Al Hikam - Hikmah 256 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

 


HIKMAH 256
MEDAN PERJUANGAN

Andai tidak ada medan-medan perjuangan jiwa melawan hawa napsu, pasti tidak akan terbukti kebenaran perjalanan orang-orang yang menuju Allah, sebab tidak ada jarak antaramu dengan Allah yang harus ditempuh dengan kendaraan, dan tidak pernah putus hubunganmu denganNya, jika hapus (putus), maka sambunglah olehmu.

Hakikatnya tidak ada jarak penghalang antara hamba dengan Tuhan, saking dekatnya hubungan keduanya, menjadi rahasia hati yang tidak terbaca, tidak tertulis dan tidak terkira, sebab kedalaman hati tiada seorangpun tahu, kecuali Allah swt.

Tetapi, hubungan mesra itu tercederai dengan hawa napsu tamak duniawi, lalu hubungan mesra dan cinta dengan Allah swt itu menjadi renggang, menjadi kosong tidak bermakna, menjadi hampa tidak berarti, lama-lama hubungan itu bisa putus. Pemutus hubungan engkau dengan Allah swt adalah syahwat, syahwat ingin berkuasa, syahwat ingin kaya, syahwat artinya indah dipandang mata dzahir tentang kemewahan dan kesenangan hidup di dunia.

Penghalang terbesar antara manusia dengan Allah swt adalah kesombongan (takabbur). Takabbur telah mengusir kita dari rumah rahmat Allah swt berupa nestapa di dunia dan nestapa di akhirat ( syaqiyyun fid dun-ya, wa syaqiyyun fil akhirah). Sifat takabbur manusia sangat berlawanan dengan sifat Allah swt. Takabburnya cenderung untuk menguasai, merajai, memerintah lalu mendzalimi, sedang takabburnya Allah swt untuk mencipta, menjadikan alam semesta raya, melindungi, menyayangi, menjaga merawat. Atau dengan kata lain Allah maha hidup (hayat) segera Dia menghidupkan (hayyun), Allah swt maha mengetahui ('ilmu) segera Dia teteskan ilmu melalui pemberitahuan dariNya ('alimun), Allah swt maha kuasa (qudrat), segera Dia limpahkan wewenang kekuasaanNya kepada makhlukNya (qadirun), Allah swt maha berkehendak (iradat), Allah swt titipkan dan percikan kebebasan berkehendak, berpendapat dan menentukan kerja dan pilihan melalui sifatNya iradat menjadi muridun. Begitu pula halnya bahwa Allah swt maha mendengar (sama'), Allah swt titipkan dan percikan kepada hambaNya bisa mendengar dengan sifat maknawiyahNya berupa sami'un (manusia hanya dapat mendengar ketika ada pelimpahan kepercayaan dari Allah swt kepada manusia dengan sifatNya yang disebut sami'un). Allah swt atas dasar kasihNya yang maha melihat (bashar), segera Dia titipkan kepada seluruh makhluk di dunia ini untuk bisa melihat dengan ijin dari bashar Allah, lalu alam semesta ini bisa melihat dengan sifat maknawiyah yang telah Dia beri restu kepada alam untuk melihat dengan sifatNya yang disebut bashirun. Demikian pula keadaan manusia yang bisa berbicara itu berasal dari sumber segala sumber pembicara dan materi pembicaraan dengan bahasa yang berbeda dan dengan dialek yang beragam langgamnya, sumbernya hanya satu yaitu Allah dengan sifat ma'ani Allah swt yang disebut kalam. Kalam Allah swt inilah yang menurun kepada alam semesta berupa pembicaraan alam seperti suara burung, suara biawak, suara harimau, suara kucing, suara malaikat, suara jin, suara manusia, manusia sebagai mandataris Allah swt dapat sifat kalam Allah swt, turunan dari sifat ini yang menjadikan manusia bisa berbicara disebut sifat Allah swt yaitu mutakallimun. Sebagaimana Dia yang mengajarkan kalamNya dalam surah Ar Rahman ayat 4 : Dia mengajarkan manusia pandai berbicara (pandai menjelaskan).

Ada perbedaan antara hayat Allah dan hayat alam, dan seluruh sifat tujuh yang diturunkanNya. Pemahaman dan pengenalan yang paham tentang perbedaan ini menyebabkan manusia tidak bisa lagi berlaku sombong saat ketika memandang sifat-sifat Allah swt. Hayyun (hidup manusia terbatas sebagai kehidupan yang dianugerahkan Allah swt dalam sifat hayat).

Beliau mengatakan sekiranya tidak ada lapangan perjuangan melawan hawa napsu tidaklah ditemukan adanya  perbedaan antara orang yang sungguh-sungguh dalam menjalankan perintah agama  dengan orang yang separuh hati dalam menjalankan agama, untuk membedakan mereka yang sejati dalam kancah arena perjuangan (mujahidin) dengan orang yang duduk-duduk saja (qa'idin). Disinilah hikmah kenapa Allah swt menciptakan medan-medan perjalanan menuju Tuhan terkadang terjal, landai, mendaki, mendatar, menurun, dalam rangka untuk membedakan siapakah yang bersungguh-sungguh dalam iman dan amal shaleh ?

Ranjau-ranjau jebakan dan halangan dalam perjalanan menuju Allah swt terdapat di hadapan dan di belakang, di kanan dan di kiri mulai dari hawa napsu (keinginan diri) yang bergejolak, hingga syaithan yang terlaknat telah menggoda sampai ke aliran darah. Semua apa yang didatangkan Allah swt merupakan rantai-rantai ujian dalam nikmat dan bala', dalam taat dan maksiyat, dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan ujian yang didatangkan oleh Allah swt silih berganti corak dan warnanya yang beragam dalam luasnya kesenangan  atau sempitnya penghidupan.

Tetapi apabila hamba telah menyadari bahwa apapun yang didatangkan Allah swt adalah selalu baik, tenanglah hidup seseorang, jauhlah dia dari sifat pemarah, sebab marah itu muncul karena terlalu sayang atau terlalu benci kepada makhluk, sebagai tamsil orang yang sangat sayang pada dirinya, sewaktu dirinya dihina orang, dia sangat marah sebab dia telah merasa tergugat.

Dalam tamsil yang lain adalah seseorang yang sangat benci kepada seseorang memantik kemarahan. Berbeda halnya dengan orang yang telah sampai pada mentauhidkan Allah (muwahhid) pada fi'il Allah, bahwa apapun yang terlihat dan apapun terdengar tidak lepas dari fi'il (jamak af' al) Allah swt, pengenalan terhadap keesaan perbuatan Allah swt (tauhidul af'al) bisa meredam napsu amarah yang mengarah kepada kejahatan.

Jalan-jalan yang menghubungkan jiwa kita dengan Allah swt tertutupi dan terhalangi oleh hawa napsu (keinginan diri). Barang siapa yang bisa mengalahkan hawa napsunya sungguh dia menjadi pemenang. Manusialah yang telah menutup jalan hubungan baiknya dengan Allah swt yang awalnya terbuka lebar, karena syirik yang dikerjakannya telah menutup jalan Tuhan. Andai dia berhasil menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan, itu semata-mata terbit dari hidayah, ma'unah dan inayah sebagai percikan rahmat (kasih sayang) dari Allah swt.

Jiwa yang telah memahami bahwa perintang jalan menuju Allah swt dapat beragam corak macamnya, tapi intinya ada dua :  Jamalullah dan Jalalullah.

1. Jamalullah

Percikan sifat jamalullah ini mengambil bentuk suasana yang menguntungkan, menggembirakan dan membahagiakan yang terkadang manusia lupa bahwa keuntungan itu sumbernya dari sifat jamalullah (keindahan Allah) dalam himpunan namaNya Ar Rahman, Ar Rahim, Al Halim, Al Wahhab, At Tawwab, Ar Razzaq, Al Fattah, Al Hadi, Al Rasyid, Asy Syakur, Al Ghafur, Ash Shabur.

Jamalullah yang Allah pantulkan cahaya kasihNya, sayangNya kepada hamba lalu menjadilah hamba itu bersifat pengasih penyayang, pengasih dan penyayang karena Allah swt yang menyifatinya, seperti Allah swt menyifati Nabi saw dalam kalamNya : Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada pada keagungan akhlak (Al Qalam ayat 4).

Medan-medan napsu (mayadinun nufus) ikut bermain dalam menyikapi jamalullah yang Allah swt percikan pada hamba pilihanNya, dan tidak sedikit yang terkagum-kagum atas kebaikan hamba lalu menjadi berlebihan seperti nasrani menjadikan Nabi Isa putra Maryam berpangkat anak Tuhan, dan menjadikan Nabi Uzair sebagai anak Tuhan (Uzairubnullah) di kalangan ummat Yahudi. Atau menjadikan orang-orang pada masa Nabi Nuh alaihissalam sebagai Tuhan yang mereka jadikan monumen (patung) untuk disembah, nama-nama orang-orang shaleh pada masa Nabi Nuh alaihissalam yang mereka buat patungnya bernama Wad, Suwa'a, Yaghuts, Ya'uq dan Nasra. Ada lima patung yang mereka sembah pagi dan petang.

2. Jalalullah

Allah swt maha jalal (maha agung, maha kuasa, maha besar) lalu dengan sifat jalal ini ketika manusia menirunya muncul keakuan saat dia memandang  kekuatan pada dirinya, muncul merasa diri agung saat melihat diri lebih baik dan lebih terhormat dari orang lain, disinilah medan-medan perjuangan diri diperlukan untuk rendah hati (tawadhu') di kala maju dan jaya. Apabila manusia bisa mengatasi perintang-perintang jalan menuju Tuhan dengan hidayah Allah, terbuktilah kebenaran iman haqqul yaqin hamba kepada Tuhannya yang memang sejak awal tidak ada sekat antara dirinya dengan Allah swt. Memang, hawa napsu (keinginan diri) selalu mengarah kepada kejahatan, hawa napsu yang ada di dalam diri selaku musuh yang tersembunyi di dalam diri sendiri merupakan perintang terbesar untuk taat kepada Allah, oleh karena itu harus dilawan dengan peperangan yang besar, yaitu perang melawan hawa napsu (jihadul akbar-jihadun nafsi).

Apabila perintang hawa napsu dapat ditundukkan terbukalah dengan mudah lalu lalang perjalanan menuju Allah swt. Dalam arti, qabul seluruh amal dan qabul seluruh doa ketika berdoa sebab mulai pintu langit satu hingga pintu langit ketujuh telah terbuka. Dia menemukan Allah swt yang disembahnya ketika dia tidak lagi menerka-nerka, menduga-duga, mengira-ngira dan membayang-bayangkan Tuhan yang beraksara, bukan Tuhan yang berhurup, tapi telah berserah diri kepada Allah swt secara total dan secara dzahir dan batin, serta berazam dia tidak akan mati sebelum mengenal arti pengenalan diri berupa penyerahan diri kepada pemiliknya, Allah Tuhan semesta alam, sebagaimana kalamNya dalam surah Ali Imran ayat 102 : Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya, dan janganlah kamu mati kecuali engkau (telah) berserah diri.

Untuk menggapai puncak penyerahan diri total (muslim) sebelum mati, sebelum mati inilah manusia wajib mengkaji diri dan mempertautkan diri ke dalam lingkaran (halaqah) kajian mengenal Allah menuju kematian yang diridhai Allah swt berkat cahaya pengenalan dengan Allah (nurul ma'rifatullah billah), sebagai thariqah (jalan), berdasarkan firman Allah swt dalam surah Al Jin ayat 16 : Wa - allawistaqamu 'alat thariqah la-asqainahum ma-an ghadaqa : Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.

Teringat pada kajian qabadh dan basath. Qabadh yang berarti menyempitkan segala dalam arti kesempitan diri, rezeki dan sebagai pantulan sifat Jalalullah (seperti Al Jabbar artinya memaksa, Al Muntaqim artinya maha penyiksa, Al Qabidh artinya maha menyempitkan, Al Khafidh artinya maha merendahkan, Al  Mudzillu artinya maha menghinakan) nama-nama Allah swt ini tidak bermakna negatif, di akhirat nanti nama-nama Allah ini untuk menegakkan, mendirikan serta memutuskan hukum seadil-adilnya yang terkumpul dalam namaNya Al Adl artinya maha adil, serta bukan Allah swt yang menghukum, tetapi dosa yang menyiksanya disebabkan mati tanpa sempat untuk bertaubat.

Sedang perbuatan Allah swt yang bernama basath (meluaskan) dalam aspek rezeki, ilmu, kesempatan, kemudahan, kenyamanan, kesenangan dalam pantulan dari sifat Jamalullah sebagai kumpulan dari nama-nama Allah swt yang baik (asmaullah al husna) berupa keindahan cinta (Al Wadud), maha merawat dengan setia (Al Ra-uf), maha pemurah yang kemurahanNya sangat berlimpah saat malam dan siang (Al Karim), beriman kepada asmaullah al husna lalu meneladani Jamalullah ini dalam keseharian, niscaya terbukalah jalan-jalan menuju Allah swt, jalan yang lurus dan lebar (shiratal mustaqim). Terang pandangannya dan lurus jalannya di dunia dan di akhirat, merekalah orang-orang yang beriman, dalam konteks kajian ini adalah beriman kepada Jalalullah dan Jamalullah yang berbuah hadiah surga dari Allah swt. Ketika iman seseorang (kepercayaan dalam hati), sedang amal-amal shalihat (dalam bentuk perilaku kebaikan sebagai bukti keimanan mereka) akan Allah swt tempatkan hambaNya di jannat (jamak dari jannah). Sebagaimana firmanNya : Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalihat, akan Kami masukkan mereka ke dalam jannat (surga-surga) yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal abadi selamanya didalamnya (jannat). Janji Allah adalah benar, dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah ? (An Nisa' ayat 122).

Guru besar mursyid imam ini (Ahmad Ibnu Athaillah) berbaik sangka (husnuddzan billah) tentang penciptaan hawa napsu jika disikapi dengan tepat akan melambungkan dengan cepat hubungan dengan Allah swt. Seperti pijakan yang kuat untuk melompat mencapai jalan Allah swt dan berada di jalanNya setiap saat sampai akhir hayat (ajal), dan, terbuktilah hasil perjuangan mereka (mujahidun) dalam mengalahkan hawa napsu, tentu berbeda dengan mereka yang duduk-duduk saja (qa'idun). Adakah sama mereka yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui ? Adakah sama mereka yang hidup (hatinya) dengan mereka yang mati (hatinya) ? Adakah sama mereka yang melihat dengan mereka yang buta ? Adakah sama mereka yang mendengar dengan mereka yang tuli ?

Disinilah letak jawaban pertanyaan tadi, adakah mereka sama ? Tentu tidak sama. Jika Jamalullah yang teranugerah berupa kebaikan dan kemuliaan itu (basath) datang sebagai rahmat Allah. Sedang jika Jalalullah yang menyentuh berupa kesempitan hidup hamba dan kehinaan hamba (qabadh) yang berupa kemiskinan dan kesulitan itu datangnya dari kelalaian, kelupaan dan kesombongan hamba (disebabkan diri sendiri yang sangat serakah dan hawa napsu yang tidak bisa terbendung). Beradab kepada Allah swt dengan husnul adab atau husnul akhlak merupakan puncak pencapaian tertinggi beragama. Karena memang Allah swt tidak tersentuh oleh keburukan dan kehinaan. Sebaliknya, Allah swt adalah sumber keselamatan (Allahumma antas salam-ya Allah, Engkau adalah sumber keselamatan). Pernyataan ini telah disebutkan kitab suci sejak 1. 400 tahun yang lalu dengan firman : Biyadikal khair (di dalam genggaman tanganMu lah seluruh kebaikan).Wallahu a’lam. (Pontianak, 24 Agustus 2021)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN