Al Hikam - Hikmah 220 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag
HIKMAH 220
KEWAJIBAN PADA WAKTU DAN
KEWAJIBAN WAKTU
(HUQUQUN FIL - AWQAT - HUQUQUL
AWQAT)
Telah berkata
mursyid imam Ahmad ibnu Athaillah As Sakandari rahimahullah ta'ala 'anhu (wafat
700 H) : Kewajiban di dalam (pada) waktu dapat diqadha (ganti), sedang
kewajiban waktu tidak dapat diqadha. Sebab, setiap waktu ada hak Allah dan kewajiban hamba yang terjadi saat itu, tidak bisa diulang lagi waktunya. Sedang kewajiban
pada waktu bisa diulang. Lalu, bagaimanakah engkau dapat menyelesaikan hak dan
kewajiban waktu, apabila engkau belum menyelesaikan hak Allah dalam (pada)
waktu.
Kewajiban pada
waktu adalah pada waktu-waktu yang telah ditentukan seperti shalat dan
mengqada'nya, waktunya mungkin telah hilang, tapi kewajiban pada waktu masih
tetap ada. Atau seperti kewajiban puasa, apabila puasa tahun ini tidak
dilaksanakan karena terdapat uzur yang dibenarkan syara', maka bisa diganti
tahun yang akan datang sebelum masuk Ramadhan yang akan datang.
Kewajiban pada
waktu secara rutinitas telah Allah swt tetapkan, seperti kewajiban puasa
(syahru Ramadhan), kewajiban shalat pada waktu tergelincir matahari, lalu di
awal malam, dan waktu subuh. Kewajiban haji pada bulan-bulan yang telah
ditentukan (alhajju asyhurum ma'lumat), zakat ada ketentuan nisab dan haulnya,
mustahiq dan muzakki. Allah swt menentukan kewajiban-kewajiban itu supaya manusia
disiplin. Disiplin kebaikannya kembali kepada manusia lagi.
Sedang
kewajiban waktu bagi manusia tidak ditentukan waktunya, sebab berjalan seiring
dengan kebutuhan dan momentum (kejadian) yang tak akan terulang lagi selamanya.
Misal, ketika seseorang ditimpa musibah, spontan ucapan yang keluar itu adalah
Innalillahiwainnailaihirajiun. Ucapan innalillah menjadi kewajiban saat itu dan
tak terulang lagi. Kecuali, ditemukan lagi kejadian serupa di waktu yang lain.
Apapun
peristiwa yang ditemukan menjadikan kewajiban waktu yang bernilai (berharga)
ibadah yang tidak terulang lagi, baik ibadah hati, perbuatan dan perkataan yang
bersetaraan dengan kejadian waktu dan tuntutan ibadah padanya. Saat mendapat
nikmat, hati mensyukuri dan meyakini bahwa anugerah nikmat datang hanya dari
dan karena Allah swt belaka, kemudian perbuatan bersujud syukur lalu lisan
berucap alhamdulilah dan tangan bersedekah serta bibir tersenyum bahagia. Momen
yang diharus diboboti dengan investasi akhirat. Begitu juga halnya saat membaca
ayat Al Quran ketika bertemu ayat tilawah, tubuh raga bersujud kata berucap sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wasyaqqa sam'ahu wa basharahu bihaulihi wa
quwwatihi fatabarakallahu ahsanul khaliqin, hati beriman dan yaqin tiada ragu
sedikitpun.
Momen bertemu
dengan bacaan sajadah tidak disemua surah, ada 14 surah dalam 15 tempat
bersujud sajadah karena dalam surah Al Haj terdapat dua kali bersujud. Sama
halnya sewaktu bersin ucapkanlah alhamdulillah, yang mendengar hendaklah
menjawab yarhamukallah, yang bersin tadi menjawab lagi yahdikumullah. Kewajiban
waktu bersin tidak setiap hari, tapi ketika bersin ada hak (tuntutan) waktu
membaca yang diperintah. Atau, sewaktu berjanji, ucapkan insya Allah, tidak
boleh memastikan sesuatu kejadian yang akan terjadi besok. Janji kita harus
disandarkan kepada kehendak Allah, jika dikehendaki Allah (insya Allah).
Jadi, semua
ucapan dan perbuatan selama 24 jam harus menyertakan Allah supaya bernilai
ibadah. Inilah yang dimaksud bahwa malam dan siang merupakan investasi waktu
taqwa sebagai bekal ke negeri akhirat yang kekal. Ada lagi kewajiban waktu yang
tidak berwaktu, kewajiban tempat yang tidak bertempat ialah dzikir. Dzikir yang
selalu terhadirkan di hati bagian dari ibadah yang berkekalan dan
berkesinambungan berkelanjutan (mudawamah) yang mudah dan ringan di lisan
tetapi pemberat di timbangan amal (mizan), penambah berlipat ganda catatan amal
kebaikan, penghalang siksa qubur dan siksa neraka. Ibadah dzikir ini bisa
dilakukan 24 jam seharian - semalaman - selamanya hingga akhir hayat. Wallahu
a'lam.
Komentar
Posting Komentar