Al Hikam - Kajian 9 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

 

AL HIKAM – KAJIAN 9
TINGKATAN CAHAYA

Su'a'ul bashirah merupakan cahaya yang berupa cahaya akal, 'ainul bashirah merupakan cahaya ilmu, sedangkan haqqul bashirah merupakan cahaya ilahi.

Cahaya-cahaya itu bersumber dari Allah swt,  hanya Allah maha cahaya dan pemberi cahaya. Sebab, asal mula kejadian alam semesta ini adalah gelap (alkaunu dzulm), menjadi bercahaya karena pantulan cahaya Allah swt An Nur : Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus, di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam tabung kaca, dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, pelita dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi,  minyak dari pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, minyak itu hampir menerangi ruangan, walau tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi pembelajaran dengan amtsal (perumpamaan) bagi manusia. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu (An Nur ayat 35).

Dengan senantiasa setiap saat bermohon hidayah Allah swt dalam rangka memberi kekuatan terus pada pencapaian haqqul bashirah merupakan sebuah keharusan. Banyak manusia yang belum sampai pada memandang Allah secara dzahir dan batin, padahal hanya Dia satu-satuNya yang Ada, selain Dia hanyalah tiada. Firman Allah swt dalam surah Al Hadid ayat 3 : Dialah yang awal dan yang akhir, yang dzahir dan yang batin, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu. Berdasarkan ayat ini, tidak ada satupun perbuatan, nama, sifat dan dzat yang disandarkan kepada makhluk atau disandangkan kepada makhluk (barang ciptaan) baik sejak diawal permulaan maupun diakhir perhatikan, baik yang tampak (syahadah) secara dzahiri,  maupun yang tidak tampak (ghaibah) secara batini, semuanya dikendalikan dan terkendali dari pusat layanan (server) Allah yang maha mengetahui, maha gagah, maha bijak, maha adil dengan ilmu Nya.

Haqqul bashirah akan sampai (washil) kepada Allah swt, ketika dengan pertolongan Allah swt, si hamba 'adam (tiada) ini telah mencapai kematian  kedirian dan kematian keakuan yang berisi keinginan-keinginan rendah (hawa napsu) duniawi, terkungkung dan tertawan oleh kehendak diri yang selalu ingin dipuaskan, tetapi tidak pernah puas. Selama manusia terdikte oleh keinginan (hawa) diri (napsu) rusaklah langit dan bumi. Bukan kah ayahanda dan bunda dahulu di surga telah terpujuk rayu oleh napsu serakah, memakan satu buah yang dilarang, padahal banyak buah-buah yang dibolehkan di surga, banyak yang halal, mengapa masih mencari yang haram  ?

Pada posisi haqqul bashirah dalam kajian perguruan inilah yang nantinya kita akan dituntun cahaya Allah (nurullah) menuju jalan ridha Allah dan syafaat Rasulullah Muhammad saw. Caranya adalah meniadakan (nafi) perbuatan yang huduts (baharu) dari makhluk, lalu meneguhkan perbuatan Allah yang qadim (terdahulu), dzikir nya adalah La-fa'ilan illallah (tiada perbuatan kecuali Allah). Sebab dalam persona apapun, tidak ada lagi yang terlihat, tertatap dan terpandang kecuali Allah di seluruh alam raya ini (makrokosmos) maupun di dalam diri (mikrokosmos), Allahuakbar (di luar) dan Allahuakbar (di dalam) sebab keberadaanNya yang memenuhi, memadati dan meliputi (Al Muhith).

Aku sebagai persona pertama telah dipenuhi Allah dalam dzikir : La ilaha illa ana ; tiada tuhan kecuali Aku (Allah). Dengan dzikir ini, sudah tidak ada tempat lagi bagi pengakuan kedirian. Atau, pengakuan pada persona kedua dalam diksi engkau. Engkau disinipun telah hancur dan lebur tiada lagi hakikat engkau, kecuali hanya Engkau Allah swt belaka yang bertahta memenuhi dan meliputi darah, tulang, daging dan sumsum dengan dzikir nya : La ilaha illa Anta, tiada tuhan kecuali Engkau. Binasalah  persona kedua apapun di alam ini, tiada yang didengar, dilihat, diucap, dirasa kecuali  Engkau (Allah). Diksi persona ketiga pun telah tiada, yaitu Dia. Dia yang teguh tetap sedia hanyalah Dia Allah. Bagi 'arif billah, yang dimaksudkan Dia hanya Allah saja, tidak ada lagi dia-dia yang lain berupa unsur kekayaan, kecantikan, keilmuan, kemuliaan, kehormatan dan atribut duniawi lainnya. Dzikir yang duduk pada maqam 'arif billah ini adalah : La ilaha illa Huw ; tiada tuhan kecuali Dia (Allah). Lalu, dimanakah sisa ruang dan waktu manusia, apabila seluruh ruang dan waktu telah ditempati dan diduduki Allah. Masih bisakah untuk sombong dan berbangga diri  ?

Pada Al Hikam kali ini, gurunda Ibnu Athaillah membagi tiga tingkatan cahaya  :

1. Cahaya Akal

Orang yang menggunakan akal nya, masih menemukan bahwa dirinya ada dengan berpikir. Tapi, dia juga yaqin adanya Allah, tapi Allah yang diyakini nya tidak bisa menyentuh wilayah medan berpikirnya. Orang yang berakalpun berlapis-lapis dalam cara mereka menempatkan atau memberikan porsi Tuhan pada ruang batinnya. Mulai dari kaum ekstrimis berupa tidak percaya kepada Tuhan (anti Tuhan), menghargai Tuhan hingga kaum modernis yang menempatkan Tuhan hanya pada zona private.

Cahaya akal atau mereka  yang terbiasa menggunakan akal tertutup lah suara batinnya. Ukurannya cepat, tepat, akurat, mengikat, cermat. Biasanya mereka hidup sehari-hari dan bergaul sebagai kaum rasionalis. Segala yang masuk akal mereka terima, sedang yang tidak masuk akal, pasti tidak mereka terima. Sampai pada penggunaan cahaya akal saja, belumlah bisa memaknai manusia yang memiliki dimensi jasmani dan dimensi rohani. Beradu akal hanya akan menyengsarakan.

2. Cahaya ilmu

Orang yang menggunakan ilmunya memandang bahwa dirinya tidak mampu jika dibandingkan dengan Allah. Nurul ilmi inipun masih terhijab dengan Allah dengan ilmunya. Akal dan ilmu dalam konteks ini belum bisa menyampaikan kepada Allah. Atas nama ilmu dan atas nama akal sekat-sekat ruang itu sengaja dibuat dengan prosedur ilmiah sangat ketat seperti harus metodologis, sistematis, universal, objektivitas, bisa diuji secara ilmiah, rasionalitas. Lalu, hukum ilmiah inilah yang telah memenjarakan batin mereka. Sehingga tidak mengherankan ilmu yang tidak diberi hidayah oleh Allah, ilmu tersebut menjadi kesedihan mereka dan keterasingan mereka dari diri mereka sendiri, ketika di hari tua, sakit dan mati yang diluar hipotesa (dugaan) mereka.

Cahaya ilmu inipun tidak lepas dari kesombongan nya (arogansi ilmiah) atas nama supremasi menjaga mutu. Prosedur pun dibuat berupa ilmu hukum, ilmu politik, ilmu administrasi dan dipersiapkan seluruh piranti keras dan piranti lunak. Jadi lah ilmu yang dahulunya sederhana, sekarang telah menjadi barang mewah dan menaikan harga prestise.

Saat ini, akal dan ilmu telah mencapai puncaknya yang gemilang, sejak ditemukan nya smart phone. Batas wilayah dan sekat teritorial telah tembus dengan perdagangan pasar dunia, berefek tidak hanya tukar-menukar komoditi (barang dagangan), tapi juga berefek pada komunikasi ideologi, hukum, pendidikan beserta nilai-nilai yang hidup saling berdampingan, menjadi dunia raya seperti desa kecil (global village) dan saling menyapa.

Akal dan ilmu pengetahuan tidak bisa disalahkan, karena memang demikianlah wataknya. Kerja akal dan kerja ilmiah adalah membandingkan, lalu membuat peringkat dengan aturan yang mereka buat sendiri dan mereka sepakati sendiri dalam komunitas yang mereka sebut komunitas ilmiah,  dan untuk mengikat sesama mereka.  Ketika terjadi kesalahpahaman diantara mereka, disitulah terjadi konflik kepentingan (conflic of interest).

3. Cahaya hakikat

Cahaya hakikat menerangkan sisi baik dan sisi buruk dari akal dan ilmu, pertimbangan nya bukan karena manfaat atau mudharat, tetapi pertimbangan adalah apa maunya Allah, ridhakah atau tidak  ? Al 'Arif billah yang telah bercahaya hatinya, hanya mengatakan dan akan berbuat jika : Tuhanku, Engkau tujuan cita-citaku, ridhaMu yang aku cari, berilah aku   kesanggupan untuk mencintai Mu dan untuk mengenal Mu. Haqqul bashirah (kebenaran pandangan batin) dari Al ' Arif billah tidak lagi memandang alam, tetapi pandangan nya sudah esa, hanya pandangan tentang adanya Allah swt  sebagai ketetapan istiqamah (qauluts tsabit). Sudah memahami yang datang adalah Allah, dan yang pulang pun adalah Allah yang terjadi setiap detiknya. Inilah puncak pengenalan (ma'rifatullah  billah) yang diidamkan sebagai pandangan tauhid tertinggi, yaitu : Syuhudul wahdah fil wahdah (pandangan dari yang esa kepada yang esa). Sebagaimana firman Tuhan dalam surah Ibrahim ayat 27 : Allah meneguhkan iman orang yang beriman dengan ucapan yang teguh, dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.

Tidak ada lagi diri dan tidak ada lagi alam, yang tegak berdiri (itsbat) hanya Allah. Artinya secara hakikat, kenal Allah, setelah tidak lagi kenal kepada makhluk, hakikat ingat kepada Allah, setelah tidak lagi ingat kepada makhluk, hakikat tahu kepada Allah, setelah tidak lagi tahu kepada makhluk, hakikat taat kepada Allah, setelah tidak lagi taat kepada makhluk. (Wallahu a'lam).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN