Al Hikam - Kajian 31 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag
AL HIKAM KAJIAN 31
ZAHID
Zahid merupakan sosok manusia yang zuhud terhadap dunia, dunia yang
sementara tidak bisa hinggap di hatinya. Sebab, manusia zahid telah kehilangan
rasa cinta kepada dunia. Dalam hal ini, zahid terbagi atas tiga kelas kezuhudan
:
1. Zahid
bidayah (permulaan)
Zahid yang mengambil dunia hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
primernya saja secara sederhana sebagai amanat yang dipikulkan Allah swt kepada
zahid sebagai kepala negara, kepala daerah, kepala rumah tangga atau untuk
keperluan diri dan amanat sebagai warga masyarakat, agar tidak meminta - minta
(sandang, pangan dan papan). Dimensi zahid ini
sudah tidak ada lagi hasrat dan syahwat kepada cinta dunia. Apa yang
didatangkan Allah swt hanyalah sebagai media menunaikan fungsi dan tanggung
jawabnya sebagai ayah atau ibu, sebagai anak, sebagai guru, sebagai murid dan
sebagainya. Pada posisi ini, zahid telah bercahaya dengan cahaya Allah swt
dalam penglihatan dan pendengaran (abshari nura wa sam'i nura). Inilah tingkat
pemula zahid (bidayah), maksudnya jasadiyah nya sudah bercahaya, fokus nya
bukan lagi pada tubuh yang prima, bukan pada wajah yang di make up, bukan pada
baju yang bermerk, bukan pada mobil yang berlisensi internasional, bukan pada
rating selebritis dunia, atribut kebendaan duniawi tidak lagi menyita waktu -
waktunya dalam pikiran dan perasaan.
Jabatan zahid jasadiyah yang berdimensi cahaya syariat ini
bercahaya lah Islam nya (nurul Islam), sungguh capaian mulia bagi mereka yang
telah duduk pada maqam ini, yang bisa mengundang anugerah terbesar Allah swt
yaitu khusyu' (terkonsentrasi dan terkoneksi dengan Allah swt). Orang yang
zahid kepada dunia, akan dicintai akhirat, orang yang zahid kepada makhluk akan
dicintai Allah swt, Rasulullah saw dan seluruh kaum muslimin.
Lawan dari sifat zuhud adalah cinta dunia (hubbud dunya), cinta
harta (hubbul mal), cinta pangkat (hubbul jah) yang paling berbahaya adalah
cinta kepada diri sendiri (hubbun nafsi). Lalu, diri sendiri (hawa
napsu) yang menjadi ukuran kebenaran dan kesalahan, hawa napsu yang menjadi
barometer kebaikan dan keburukan, hawa napsu yang menjadi patokan (standar)
kebahagiaan dan kesengsaraan, hawa napsu yang menjadi penilai kemuliaan dan
kehinaan. Apabila demikian telah sombong
keadaan hawa napsu, sungguh seseorang telah terjajah, terpasung dan
terpenjara oleh tipuan hawa napsunya sendiri. Atau dengan kata lain, manusia
yang belum zahid merupakan manusia yang belum bebas merdeka, tetapi masih
terjajah oleh keinginan buas hawa napsunya sendiri yang tidak akan pernah puas, walau diberikan
emas kepada nya seluas langit dan bumi, sebab manusia tamak kepada dunia tidak
pernah bahagia. Sebab, kunci bahagia adalah bersyukur.
2. Zahid wasathiyah (pertengahan)
Zahid hati (di hatinya hanya ada Allah swt dan Rasulullah saw
dengan berupaya menyingkirkan kecenderungan hati dari mencintai dunia). Zahid
qalbiyah ini, lebih tinggi setingkat dari capaian zahid jasadiyah. Tetapi zahid
qalbiyah ini berawal dari maqam zahid jasadiyah tadi sebagai suluk pemula.
Mereka yang telah istiqamah di zahid pemula, Allah swt angkat derajat mereka
pada tingkat zahid qalbiyah (wasathiyah). Zahid qalbi tidak butuh lagi promosi
nama, promosi gelar, atau tingkatan - strata duniawi, karena zahid qalbi
merupakan keberadaan hati yang hanya terisi nama Allah swt saja yang menempati
relung terdalam dari hati (lub) yang sifatnya sir (rahasia) hati zahid. Sehubungan
dengan tema zahid wasathiyah ini, gurunda mulia imam mursyid Ahmad bin Athaillah As
Sakandari rahimahullah ta'ala mengatakan : Baiknya amal (dzahir) sebagai
baiknya hasil (natijah) keadaan hati (batin). Sedangkan baiknya keadaan hati
itu merupakan sebagian tanda ketetapan di dalam
maqamatil inzal (kedudukan yang diturunkan Allah ke dalam hati), atau
dalam pengertian Allah swt hembuskan cahaya ruh ke dalam hati.
Inti zahid hati adalah hati yang ikhlas, tidak bergembira ketika
datang materi dan tidak bersedih ketika hilang materi, dalam hal ini materi
yang sangat manusia sayangi adalah jiwa (mati) dan harta (rugi). Zahid tidak
mengenal mati, tetapi kembali ke hadirat yang maha hidup (alhayyu), dan zahid
tidak mengenal kata rugi dalam harta kecuali Allah swt menyuruh zahid semakin sibuk
dengan Allah swt dan tidak lagi sibuk dengan duniawi. Sebab, kegembiraan zahid
adalah selalu bersama Allah swt (ma'iyatullah) dalam bercinta dengan Allah swt
(mahabbatullah), maka pupus sudah cinta kepada yang selain Allah swt (mahiyah),
kecuali cinta kepada Allah swt, cinta kepada Rasulullah saw dan mencintai hamba
- hamba yang mencintai Allah. Jelaslah sudah, bahwa khusyu' dan hub (cinta)
merupakan buah dari perbuatan zuhud.
Dapat dipahami, keluasan cinta kepada Allah swt menumbuhkan sifat -
sifat mulia yang terpantul dari hati yang bersih (qalbun salim) lalu lemah
lembut ucapan dan lemah lembut perbuatan bahkan mencapai jenjang ihsan, seperti
sabda Nabi Muhammad saw : Sesempurna iman seseorang mukmin adalah mereka yang
paling baik (ihsan) akhlaknya (Hadits riwayat imam Muslim). Akhlak yang muncul
dari ma'rifatul ihsan yaitu : Hendaklah engkau menyembah Allah seakan - akan
engkau melihat Nya (musyahadah), tetapi jika engkau tidak bisa melihat Nya,
maka sesungguhnya Dia melihat engkau (muraqabah). Lapangan kehidupan di dunia
ini merupakan lapangan penyembahan kepada Allah swt, sujud kehidupan.
Implementasi sujud kehidupan dalam kaitan dengan hubungan manusia
(hablumminannas) adalah husnul khuluq (kebaikan budi pekerti).
Ketika ihsan pada hubungan dengan Allah swt (hablumminallah)
terjalinlah komunikasi dua arah, Allah - hamba, hamba - Allah, terus menerus
komunikasi berjalan bahwa kehambaan (abdi) yang faqir, bahkan tiada ('adam),
sungguh pada semua itu kehambaan hamba adalah fana (binasa dan hancur). Tetapi,
raihlah terlebih dahulu sifat ikhlas hati (ikhlasul qalbi) yang berdampak
langsung terhadap ikhlas perbuatan (ikhlasul 'amal) dengan menghindarkan diri
dari kerakusan duniawi (tamak). Tamak duniawi dan qana'ah ukhrawi bisa menjadi
sumber perbuatan dosa. Tumbuhnya niat korupsi dan berzina berawal dari
memandang kepada dzahir duniawi untuk memanjakan diri dengan harta yang
bersumber dari pendapatan yang haram (korupsi) dan ingin memuaskan kenikmatan
jasmani secara haram (zina), sumber kedua penyakit dosa itu adalah hubbud dunya
(cinta dunia) yang bisa diobati dengan
zuhud (meninggalkan atau membenci dunia dari unsur dosa).
Hati yang riya', 'ujub (bangga diri atau merasa diri mulia), takabbur (merasa diri besar lalu sombong)
adalah perilaku Iblis, walaupun banyak dzikir dan shalat malam (tahajjud).
Orang yang tidak ada zuhud di hatinya, ibadah yang dilakukannya bukan karena
Allah swt, melainkan untuk memuaskan hawa napsunya supaya tenang dalam mencari
nafkah, dihindarkan dari banjir, rezeki yang melimpah dari segala arah sehingga
bisa makan nyaman, minum nyaman, tidur nyaman. Suatu ketika berlakulah takdir
Allah swt padanya berupa kematian, kesakitan, kepailitan,kesusahan, kesulitan,
otomatis pelaku ibadah yang semu ini akan kecewa bahkan akan marah kepada Allah
swt, seperti Allah swt singgung mereka dalam kalam Nya : Maka apabila mereka
naik ke atas kapal, merekapun berdoa kepada Allah sebagai orang yang ikhlas (murni)
beragama, lalu Kami sampaikan mereka ke darat (dengan selamat), seketika itu
pula mereka mempersekutukan Allah (Al Ankabut ayat 65).
3. Zahid nihayah (penghabisan)
Zahid yang telah mencapai maqam tertinggi dari kezuhudan, yaitu
khawasul khawas (kedudukan terkhusus diantara yang khusus), inilah ruh yang
dzikrullah dan ruh yang ma'rifatullah billah. Hilang lenyap sudah hadirat dunia
dalam ruh batin. Melainkan sudah terjaga, terpelihara, tertancap dalam ruh
batin hanya Allah swt dalam hadirat Allah swt. Kondisi inilah kondisi dimana
qalbu dan batang tubuh bergetar saat mengingat nama Nya, atau, saat mendengar
nama Nya, atau, bercinta, bercanda atau bermanja dengan Nya. Kegembiraan ruh
mukmin hanya ketika bersama Allah swt hingga sampai melupakan kepada dunia (sakar). Sakar bisa mengambil
bentuk batin yang asyiq (mencumbu) dan masyuq (yang dicumbu) adalah Allah swt
yang maha baik (Al Bar), maha pencinta (Al Wadud), maha merawat (Ar Rauf), maha
penyantun (Al Halim), maha pengampun yang ampunan Nya tidak pernah habis (Al
Ghaffar). Seperti kalam mulia Tuhan dalam surah Al Anfal (8) ayat 2 - 4 :
Sesungguhnya hanyalah (ruh) orang - orang mukmin yang apabila diingat akan
Allah segera bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat -ayat
Nya, bertambahlah iman (yaqin) mereka,
serta kepada Tuhan mereka bertawakkal (berserah diri), yaitu mereka yang
mendirikan shalat dan menafkahkan rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Itulah mereka orang-orang mukmin yang sebenarnya, bagi mereka derajat - derajat
(yang tinggi) di sisi Tuhan mereka, mereka mendapat ampunan (maghfirah) dan
rezeki yang mulia (kenikmatan surga dan kenikmatan memandang wajah Allah di
dalam surga).
Mereka yang telah zuhud pada aspek ruh insani memiliki cahaya dengan cahaya Nabi Muhammad saw (bi nurin nabi Muhammadi), maka bersesuaian mereka dengan ruhi qudsi yang memancarkan nurul kamilah (cahaya yang menerangi dengan sempurna). Sumbernya
adalah Allah swt yang ditiupkan ke dalam hati hamba, lalu tidaklah si hamba itu
berpaling dari Allah swt selamanya, sebagai yang Allah swt firmankan dalam
surah Al Baqarah (2) ayat 256 - 257 : Tidak ada paksaan dalam (memilih) agama,
sungguh sudah sangat jelas petunjuk dari pada kesesatan, maka siapa yang kafir
kepada berhala - berhala (selain Allah) dan beriman dengan Allah, pasti sungguh
dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat yang tidak akan putus, dan
Allah maha luas (karuniaNya) dan maha mengetahui (yang syahadah dan ghaibah).
Allah sebagai wali (kekasih) orang - orang yang beriman, mengeluarkan mereka
dari kegelapan - kegelapan (dzulumat) kepada cahaya (nur), adapun orang - orang
yang kafir penolong - penolong mereka adalah taghut (segala sesuatu yang selain
Allah) mengeluarkan mereka dari cahaya (nur) kepada kegelapan - kegelapan
(dzulumat), mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalam neraka.
Zuhud ruhiyah merupakan capaian cita - cita tertinggi salik dan
arif, logika di atas logika, ilmu di
atas ilmu. Kebahagiaan abadinya tampak saat ruh yang telah memperoleh ijazah
cahaya hidayah (nurul hidayah) akan mudah saat kembali ke hadirat ruh semula
saat awal ditiupkan dari Allah swt. Puncak kesenangan ruh adalah saat dia bisa
kembali ke asal Nya dengan penerimaan dan penyambutan dari Tuhan yang maha
penyayang. Sebagaimana kalam qudus Nya dalam surah Yasin (36) ayat 57 : Salam
(sejahtera) sebagai ucapan dari Tuhan yang maha penyayang. Kegagalan dalam
pendakian zuhud ruhiyah menyebabkan ruh sangat sengsara di dunia (buta) dan ruh
akan sangat buta lagi nanti di akhirat serta tersesat jalan dalam mencari
Tuhannya, inilah sebuah gambaran yang sangat memilukan hati bagi jasadiyah, qalbiyah, dan ruhiyah yang tidak berma'rifat kepada Allah swt sejak di dunia dan terbawa sampai ke neraka akhirat. (Wallahu a'lam).
Komentar
Posting Komentar