Al Hikam - Kajian 24 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

 

AL HIKAM KAJIAN 24
SUMBER KETAATAN DAN KEMAKSIATAN

Pokok (sumber) segala maksiat, lupa kepada Allah dan syahwat (duniawi) adalah ridha (rela) kepada kehendak napsu. Dan pokok (sumber) segala ketaatan, kesadaran dan menjaga kesucian diri (iffah) adalah ketiadaan ridha kepada kehendak napsu.

1. Ridha kepada hawa napsu.

Unsur napsu (diri) yang ada di jiwa (himpunan jasmani dan rohani) berada pada wilayah netral (mubah) merupakan bentuk anugerah. Menjadi petaka ketika napsu telah bersarang hawa (kehendak dan keinginan yang tidak terbendung). Siapa yang menganggap baik setiap suara hawa napsunya dan tenang di dalamnya, pastilah dia telah berkelalaian hatinya dari Allah swt. Dengan kelalaian atau bersenda gurau dengan hawa napsu terlepaslah hatinya dari pengawasan dan penjagaan Allah swt. Ketiadaan pengamanan Allah swt di hati, maka bertahtalah hawa napsu di hatinya dan menjauhlah Allah swt di hatinya, lalu manusia berbuat tanpa rasa malu dan tanpa berkesopanan, artinya ketiadaan rasa malu (alhaya').

Apabila kehilangan rasa malu, muncullah perilaku apa saja yang semata-mata memperturutkan kesenangan hawa napsu dzahir dan batin. Adalah napsu dzahir mengambil bentuk   berluas - luas dalam hal yang dibolehkan tanpa kebaikan pahala padanya (mubah), atau hawa napsu yang suka mengerjakan yang sunnah dan malas mengerjakan yang wajib, atau hawa napsu yang suka mengerjakan yang makruh serta meninggal kan yang sunnah. Lebih parah lagi adalah mengerjakan yang haram dan meninggalkan yang wajib. Artinya, hawa napsu berkontribusi pada hukum - hukum syariat dengan logika (akal sehat) hawa napsu ikut berperan aktif.

Hawa napsu adalah musuh, maka mengenali hawa napsu merupakan bagian kajian yang penting. Bagaimana bentuknya, dari mana datangnya, apa tujuannya, bagaimana strateginya, bagaimana bentuk tipu dayanya, apa kendaraan yang digunakannya, apa kesenangan-kesenangannya, apa yang dibencinya, lalu bagaimana cara yang tepat menghadapinya  ?

Kenalilah, hawa napsu terletak di dalam diri, bukan di luar diri. Orang yang tidak mau mengambil jarak antara dirinya dengan napsunya sendiri yang paling dekat tersebut, akan mudah tertipu dengan dirinya sendiri. Maksudnya, dirinya menjelma pada cita-cita berkeinginan rendah seperti ingin rumah mewah, ingin mobil mewah, ingin makan enak, ingin tidur enak, ingin tampil kaya, ingin tampil 'alim, ingin tampil sebagai ilmuan yang hebat (sarjana yang sujana), ingin tampil hebat memukau, ingin tampil menjadi pemimpin yang berhati mulia dan penyebar kebaikan, ingin mendapat piala anugerah kehormatan dan kemuliaan sejagat, ingin didahulukan, ingin diutamakan, ingin dikedepankan. Serba keenakan diatas sangat berlawanan dengan musuh hawa napsu yang benci terhadap kekurangan, kefakiran, kemiskinan, kesakitan, ketiadaan, kehinaan dan kerendahan. Jika diri tidak segera cepat tersadarkan dengan kondisi yang serba hawa napsu, terpenjaralah dia dengan hawa napsunya, maka seluruh niat, ucapan dan perbuatan semata-mata ingin memuaskan dan melampiaskan hawa napsunya, baik hawa napsu dalam perbuatan taat maupun hawa napsu dalam perbuatan maksiat. Hawa napsu ibarat penari, dia tahu betul suara gendang. Kemana arah hati menuju, disitulah hawa napsu bermain peran. Di dalam kecenderungan hati taat, hawa napsu tampil sebagai orang taat yang kebal (tidak mau dikritik). Sedangkan di dalam kecenderungan hati maksiat, hawa napsu menjelma sebagai sosok kekuatan dan kebesaran karena berani melanggar batas-batas hukum Allah swt.

Diantara sifat-sifat (watak) hawa napsu adalah nafsu ammarah berbasis badaniyah seperti yang telah dijelaskan tadi. Sangat bersesuaian dengan kalam Tuhan yang maha suci pada surah Yusuf ayat 53 : Dan aku (Yusuf) tidak bisa membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya napsu itu menyuruh kepada kejahatan, kecuali napsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha penyayang.

Napsu ammarah yang siap mengintai manusia dan menghabisi taat manusia supaya manusia menjadi penyembah hawa napsunya sendiri bersarang pada tujuh watak hawa napsu jahat : 1. Marah. 2. Syahwat. 3. Sombong. 4. Dengki. 5. Tamak. 6. Riya'. 7. 'Ujub (merasa diri lebih utama dari pada yang lain). Ketujuh sifat itu harus diperangi dengan lawannya, marah dengan sabar, syahwat dengan zuhud, sombong (takabbur) dengan rendah hati ( tawadhu'), dengki (hasad) dengan berniat baik (hasan) terhadap seluruh manusia, tamak dengan qana'ah dan pemurah (sakha'), riya' dengan ikhlas, 'ujub dengan ketiadaan diri ('adam) dan berserah diri (tawakkal)  Perlawanan setiap detiknya ini harus kita lakukan sebagai upaya mengusir kehadiran hawa napsu.

Ridha kepada hawa napsu merupakan sumber kejahatan. Atau dengan kata lain, menyukai hawa napsu merupakan pilihan kesukaan yang salah, salah karena telah menjadikan musuh sebagai sahabat. Sahabat yang mencelakakan di dunia dan sampai ke akhirat. Perlu kesadaran penuh bahwa musuh itu ada di dalam diri sendiri. Disinilah letak urgensi (kepentingan) kajian rutin online bahwa mendudukkan persoalan napsu dan hawa napsu serta mengenali ajakan jahatnya untuk tidak diikuti dan dipertuturkan. Tidak memperturutkan hawa napsu merupakan salah satu kunci meraih kesuksesan surga di akhirat, seperti kalam mulia dan luhur dari Allah swt pada surah An Naziat ayat 37 - 41 : Dan adapun orang-orang yang angkuh (dalam kekuasaan), dan menginginkan kehidupan dunia, maka neraka Jahim tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut pada kedudukan Tuhannya dan menahan dirinya dari hawa napsu, maka surga tempat kembalinya.

Sedangkan kegunaan mencurigai bisikan (suara) hawa napsu menjadi sangat penting untuk bisa menuju Allah. Bisikan (suara) hawa napsu diantaranya adalah banyak makan lalu malas beribadah, banyak minum malas beribadah, banyak tidur malas beribadah. Sedangkan yang paling dibenci hawa napsu adalah puasa. Lalu, apa yang menjadi kesukaan hawa napsu sangat sejalan dengan kesukaan syaithan, terutama perilaku angkuh (sombong). Dalam hal ini, Allah swt menamai Fir'aun dengan tagha (sombong karena kekuasaannya), sedangkan Qarun dengan bagha (sombong karena kekayaannya), keduanya sangat dibenci Allah swt, dan Allah swt masukkan mereka ke jurang neraka Jahannam yang paling dalam. Dengan membahasakan tagha dan bagha maksudnya janganlah kita menjadi sombong dimana akar (asal) kesombongan itu adalah rela kepada hawa napsu dengan memperturutkan nya, dan tidak curiga kepada tipu muslihatnya.

2. Curiga kepada hawa napsu.

Bukan percaya kepada diri yang disuruh Allah swt, tetapi disuruh curiga kepada diri sendiri. Inilah maksudnya bahwa musuh bukan ada di luar diri, tetapi musuh ada di dalam diri. Kalau pun musuh ada di luar diri sangat mudah untuk dilumpuhkan, tetapi yang sulit untuk dilumpuhkan adalah musuh dari dalam diri, seperti kemauan diri yang sangat kuat untuk kaya, keinginan diri untuk terhormat, kerakusan diri untuk berkuasa, ketakutan diri untuk hidup susah, cita-cita diri untuk lebih sejahtera, kehinaan diri untuk dipandang rendah, ketakutan diri kehilangan harta, jabatan, pangkat dan nama baik.

Curiga kepada diri sendiri sangat penting. Karena unsur diri dalam aspek jasmani ingin serba enak, enak makan, enak minum, enak tidur. Dan, unsur hawa napsu  jasmani sangat benci kepada puasa, ibadah malam, berdakwah, berjihad, berinfaq, shalat, zakat, haji dan umrah. Jika pun kita bergerak (beramal) shalihat tersebut, hawa napsu dari aspek rohani yang mulai muncul dengan bisikan jahatnya.

Disinilah pentingnya kita meneliti hawa napsu, dari mana kah datangnya taat, dari Allah swt atau dari hawa napsu. Setelah kita meneliti jiwa tentang suara munculnya taat, jika datang dari Allah (minallah) bersegeralah kita memenuhi ampunan Allah swt dan kepada surga seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (lihat surah Ali Imran ayat 133). Tetapi sebaliknya, jika datang dari hawa napsu, bersegeralah memperbaiki niat karena Allah swt dengan ikhlas sebelum amal (niyat lillah qablal 'amal). Begitu seterusnya, terus meneliti jiwa (jasmani dan rohani) saat ibadah taat dilakukan, apakah yang dilakukan ini karena Allah swt (lillah) atau yang dilakukan ini karena hawa napsu. Apabila saat mengerjakan ibadah taat muncul niat selain Allah swt, jangan biarkan terus berlarut, disaat ibadah taat dimunculkan niat ikhlas karena Allah swt saat sedang beribadah taat (niyat ikhlas lillah 'alal 'amal). Masih terus perjuangan jiwa untuk menepis dan menampik kuasa hawa napsu setelah selesai beribadah taat dengan segera mengikhlaskan ibadah saat yang tunai sudah dilakukan (niyat ikhlas lillah ba'dal 'amal). Ketiga item inilah yang kita harus curiga dengan diri, bukan malah percaya diri. Barang siapa yang merelakan dirinya untuk diatur dirinya sendiri, bersiap - siaplah mengalami kesengsaraan di dunia dan di akhirat. Sehingga, baginda Nabi termulia Muhammad saw Rasulullah bersabda yang artinya : Tuhan, jangan Engkau biarkan aku menyerah kepada diriku walau sekejap mata, jadilah Engkau sahabat yang selalu menemaniku dalam diamku dan dalam bepergianku. Ya Allah, tutupilah aib - aibmu, dan  amankanlah aku dari musuh - musuhku (hawa napsuku), aku berlindung kepada-Mu dengan kalimat - kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan. Inilah do'a Nabi Muhammad saw yang diajarkan kepada ummat beliau untuk selalu memohon perlindungan kepada Allah swt dari kejahatan makhluk ciptaan, selain kejahatan yang ada di bumi, juga kejahatan dari hawa napsu sendiri dan hawa napsu orang lain serta dari bisikan syaitan yang terkutuk. Serangan (attack) yang datangnya dari dalam diri disebut hawa napsu, sedangkan serangan (attack) yang datangnya dari luar diri disebut syaitan berbangsa jin dan manusia (minal jinnati wan nas).

Pentingnya meneliti sifat-sifat hawa napsu ibarat anak kecil yang belum sampai akalnya tapi ingin dipuaskan terus, sedangkan sifat hawa napsu tidak pernah puas. Sungguh, kita sejak dahulu, sekarang dan yang akan datang pekerjaan kita adalah ibarat melayani anak kecil yang belum cukup akalnya tapi ingin dipuaskan terus menerus dan itulah hawa napsu yang berkedudukan di dalam diri kita. Apabila kita tidak hati-hati terhadap hawa napsu (keinginan diri) terjebaklah kita menjadi perilaku korup (dzalim) untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan kemauan si anak kecil itu, dan anak kecil itu adalah diri. Si anak kecil itu minta emas, perak, dinar, dirham, tanah, rumah, kendaraan, pangkat, jabatan, gelar, pengaruh, pengikut dan sebagainya. Permintaan si anak kecil ini setiap detik, selama hayat (hidup) dikandung badan, selama masih ada napas, selama itu hawa napsu tetap meronta - meratap (si anak kecil) ingin dipuaskan, tetapi terus menuntut dan tidak pernah bersyukur (kufur).

Menelisik semua kejahatan hawa napsu, supaya kita tidak terpapar, setengahnya adalah memohon perlindungan kepada Allah swt dari kejahatan hawa napsu, setengahnya lagi adalah usaha, ikhtiar, do'a dan tawakkal untuk mengatur  si anak kecil (hawa napsu) untuk patuh, sujud, tunduk, runduk dan takluk kepada Pencipta Nya, Allah swt. Orang yang berhasil menundukkan hawa napsunya, mereka orang-orang yang menang dalam kancah peperangan jiwa. Sebagai contoh, kemenangan Yusuf atas syahwat istri Perdana Menteri Mesir, kemenangan Ibrahim saat pertarungan memilih  cinta Allah swt atau cinta kepada anak dan keluarganya, kemenangan Ayub dalam menghadapi musibah sakitnya, kemenangan Musa menghadapi kejaran Fir'aun dan bala tentaranya di laut Merah, kemenangan Yahya mempertahankan hukum isi kitab suci Taurat dihadapan Raja yang dzalim bernama Herodes, kemenangan Isa dalam mempertahankan isi kitab suci Injil tentang keesaan Allah swt, dan kemenangan Nabi Muhammad saw di dunia dan di akhirat dalam memenangkan agama Allah swt dan menyebarkan Al Qur'an di  langit dan di bumi. Kemenangan demi kemenangan para Nabi disebabkan mereka telah mengislamkan hawa napsu (Islam yang bermakna tunduk, patuh dan berserah diri).

Sebaliknya, sebagai contoh kasus negatif adalah Fir'aun, Qarun, Haman, ketiga pelaku sejarah ini hidup semasa dengan Nabi Musa as, dan satu lagi tokoh yang dihadirkan dalam kajian online ini adalah Abdullah ibnu Saka. Mereka adalah pelaku di panggung sejarah yang menampilkan sosok tidak pernah curiga kepada seruan hawa napsunya, tetapi malah diikuti dan dituruti. Sebagai contoh Fir'aun, raja Mesir yang dzalim selalu mengikuti suara hawa napsunya yang telah menjadi hatinya. Suara hawa napsu Fir'aun ingin berkuasa dan terus menerus mempertahankan kekuasaan bahkan telah mengaku diri selaku Tuhan. Haus kekuasaan dan haus kerajaan merupakan tipologi Fir'aun dan orang-orang yang sewatak dengannya. Tidak ingin ditandingi dan tidak ingin disaingi oleh siapapun, Fir'aun tampil sebagai raja di raja, tuhan di tuhan. Fir'aun telah menyembah hawa napsu nya sendiri dan dia telah dikelilingi oleh para penyembah dan pemujanya. Akibatnya, siapapun yang melawan ketuhanan Fir'aun akan dihukum, dipenjarakan, bahkan disalib di atas tiang gantungan, seperti nasib tukang sihir Fir'aun. Hawa napsu berkuasa yang tidak dibatasi oleh ajaran-ajaran Tauhid (mengesakan Allah swt) hanya akan melahirkan perilaku kufur (menutupi kebenaran). Perilaku kufur tersebut mengambil corak merasa diri berkuasa, merasa diri berpunya, merasa diri berilmu, merasa diri berharta, merasa diri berharga, merasa diri berpangkat, mereka diri berharkat, mereka diri bermartabat. Fir'aun telah menyatukan dirinya dengan hawa napsunya, bahkan tidak ada lagi jarak antara Fir'aun dengan dirinya sendiri.

Sosok lain juga dalam sejarah telah ditampilkan oleh Qarun yang dahulunya hamba Allah swt berstatus miskin tetapi shaleh dan hapal kitab suci Taurat. Kemudian, atas rahmat Allah swt yang maha kaya, Qarun terangkat statusnya menjadi konglomerat. Lalu mantan orang miskin inipun, bergaya orang kaya, bergaya orang terpandang, bergaya orang terhormat, selanjutnya meminta orang untuk menghormatinya, meminta orang untuk menghargai kedudukannya karena kekayaan yang dimilikinya. Manusia yang meminta inilah hakikatnya manusia termiskin di dunia, karena sudah kehilangan sifat malu (alhaya'). Ketika manusia telah kehilangan sifat malu, maka berbuatlah dia semau-maunya tanpa rasa malu, hal ini dicontohkan bahwa mereka sama dengan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi, seperti kalamNya dalam surah Al A'raf ayat 179 : Dan sungguh pasti Kami akan mengisi neraka Jahannam dari kebanyakan bangsa jin dan manusia, mereka memiliki hati tetapi tidak memahami dengan hatinya, mereka memiliki mata tetapi tidak melihat dengan matanya, mereka memiliki telinga tetapi tidak mendengar dengan telinganya, mereka itulah binatang ternak, bahkan lebih sesat, mereka itulah orang-orang yang lalai.

Begitu pun halnya sosok Haman yang telah menampilkan hawa napsu serakah kekuasaan atas nama ilmu pengetahuan dan teknologi. Haman banyak menyandang predikat kehormatan dalam istana Fir'aun, sebagai penasehat, sebagai teknokrat, sebagai birokrat, sebagai ilmuan, sebagai arsitek, dan jabatan-jabatan penting di istana. Segala atribut jabatan membuat Haman terbuai hingga berkesesuaian dengan hawa napsu kesenangan dan kemewahan untuk selalu dimanjakan. Jadilah Haman pembela dan penasehat Fir'aun, seia - sekata Haman dengan Fir'aun, maka tempat mereka pun sama nanti di akhirat, yaitu jurang paling terdalam terbenam di dasar kawah api panas neraka Jahannam. Tampak, bahwa hawa napsu Haman telah menguasai Haman, sehingga Haman mati di dalam mencari kepuasan diri yang tidak berkesampaian. Karena pemuasan hawa napsu tidak mengenal kata istirahat apalagi berhenti, malam dan siang telah dihabiskan untuk bekerja bagi penyembah dan pemuja hawa napsu, bagi  pemuja kehormatan dan kemuliaan karena harta, tahta dan wanita.

Abdullah ibnu Saka juga tidak kalah pentingnya untuk tampilan layar lebar potret kehidupan pembelajaran ('ibrah). Ibnu Saka seperguruan dengan Abdul Qadir Al Jailani (bergelar Sultan Auliya'). Syekh Abdul Qadir Al Jailani mengembangkan ilmu Tasawufnya di Bagdad, sedangkan Syekh Abdullah ibnu Saka mengembangkan ilmu Hukum di Roma, Konstantinopel (Eropa Timur) serta bekerja sebagai penasehat raja, sebagai hakim, sebagai ahli hukum serta sebagai perancang dan pembuat hukum ketatanegaraan dan hukum kemasyarakatan. Hidup lah ilmuan Abdullah ibnu Saka dikalangan non muslim. Singkat kisah, Abdullah ibnu Saka telah merubah ganti agama (murtad) karena menikahi putri raja Roma.

Contoh-contoh yang termaktub dalam Al Qur'an sehingga diabadikan sebagai sejarah, baik gambaran mereka yang mengalahkan hawa napsunya ataupun gambaran mereka yang memperturutkan hawa napsunya telah berdampak langsung bagi duniawi dan ukhrawi mereka. Dengan kata lain, mereka yang telah ridha dan tiada curiga kepada bisikan hawa napsunya sendiri, niscaya merugilah mereka dalam kerugian dzahir - batin, dalam api panas neraka dunia dan neraka akhirat. Sebaliknya, mereka yang curiga kepada bisikan hawa napsunya sendiri, tidak percaya kepada bisikan hawa napsunya dengan senantiasa meneliti, menelaah, mengkaji suara dan bisikan hawa napsunya, lalu bermohon perlindungan, pengamanan, penjagaan di dalam rumah Allah swt, serta berhati-hati dalam bersikap, inilah gambaran orang-orang yang berhasil mengalahkan hawa napsunya, kebaikan bagi nya dalam nikmat dzahir dan batin, surga di dunia - surga di akhirat, bahagia di dunia - bahagia di akhirat (sa'adah fiddarain). Sungguh yang demikian itu, kita harus selalu waspada dan jangan lengah dalam tipu - muslihat hawa (keinginan) napsu (diri) yang selalu membawa kepada perilaku merusak. Wallahu a'lam.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN