Al Hikam - Hikmah 250-252 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

 


HIKMAH 250 -252
TAWADHU' BILLAH

  1. Barangsiapa merasa diri tawadhu' , maka dia benar-benar sombong.
  2. Bukan tawadhu' orang yang merasa telah merendahkan dirinya, tetapi tawadhu' adalah diri yang tidak layak mendapatkan kemuliaan (karena tawadhu' adalah kemuliaan disisi Allah, artinya merasa diri tawadhu' telah merasa diri mulia, lalu merasa diri mulia merupakan kesombongan).
  3. Hakikat tawadhu' terbit dari menyaksikan kebesaran Allah dan tersingkapnya sifat-sifat Allah.

Imam Ahmad Ibnu Athaillah ini menjelaskan bahwa tawadhu bukan pengakuan makhluk, tapi pengakuan Allah kepada makhlukNya yang benar-benar tawadhu', sebab dia (tawadhu’) bukan pengakuan diri yang lemah ini, tapi menjadi rahasia Allah dalam ilmuNya (sirullah).

Shahibul hikam melalui hikmahnya mengatakan seseorang yang telah merasa merendahkan diri karena telah merasa kebesaran diri, pengakuan diri tawadhu' berarti pengakuan palsu dan tipu-tipu diri yang terbit dari ananiyyah (keakuan diri) dan muslihat syaithan yang halus bisikannya. Hakikat tawadhu adalah menerima kebenaran dan meninggikan orang lain sebagai kebalikan dari takabbur yaitu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Kita ummat Nabi Muhammad saw disuruh merendahkan diri dihadapan orang lain, sebab orang lain telah memiliki kemuliaan yang telah lama dan kemuliaannya lebih baik dari pada diri kita. Lakukanlah kerendahan diri dan jangan pernah mengaku bahwa diri ini mulia dengan merendahkan diri, perasaan inilah yang berbahaya bisa mengundang penyakit hati seperti riya', sum'ah dan 'ujub yang bermuara dari takabbur.

Tawadhu bersumber dari syuhud (pandangan batin) menatap pada satu titik keesaan (wahdaniyyah) yang satu (wahdah) dalam af'al Allah mulai dari tingkat syuhudul kasrah fil wahdah (pandanglah  yang banyak dalam yang satu), naik ke tingkat syuhudul wahdah fil kasrah (pandanglah yang satu dalam yang banyak) serta tingkat tertinggi (terakhir) adalah syuhudul wahdah fil wahdah (pandanglah yang satu dalam yang satu). Makhluk tiada daya tiada kuasa (lahaula wala quwwata) illabillah (kecuali dengan Allah), disinilah mengarahkan petunjuk tiada tawadhu' kecuali dengan Allah (tawadhu'  billah). Sebagaimana firman Allah swt dalam surah Al Hijir ayat 88 : Janganlah engkau tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang Kami berikan kepada kelompok mereka (orang kafir) dan janganlah engkau bersedih hati atas kekafiran mereka, dan berendah hatilah engkau terhadap orang-orang yang beriman. Pandangan inilah yang disebut wahdaniyyah fil af'al Allah (keesaan dalam perbuatan Allah).

Begitu juga dalam hal keesaan asmaul husna. Tiada yang bernama kecuali Allah, tiada yang ternama kecuali Allah, tiada yang terpuji kecuali Allah, tiada yang indah kecuali Allah, tiada yang baik kecuali Allah, tiada yang bagus kecuali Allah, ucapan Allah, Allah, Allah, Allah muliakan orang yang mengucapkannya walau hanya dia sendiri masih mengucapkannya, Allah tunda qiyamat. Hingga betul-betul tidak ada lagi yang mengucapkan Allah, Allah, Allah.Tertahan bumi hancur, tertahan langit jatuh, tertahan matahari-bulan bertabrakan, tertahan angin kencang, tertahan gelombang mengamuk di daratan, tertahan pohon tumbang, tertahan qiyamat,  disebabkan Allah menghormati orang yang mengucapkan namaNya, Allah walau keadaan hamba hanya sendiri yang mengucapkan, selainnya sudah kafir. Demi Allah menghormati si hamba ini yang di hatinya masih ada setitik iman, sementara ilmu hukum syara' telah Allah angkat ke hadiratNya. Allah sangat menghormati orang yang menyebut namaNya. Bahkan, Nabi Muhammad saw disuruh bergaul bersama orang yang sering menyebut nama Allah sebagaimana kalamNya : Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru tuhannya dikala pagi dan petang dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (yang menyeru Allah) karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta mengikuti keinginan mereka dan keadaan mereka sudah melampaui batas (Al Kahfi ayat 28). Allah juga menjelaskan bagaimana sikap kita terhadap orang yang mempermainkan nama - nama Allah : Dan Allah memiliki nama-nama yang baik, memintalah kepada Allah dengan nama-nama itu, dan berpalinglah dari orang-orang yang memperolok-olok nama Allah, nanti mereka akan mengetahui akibat perbuatan mereka.

Beliau mengatakan sumber tawadhu' bukan dengan memandang diri, tetapi dengan memandang kebesaran Allah di dalam asma dan sifat-sifatNya. Sifat Allah merupakan rupa yang tak terhingga dan tak berkesudahan manusia mengkajinya, itupun hanya sebatas pengkajian alam dzahir. Bahwa ilmu Allah tidak berproses, tanpa tahapan pengetahuan, absolut, utuh menyeluruh tanpa media, tanpa bacaan dan tulisan. Hayat Allah tidak berawal tidak berakhir, sedianya memang sudah ada. Qudrat Allah tiada satupun di alam ini, dunia atau akhirat yang dapat menghalangi kuasaNya, mendahului kuasaNya atau mengakhirkan kuasaNya, kuasaNya tanpa bantuan makhluk. Dia berkuasa menolong hambaNya tidak berawal dari rasa iba atau rasa miris, karena iba dan miris merupakan aib atau kekurangan. Dia berkuasa dengan ilmuNya, bukan dalam takaran ilmu makhluk jin dan manusia. Iradat Allah pasti lulus. Iradat (kehendak) Allah pasti tercapai. Ketercapaian iradat Allah adalah sekehendak diri (dzat Allah), semau Allah. Jika Allah berkehendak maka jadilah, jika tidak dia (Allah) berkehendak maka tidak jadi, walau telah engkau kerahkan manusia dan jin seluruhnya. Iradat Allah padamu tidak bergeser, tidak disebabkan oleh sebab, tidak diakibatkan oleh banyak pertanyaan akibat. Iradat Allah sesuatu yang pasti. Surah Yasin ayat 82 : Innama amruhu idza arada syai-an ayyaqula lahu kun fayakun.

Sama', basar, kalam dalam uraian berikut ini juga menyatakan kebesaran sifat Allah  yang tak tertandingi. Sama' Allah maha mendengar Allah tidak menggunakan alat seperti telinga. Pendengaran Allah sangat meliputi dari bunyi yang paling besar hingga bunyi yang paling halus. Dari yang kedengaran hingga yang tidak kedengaran seperti bisikan hati, suara alam, suara apa yang ada di dalam batu, suara atau bisupun Allah maha mendengar. Karena Allah maha mendengar berhati-hatilah dalam bersuara. Mengerti bahwa Allah maha mendengar jadi tidaklah bicara seorang hamba kecuali ingin mengambil manfaat dari bicaranya, dan tidaklah diam seorang hamba kecuali ingin mengambil manfaat dari diamnya. Allah maha segalanya, termasuk mendengar dan melihatNya (innahu huwassami'ul basir).

Basar Allah maksudnya penglihatan Allah maha luas dan maha besar. Saking terangnya penglihatan Allah dan Allah cahayaNya terang menjadikan Allah tidak bisa dipandang dan Dia bisa memandang, dan Dia maha halus maha mengenal (la yudrikuhul abshar wahuwa yudrikul abshara wahuwal lathiful khabir). PenglihatanNya tidak menggunakan mata karena Dia tidak butuh kepada benda. Dia melihat dengan ilmuNya. Dia melihat dengan ilmuNya, Dia mendengar dengan ilmuNya, termasuk Dia berbicara dengan ilmuNya, dengan demikian, pendengaran, penglihatan dan percakapan Allah tidak pernah cacat dan cela. Penuh kesempurnaan dan keterjangkauan penglihatanNya tidak meleset dan tidak buram.

Kalam Allah artinya pembicaraan kata dari Allah. Seperti firmanNya : Wakallamallahu musa taklima (Dan Tuhan berbicara kepada Musa secara langsung). Allah maha berbicara kepada alam, memerintah alam, memerintah manusia dan jin, melarang alam, melarang manusia dan jin, bahkan yang maha berbicara ini mengajarkan manusia untuk bicara, Allah Ar Rahmanlah yang mengajarkan Al Quran, menciptakan manusia, mengajarkan bicara (Ar Rahman ayat 1-4). Perkata Dia ajarkan, perkalimat, sehingga manusia bisa menghapal Al Quran yang terekam kata-kata dalam otaknya, dengan kata-kata itulah si hamba mengenal dan berhubungan dengan Tuhannya.

Sifat kalam Allah inilah manusia lalu bisa bicara. Kalam Allah titipkan pada ruh, bentuk dalam jasadnya adalah lidah, tenggorokan. Begitu juga dalam kemampuan menghapal Al Quran, jangan tergesa-gesa, karena kehendak Allah yang menetapkan si hamba bisa mengemban Al Quran sebagai titipan dariNya.

Begitu si hamba mengetahui kebesaran nama dan sifat Allah sebagai karunia yang dianugerahkan kepada hamba, tidak ada tempat bagi makhluk untuk sombong. Memandang kepada diri yang lemah yang bisa tegak karena ditegakkan Allah, lalu memandang pada kebesaran Allah dan betapa kecil serta tidak berharganya manusia terbitlah sifat tawadhu'. Semoga Allah memberikan kita sifat tawadhu'. Wallahu a'lam.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

AN NURIYAH

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN