pergi, bahkan telah hilang sama sekali, sebelum Ramadan berpamitan pulang kembali ke
pangkuan Rabnya, si hamba telah menjauh
dari Rab Sang Pemilik Ramadan. Mungkin
si hamba demikian tergiur dengan pahala yang dijanjikan selama bulan suci
Ramadan. Ternyata ini tidak
efektif, karena tidak didasari oleh rasa
kehambaan yang bertuhan, maksudnya kehambaan yang bertuhan itu adalah sangat bergantung kepada Allah SWT
(mukhbitin, syakirin, rahhabin,
rahib yaitu pengabdi Tuhan tanpa upah).
Bulan Ramadan datang dan pergi,
pasang surutnya merupakan sunnatullah seperti bulan yang lain, Ramadan memiliki keistimewaan dibanding bulan
lain, tapi jika ibadah disandarkan hanya
pada Ramadan, sebentar lagi kita akan
berpisah dengan Ramadan. Sama halnya
jika kita menyembah Nabi Muhammad saw Rasulullah telah wafat, tapi jika kita menyembah Maha Pemilik Ramadan
dan Maha Pemilik Jiwa Rasulullah saw - Allah SWT. Allah SWT
Maha Hidup Kekal Abadi, tidak
pernah mati lagi Maha Berdiri Sendiri
(Al Hayyu Al Qayyum). Mereka yang
menjadi hamba Ramadani sangat rentan terhadap bujuk rayu duniawi di luar Ramadan. Ini merupakan tipologi hamba musiman. Ibadah gegap gempita hanya di bulan
Ramadan, hamba adat istiadat atau hamba
tradisi. Realitas inilah yang sangat banyak terjadi di masyarakat. Ada cluster ibadah pekanan, ada ibadah musim tahunan, si hamba demikian gambaran kurang pengenalan
kepada Allah. Bahwa, Allah Maha Ada,
Maha Hadir, Mengawasi (terdapat
dalam 99 nama Allah yang indah).
Sedang hamba Rabbani memantapkan ibadah kepada Allah SWT tanpa
memilah, memilih, memisah waktu dan tempat. Hubungan cintanya kepada Allah selalu
hangat. Panas bara api cintanya kepada Allah SWT tidak
pernah padam, selalu berkobar dalam dan
luar Ramadan. Lebih - lebih di bulan
Ramadan, sangat dia (hamba) rasakan nikmatnya bercinta dengan Allah, Tuhan Maha Pencinta (Al Wadud). Mendalam merasuk cinta dengan Allah, yang terpandang hanya Allah dalam sifat
Qudrat, Iradat, Ilmu,
Hayat, Sama', Basar, Kalam nya Tuhan semata mewujud lewat Maha
Karya yang dihamparkan Allah di muka bumi dan penghuninya, Allah SWT tinggikan langit beserta para
penghuninya.
Sewaktu memandang kuasa seseorang yang terpandang secara batin
adalah kuasa Tuhan (Qudrat), memandang kepada kehendak manusia yang
beragam corak dan warnanya, terpandang
pada satu kehendak besar yang bebas
(Iradat Allah). Memandang dan
merasakan denyut nadi kehidupan,
terpandang olehnya hanya ada satu kekuatan yang menggerakkan alam
raya, dia Allah SWT yang Maha Hidup (Hayatullah). Melihat dan dilihat hanya
berasal dari Ilmu Allah SWT yang Maha Esa dalam ilmunya, tidak terbagi atas bagian dan proses tahapan.
Begitu juga mata, telinga, mulut, alat dan perangkat pembantu inipun
digerakkan dan diidzinkan Allah untuk dioperasi selama Allah menitipkan kepada
manusia sifatnya tadi menjadi
Qadirun, Muridun, Alimun,
Hayyun, Sami'un, Basirun,
Mutakallimun.
Tujuh sifat itu terkumpul dan terhimpun pada kalimah La haula wala
quwwata illa billah, sebuah ucapan
pengakuan kepasrahan total kepada Allah dengan sekaligus meniadakan kuasa, upaya dan tenaga diri yang hakikatnya sekedar
dititipi untuk kuasa, kehendak, hidup,
ilmu, mendengar, melihat dan berbicara. Dalam konteks ibadah Ramadanpun, kita tidak mengaku bahwa dengan kuasa dan
kehendak diri kita beribadah kepada Allah. Jika terselip muncul riak di
hati, maka pelakunya telah syirik. Menjadikan kuasa diri menyembah Allah. Allah
sangat marah untuk diduakan, Allah tidak
mau dimadu atau dinomor duakan, Allah
SWT sangat pencemburu kepada hamba Nya. Bersihkanlah hati dalam beribadah
kepada Nya (Aku tidak memerintahkan
kepada Mu beribadah kepada Allah.
Kecuali memurnikan ketaatan dalam agama,
surah Al Bayyinah/98 ayat 5).
Esensi Tauhidullah menjadikan beragama sebuah energi positif
berdimensi langit yang tinggi dan kokoh menuju
Rab (Tuhan), menembus tujuh petala
langit dan diterima Sang Khalik dariNya pujian (ibadah) dan kepada Nya kembali segala puji (ibadah)
baik saat kondisi senang maupun susah,
sehat - sakit, muda - tua,
kaya - miskin, lapang -
sempit, hidup - mati selalu memuji Allah, memuju Tuhan
(Rab) alam semesta. Tercelup
sudah hidayah Allah dalam warna dan aura si hamba yang tampak dari keutamaan
Ramadan ( Al - Afuwwu, Al - Karim, Maha Pemaaf,
Maha Pemurah), doa yang
berdimensi langit Ramadan dalam sifat dan namaNya tadi.
Sedang esensi tauhid asma Allah,
meneguhkan hak Ketuhanan Allah dan meneguhkan kedudukan diri dalam
kehambaan hamba yang bersahaja tanpa berpunya,
tanpa berdalih, tanpa
berdebat, menerima kenyataan bahwa diri
semata hamba yang berserah diri kepada Allah. Baik Ramadan atau bukan, di masjid atau di luar, di sajadah atau tidak di sajadah, karena dia merasakan bagian dari alam, tidak lebih.
Esensi Ar Rahman Ar Rahim menyatu tapi terpisahkan dari diri hamba
Rabbani. Maksud menyatu adalah pengasih penyayang dari Allah sebagai
sumber. Hakikatnya menyatu kasih dan
sayang Allah berasal dari Allah, kembali
kepada Allah. Maksud terpisah karena hamba dan Allah merupakan entitas yang
berbeda, Maha Pencipta - yang Diciptakan (Khaliq - Makhluq), dan seluruh atribut perbedaannya.
Nama Allah SWT dalam
himpunan Al Jalal (kebesaranNya,
keagunganNya) tergambar pada asma
(namaNya) Al Qahhar
(keperkasaan), Al Jabbar (memaksa), Al Qabith (menyempitkan rezeki), Ad Dhar (pemberi musibah), Al Mani' (menahan
anugerah), dzun tiqam (penyiksa), Al
Mudzillu (menghinakan), Al Khafidh (merendahkan), nama yang terhimpun ini membuat hamba takut
kepada Allah. Takut adalah modal utama beragama. Tanpa ada rasa takut seseorang tidak
beragama. Indikator beragama adalah
takut kepada yang Maha Ghaib (Allah)
akan siksa, murka, adzab nerakaNya yang membakar sangat
panas. Dari penyatuan nama Al Jalal
inilah, Dia memberikan sakit, kemiskinan,
keterbelakangan, kehinaan, kerendahan,
kerugian, usaha gagal modal tidak
cukup. Usaha manusia tidak bisa
menembus, menerjang dan menerobos pagar
- pagar Al Jalal, dan sekat -
sekat Al Jalal serta seluruh namaNya,
atribut dan lambang kebesaranNya.
Al Jalal Allah SWT nyata
pada namaNya, seperti Al Mumit
(Maha Mematikan), manusia tidak berkutik jika berhadapan dengan Al Mumit, sepintar apapun, sehebat apapun, sesehat apapun, pasti terpapar dan terkapar dihadapan Allah
SWT Al Mumit. Jika ada yang mati karena sakit atau mendadak, itu hanya kisah si hidup yang bercerita atau
berbagi berita, hakikinya Allah SWT
AlMumit yang membuat sebab, mendatangkan
sebab, dan memberi tahu cerita sebab
kematian. Al - Mumit tidak bisa dihalau,
tidak bisa dihadang, tidak bisa
dilarang, sampai waktu yang ditentukan
(ajal) pada setiap kalung yang tergantung
pada leher anak Adam (kalung taqdir).
Begitu juga dengan Ad Dhar (Pemberi Petaka), tak bisa dihadang datangnya, tak bisa diusir perginya. Jika kamu bisa mengusir, itu merupakan kehendak Allah Ad Dhar yang
menunjuki dan melapangkan jalan.
Begitulah seterusnya iman bagi hamba Rabbani yang tak berujung,
malah semakin kuat buhul temalinya dengan Rabbi.
Ahwal (keadaan) si hamba Rabbani yang merasakan bahwa Allah
menghinakannya, merendahkannya, menyempitkan rezekinya, memberi sakit tiada kunjung sembuh, memberi miskin tiada ujung, efeknya,
si hamba Rabbani semakin kuat berkeyakinan, berbaik sangka, akan ampunan Allah SWT yang Maha Luas di
akhirat. Kondisi yang melahirkan kabad
(kesedihan), pilu yang dapat
mengantarkannya pada kemurahan Allah dalam kuasa mutlakNya. Seperti perkataan
Nabi Ya'qub As dalam surah Yusuf (12) ayat 86 : Berkata Ya'qub, Hanya kepada Allah. Aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.
Sedang nama Allah dalam himpunan Al Jamal (keindahan, kebagusan, keelokan), jika ditempiaskan atau dipercik pada
hambaNya, menjadilah si hamba ini, hamba Allah yang pemurah (Abdurrahman), hamba penyayang (Abdurrahim), dan seterusnya. Nama Allah SWT Al Jamal sangat banyak dalam
Al Qur'an hampir seratus persen. Walau
namaNya Al Jalal sekalipun, tetap Dia
berniat kebahagiaan, kebaikan, keamanan,
keimanan, keselamatan hambaNya di
dunia dan di akhirat.
Demikian, semakin meneguhkan
keyakinan bahwa Allah Rabbi yang selalu hadir dalam setiap detiknya, Maha Meliputi, Maha Memenuhi, Maha Memadati ampun dan maafNya. Wallahu a'lam bish shawab.
Komentar
Posting Komentar