Al Hikam - Kajian 33 - Ustadz H. Ma'ruf H. Zahran, S.Ag, M.Ag

 


AL HIKAM KAJIAN 33
HATI YANG MATI

Telah berkata gurunda mulia syaikh imam mursyid Ahmad bin Athaillah As Sakandari rahimahullah ta'ala : Diantara sebagian dari tanda - tanda matinya hati adalah tidak merasa rugi terhadap keluputan taat, serta sebagiannya lagi adalah tidak merasa menyesal terhadap perbuatan dosa yang telah dilakukan.

Syarah kajian 33 ini lebih menekankan sikap si hamba terhadap dosa dan pahala. Apabila si hamba memandang remeh terhadap amal taat, sehingga tidak bergegas menunaikan amal taat, sungguh itu cermin hati diri yang mati (mautul qalbi). Mati hatinya dari memandang bahwa Allah swt sedang berseru mengundang menikmati hidangan - hidangan amal, bahwa Allah swt sedang membuka pintu - pintu amaliyah shalihat, bahwa Allah swt sedang menganugerahkan peluang yang besar dalam dzikrullah dan ma'rifatullah, tetapi sayang beribu kali sayang, kesempatan itu tidak digunakan oleh si hamba untuk memasuki pintu - pintu Tuhan dalam perkenan amaliyah shalihat, sayang seribu kali sayang, tidak dimanfaatkan hamba untuk dapat meraih anugerah dari Nya dengan bersegera beramal shalihat, tidak digunakan hamba kesempatan emas dalam umur, tenaga dan pikiran untuk bisa meraih pahala dan keutamaan dari Allah dan rahmat Nya (fadhlan minallah, ni'mah wa rahmah). Padahal, setiap malam dan setiap hari Allah swt telah menyediakan seluruh kehidupan sebagai lapangan amaliyah shalihat. Tapi, kita tidak mau bergelanggang ke dalam lapangan amaliyah shalihat, ketidakmauan kita itulah pertanda hati yang sakit (qalbun saqim) lalu hati menjadi mati (qalbun mayyit). Hati yang mati merupakan hati yang terkunci,  sebagaimana kalamullah mulia dalam surah Muhammad ayat 24 : Tidakkah mereka merenungi (menghayati) Al Qur'an, ataukah hati mereka yang sudah terkunci  ?

Sebaliknya, berbahagialah saat Allah swt merasakan di dalam hati kita kecintaan amal taat bersama Allah (amallillah), sungguh suatu permulaan kebaikan dari perbuatan yang berbinar (nurul bidayah), disinilah tangga pertama kehidupan Islam melembaga pada jasadiyah dengan cahaya Islam (nurul Islam) dalam raga yang dimudahkan Allah swt untuk berserah diri kepada Nya (muslim) berupa kesaksian syahadatain (syahadat tauhid dan syahadat rasul), diberi hidayah (petunjuk) dan diberi taufiq (kesanggupan dan kesabaran beramal shalihat) untuk shalat, zakat, puasa dan haji. Allah swt memuji mereka yang bersabar dalam menjalani titian amaliyah  dan bersegera menunaikannya serta bersedih dan berpilu hati saat luput dan gugur dalam menunaikan waktu - waktu berharga,  Allah swt janjikan kepada  mereka janji kegembiraan surga (basyirah) seperti termaktub dalam kitab suci Nya : Mereka itulah yang mendapat balasan (ghurfah : kamar pribadi bersama Allah swt di dalam surgaNya) karena kesabaran mereka dan di sana (surga) mereka berjumpa (Allah swt) dengan sambutan salam penghormatan. Mereka kekal di dalam surga. Surga itu sebaik - baik tempat menetap dan sebaik - baik tempat kediaman. (Al Furqan ayat 75 - 76).

Di bawah akan diurai tingkatan - tingkatan cahaya sebagai kendaraan hamba menuju Allah swt (mathiyyatul 'abdi ila rahmati rabbi) untuk skala penilaian bagi cahaya hati atau gelap hati. Sebab, cahaya hati di dunia akan terbawa hingga ke akhirat, dan gelap hati di dunia akan terbawa hingga kegelapan di akhirat, lebih gelap dan lebih sesat jalan lagi. Berikut ulasannya :

1. Nurul bidayah

Hamba taat yang duduk pada tingkat (maqam) permulaan (bidayah) dengan kendaraan cahaya permulaan (nurul bidayah) menuju Allah swt sebuah capaian agung dan karunia agung (ni'mah adzimah) yang Allah swt titipkan kepadanya cahaya Islam atau cahaya keselamatan (nurul Islam). Nurul Islam ini terbit dari sejati pengenalan terhadap tubuh jasmani (nurul jasadiyah) yang posisinya pada seluruh tubuh kasar (badan). Dimensi jasadiyah ini bersifat jali (terang - nyata - dzahir - kalau hukum tajwid disebut hukum idzhar) sebagai medan - medan perjuangan menahan mata, telinga, hidung, mulut, kulit, kaki, tangan, pikiran, kemaluan dan sebagainya dari melihat, mendengar, mencium, membicarakan, merasakan, berjalan, mengambil, berniat dan melakukan hubungan yang dilarang oleh Allah swt. Jika manusia berusaha melewati ranjau - ranjau atau jaring - jaring jebakan syahwat, dan atas berkat rahmat Allah swt si hamba bisa menjaga kesuciannya ditingkat jasadiyah ini, kemudian Allah swt masukkan si hamba ke dalam golongan hamba - hamba Nya yang disucikan dalam penyucian dzahiriyah atau jasadiyah (almutathahhirun), simak pada surah Al Baqarah ayat 222 : Sesungguhnya Allah mencintai attawwabin (orang - orang yang bersuci secara batin - taubat dari dosa batin) dan Allah mencintai almutathahhirin (orang - orang yang bersuci secara dzahir - taubat dari dosa dzahir).

Taat dzahir syariat jangan kita ketinggalan apalagi tidak menyesal ketika meninggalkan shalat, tidak menyesal ketika meninggalkan puasa, tidak menyesal ketika tidak berzakat, tidak menyesal ketika tidak berhaji bagi yang mampu. Manusia yang berdosa berarti mata hatinya tertutup, mata hatinya hitam, mata hatinya kabur (musdatul bashirah), ibarat matanya harus dioperasi katarak, sebelum butanya parah.

Lebih parah lagi ketika telah berbangga berbuat dosa, dan dipertunjukkan kepada khalayak ramai bahwa dia telah berani menghina Allah, menghina Rasulullah dan kaum muslimin tanpa bertaubat hingga wafatnya, sungguh kematian hati yang menyengsarakan sebagai budak atau hamba hawa napsu. Hamba Allah swt yang selalu menilai dirinya sendiri (muhasabah nafsiyah) dan taubat nasuha sebelum wafat (taubat qablal maut), itulah diri yang telah bercahaya karena martabat taubat merupakan martabat yang dicintai Allah swt (mahabbatullah) dan bercahayakan dengan cahaya Allah maha sempurna (nurullah kamilah), sebagaimana firman Tuhan : Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha, semoga Tuhanmu menghapus kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannat (surga - surga) yang mengalir sungai - sungai dibawahnya. Hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya (Nabi Muhammad saw), cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata : Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu. (At Tahrim ayat 8).

2. Nurul wasathiyah

Amaliyah pada peringkat ini lebih tinggi lagi, disamping sifatnya khafi (tersembunyi), juga amaliyah taatnya samar seperti amaliyah maksiatnya pun samar, karena bertitik tumpu di hati, lalu mengobati penyakit hati lebih berat, perlu waktu lama, mengenali penyakit hati dan berupaya mengobati (therapi) penyakit hati dibawah rawatan dan asuhan dokter spiritual (mursyid kamil mukammal) yang di masa ini sulit dicari,  karena diperlukan mujahadah amaliyah riyadhah yang bersifat batini. Amaliyah taat dzahir tidak terselamatkan atau tidak tersampaikan kehadirat Allah swt walaupun banyak amaliyah dzahir ketika terhinggapi oleh dosa batin seperti riya', disamping tertolak (mardud) karena riya' juga pelakunya mendapat dosa syirik khafi (syirik yang tersembunyi). Ketersembunyiannya seperti semut hitam yang berjalan di atas batu yang hitam di saat malam yang kelam, bisikannya samar sekali. Syirik khafi menyelinap di hati, bertugas merusak tatanan amaliyah dengan niat linnas (karena manusia) bukan lillah (karena Allah).

Sentral dzikir asma Allah di dalam inti hati (lub) tidak bisa dipikirkan, tidak bisa digambarkan, tidak bisa diceritakan karena sifat batiniyah dzikir khafi mendekam  dalam ketersembunyian dan ketersendirian lub dengan Allah swt.

Apa yang bisa digoda Iblis dan persekutuannya adalah wilayah sudur (sekitar wilayah hati - kulit hati), sedangkan syaithan yang ditugasi membisikkan (was - wis fi sudur) bernama syaithan Khannas. Lebih gawat lagi jika Khannas menguasai manusia pada wilayah sudur (dada) lalu masuk ke qalbu (lapisan hati kedua) setelah sudur, menjadilah hati yang rusak (qalbun fasad). Artinya, di hati telah ada titik yang sangat hitam (nuktah aswad) sebagai tanda dosa hati yang terus - menerus bertambah apabila tidak dibersihkan dengan pembersihan hati (tazkiyyatul qulub).

Dzikir hati adalah dzikir asmaullah al husna. Kumpulan 99 nama Allah, baik pada inti  Jalalullah maupun inti Jamalullah. Bukan sekedar menyebut dan bukan sekedar mengingat, kalau menyebut bisa lalai, kalau mengingat bisa lupa, tapi menghidupkan dzikir di hati, kapan berhenti dzikir pada dimensi hati yang hidup, pada saat dzakir sudah innalillahi wa inna ilaihi raji'un, pada saat dzakir menemui kekasihnya (Allah Al Jalal, Allah Al Jamal).

Contoh amaliyah qalbiyah dalam asmaullah al husna adalah sewaktu mata memandang langit yang tinggi, bumi yang terhampar atau melihat sekalian manusia, terkoneksi langsung dengan Allah swt dalam nama Nya Al Khaliq, Al Bari' dan Al Musawwir. Nama Allah swt Al Khaliq (ma'rifatul asma') hanya Dialah satu-satunya Tuhan yang maha pencipta langit, bumi dan manusia, dilanjutkan dengan asma Al Bari' yang berarti Tuhan yang maha memberi rupa atau memberi bentuk, lalu disempurnakan dengan nama Allah swt Al Musawwir, nama Allah swt yang maha memperindah. Kemudian  Dia juga yang maha hidup dan maha menghidupkan (Al Hayyu - Al Muhyi).

Dengan kata lain tafakkur hati merupakan amaliyah yang menembus asmaul husna dikeseluruhan namaNya seperti doa Nabi Muhammad saw : (Ya Allah, aku meminta kepada Mu dengan seluruh nama yang ada pada Mu). Semakin kenal  manusia dengan nama - nama Allah swt, semakin dekat dia dengan Allah swt, inilah kegunaan cahaya pengenalan (nurul ma'rifah). Semakin kenal dia dengan Allah swt, semakin sayang Allah swt kepadanya, semakin sayang dia kepada Allah swt, semakin cinta Allah swt kepadanya. Makna irfani (pengenalan) terdalam kepada Allah swt tidak sekedar menghapal nama Nya mulai Ar Rahman hingga Ash Shabur. Tapi dituntut untuk mengenali Nya, memahami Nya, bersama suka - duka dengan Nya sebagai sahabat, sehingga mengerti dan memahami diri Nya dari aspek perbuatan Nya (af'al), nama - nama Nya (asma') dan sifat - sifat Nya, baik Jalalullah (kebesaran Allah) maupun Jamalullah (keindahan Allah) baik persamaan (sinonim) perbuatan, nama dan sifat, maupun perbedaan (antonim) perbuatan, nama dan sifat. Misal, persamaan dan perbedaan Al Aziz dengan Al Qahhar, Al Karim dengan Al Adzim, Al Ghaffar dengan Al Ghafur, Al Halim dengan Ash Shabur, Ar Razzaq dengan Al Wahhab, Ar Rahman dengan Ar Rahim, Al Hadi dengan Ar Rasyid. Lalu mengerti juga dengan cara - cara perbuatan dari nama Nya beserta sifat - sifat Nya juga yang menjadi nama Nya seperti Al Malik, Al Quddus, As Salam, Al Mukmin, Al Muhaimin dan sebagainya.

Ujung dari pengenalan asmaul husna adalah mengakui keagungan Nya, kekuatan Nya, keperkasaan Nya, dengan selalu memuji Nya untuk menampakkan dan menyatakan kebesaran ketuhanan Allah swt  pada kebenaran iman (li idzhari rububiyyatih) dalam waktu yang bersamaan mengakui kelemahan diri sebagai kehambaan penuh penyembahan (li idzhari 'ubudiyyatih). Dari pengenalan nama Allah swt (ma'rifatul asmaullah  al husna) inilah jalan pulang si hamba menjadi terang, sebab telah diyakini bahwa selain nama Allah swt adalah gelap, kecuali mereka yang berdzikir dengan asmaul husna sepanjang hayat hingga maut datang menjemput, disinilah jalan pulang yang terang - benderang menuju Allah swt.

Setelah mengenal nama Nya, tuntutan selanjutnya adalah berakhlak sesuai dengan nama Nya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw (at Takhalluq bi akhlaqillahi ta'ala) artinya : berakhlaklah seperti akhlak Allah ta'ala. Maksudnya, bagaimana mencontoh Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Quddus dan seterusnya ? Sebuah percontohan kepada nama - nama agung Nya dan kita terapkan dalam batas - batas maksimal kemampuan secara manusiawi.

Betapa maha agung contoh dari Allah swt  yang dibawa dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah (contoh yang baik), berdasarkan surah Al Ahzab ayat 21 : Sesungguhnya adalah bagimu pada diri Rasulullah ada contoh teladan yang baik, yaitu bagi mereka yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, (beriman) pada hari akhir dan banyak berdzikir kepada Allah. Lalu, jangan kita mengkhianati nama - nama mulia Nya dengan diri dan hati yang bercelumur dosa. Bersegeralah meminta ampun dengan berdzikir asmaul husna.

3. Nurul nihayah

Cahaya penghabisan (nurun nihayah) merupakan kedudukan tertinggi dalam pengenalan kepada Allah swt yang berkendaraan cahaya. Amaliyah pada nurun nihayah ini adalah inti hakikat yaitu :

3.1. Musyahadah
3.2. Muraqabah
3.3. Ma'rifatullah

3.1 Musyahadah

Musyahadah merupakan inti amal hakikat. Amal hakikat jumlahnya sangat banyak, musyahadah adalah tiga dari amaliyah hakikat setelah itu muraqabah dan ma'rifatullah. Musyahadah adalah penyaksian kebesaran, kemuliaan, keluhuran Allah swt. Karena kebenaran mata batin yang memandang (haqqul bashirah), capaian tertinggi dari hamba Allah swt yang bermusyahadah dan dimusyahadahkan oleh Allah swt adalah Rasulullah saw dalam kalamullah surah Bani Israil ayat 1 : Maha suci (kehebatanNya), memperjalankan hamba Nya pada separuh malam, dari al masjidil haram ke al masjidil aqsha yang Kami berkahi disekelilingnya, untuk Kami perlihatkan sebagian kecil dari ayat - ayat Kami, sesungguhnya Dia (hanyalah Dia) yang maha mendengar (yang suara atau yang tidak bersuara), maha melihat (yang nyata, tersembunyi atau rahasia).

Inilah ayat musyahadah billah tertinggi, di ruh hamba ('abdi) bertamasya di alam ruh, kegembiraan pulang dan menyaksikan (musyahadah) sebagian dari ayat - ayat Nya, rihlah semesta dan rihlah di luar alam semesta yaitu alam malakut (alam malaikat dan alam arwah) serta alam ketuhanan. Jika dalam tinjauan ilmu Fisika dengan rumus sigma tanpa batas. Untuk memahami kejadian isra'  dan mi'raj sangat diperlukan pendekatan imani, bukan pendekatan ilmi, diharuskan dengan pendekatan batin musyahadah bukan dengan pendekatan dzahir ilmiyah. Sebab pada ayat ini, Allah swt telah memulai ayat Nya dengan kalimah tasbih, kemahahebatan Allah lalu Dia wajib untuk disucikan, disanjung, dipuja-puja, dipuji-puji, dan Dia telah memuji diri Nya sendiri pada tataran martabat Ahadiyah,  Allah swt ahad dalam kesendirian dzat Nya, sehingga makna pujian yang sebenarnya hanyalah Allah swt sendiri yang memahami pujian untuk diri Nya (subhanallah).

Keterbatasan manusia untuk mampu bermusyahadah total dengan Allah swt disebabkan kuat lagi tebalnya hijabah dan sutrah hamba dengan Allah swt. Terhijabnya manusia dengan Allah bisa disebabkan oleh dzat Allah swt yang maha sangat dekat dan yang maha sangat terang, saking dekat hamba dengan Allah swt, lalu Allah swt tidak bisa dilihat, kecuali memandang kepada pantulan perbuatan, nama dan sifat Nya dengan teropong musyahadah billah (menyaksikan Allah dengan Allah swt), inilah musyahadah sayyiduna Ali bin Abi Thalib radiyallahu 'anhu dalam penyampaian kalam ilham qudsi : (a'rifu rabbi birabbi) artinya : aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Ilham qudsi dari sayyiduna Ali telah menandakan betapa dekatnya beliau dengan Allah swt sebuah kedekatan yang hampir - hampir tidak ada hijab lagi, seperti firman Allah swt di dalam kitab mulia : Dan berdzikirlah (menghayati) Tuhanmu dalam jiwamu (ruh 'abdi) dengan (rasa) rendah hati dan (rasa) takut hati, tidak mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Al A'raf ayat 205).

Hamba yang duduk pada maqam haqiqah musyahadah telah menemukan ma'rifat shifat. Kemuliaan sifat Allah swt berarti tersampaikan pada awal dan akhirnya, pada dzahir dan batinnya, pada hulu dan hilirnya ilmu musyahadah billah, yang terpelihara dalam sifat tujuh, atau sifat maknawiyah Allah swt, yaitu :

3.1.1 Ilmu menjadi alimun, Allah swt alimun menitipkan ilmu kepada ruh, wujud jasadnya adalah otak.

3.1.2. Hayat menjadi hayyun, Allah swt hayyun menitipkan hidup kepada ruh, wujud jasadnya adalah napas, hati, nadi dan jantung.

3.1.3. Qudrat menjadi qadirun, Allah swt qadirun menitipkan kuasa kepada ruh, wujud jasadnya adalah darah, tulang, sumsum, urat dan otot.

3.1.4. Iradat menjadi muridun, Allah swt muridun menitipkan kuasa kepada ruh, wujud jasadnya adalah daging, kulit, rambut dan bulu.

3.1.5. Sama' menjadi sami'un, Allah swt sami'un menitipkan pendengaran Nya kepada ruh, wujud jasadnya adalah telinga luar dan telinga dalam.

3.1.6. Bashar menjadi bashirun, Allah swt bashirun menitipkan penglihatan Nya kepada ruh, wujud jasadnya adalah mata : cornea, lensa mata putih dan mata hitam.

3.1.7. Kalam menjadi mutakallimun, Allah swt mutakallimun menitipkan  pembicaraan Nya kepada ruh, wujud jasadnya adalah mulut, tenggorokan, lidah, gusi, gigi dan bibir.

Sifat tujuh ma'ani (makna) yaitu ilmu, hayat, qudrat, iradat, sama', bashar dan kalam menjadi maknawiyah (pemaknaan) dalam sifat tujuh turunan menjadi alimun, hayyun, qadirun. muridun, sami'un, bashirun, mutakallimun, lalu ditiupkan Allah swt kepada ruh, inilah makna hembusan ruh dalam sifat tujuh pada surah Shad ayat 71 - 72 : Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat sesungguhnya Aku pencipta yang menciptakan manusia (wujud jasmani) dari tanah, apabila telah sempurna (wujud jasmani - Adam) segera Aku tiupkan ruh Ku (wujud rohani), haruslah kamu semua (malaikat) bersujud kepadanya (Adam), - sebab di dalam tubuh Adam ada tiupan ruh Allah. Begitu juga di alam semesta terdapat ruh Allah, pada tumbuhan ada ruh nabati, pada hewan ada ruh hayawani.  Manusia bergerak karena adanya ruh tiupan dari Allah kemudian manusia bisa beramal (ruh amali). Ruh amal inilah yang berubah sosok baik atau buruk sangat bergantung kepada amal (perbuatan) selama di dunia, inilah ruh amali yang baik atau ruh amali yang buruk menjadi teman di alam kubur hingga ke akhirat nanti (surga atau neraka).

Pada tingkat (marhalah) ma'rifatush - shifat Allah tampak nyata secara dzahir ketika Allah swt menanyakan : Apakah engkau tidak memperhatikan ibil (unta) bagaimana ibil (unta) diciptakan. Pertanyaan - pertanyaan senada semisal itu sangat banyak ditemui dalam surah Al Ghasiyah (88). Seperti Allah swt tanyakan juga pada surah Yunus ayat 101 : Perhatikanlah apa (disebalik) langit dan bumi ?

Terpandanglah hanya Allah swt, lalu Allah swt yang bertahta pada kerajaan hatinya. Dengan mudah si hamba yang telah arif billah untuk bangun malam, berjam-jam saling berbicara dengan Allah swt dalam dekapan malam (muhadatsah), berdiri, duduk dan berbaring semajelis dengan Allah swt (mujalasah). Kondisi ini tercapai apabila si hamba telah mengenal diri yang terperi untuk dapat si hamba mengenal Diri yang Sejati, seperti dinyatakan oleh Imam Yahya bin Mu'adz Ar Razi : Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia mengenal Tuhannya.

3.2 Muraqabah

Siapakah yang raqib, siapakah yang maha mengawasi  ? Allah. Inti akhlak beragama adalah merasa diawasi oleh Allah swt. Diri yang muraqabah, merasa selalu di awasi Allah swt, memantik diri untuk selalu beradab kepada Allah swt, untuk selalu beradab kepada Allah dalam taatnya, serta malu untuk berbuat maksiyat, sebab Allah swt selalu mengawasi. Bagaimana kisah seorang anak gembala dengan amirul mukminin khalifah Umar bin Khattab yang dalam penyamarannya ingin membeli domba yang ribuan banyaknya, tetapi si anak gembala tidak mau menjualnya sebab tanpa seizin tuannya, ketika Umar terus mendesak (untuk menguji keimanan si anak gembala) karena majikan (tuannya) tidak tahu, anak gembala itu menanyakan : ainallah (dimana Allah) ? Umar bin Khattab menangis bangga dan memeluk si anak gembala, bangga bahwa rakyat beliau masih merasakan kehadiran Allah swt (muraqabah), inilah setinggi - tinggi tingkat bertuhan, meyakini Tuhan yang maha mendengar lagi maha melihat.

Terdapat pula kisah pemuda misyik (minyak wangi berkelas dunia), tapi misyik kali ini adalah minyak wangi akhirat, yang melekat pada pemuda misyik, apakah gerangan amaliyah pemuda misyik  ? Amaliyah pemuda yang ganteng, normal dan sehat ini ketika diajak berbuat mesum oleh seorang wanita cantik dan punya kedudukan, lelaki ini menolak dengan cara melumurkan seluruh kotorannya ke seluruh tubuhnya. Di saat dia sangat takut kepada Allah swt akan dosa zina, diapun permisi minta izin ke toilet, kemudian dia buang hajat, maka dia make up kotoran di sekujur tubuhnya, sehingga menjadi jijiklah wanita tersebut, marah, muntah dan menyuruh pemuda tampan itu menjauh dirinya karena bau busuknya. Niscaya, tidak terjadi perbuatan zina yang telah direncanakan wanita kaya, cantik, punya jabatan dan muda belia. Langkah pemuda tampan ini diridhai Allah swt, sehingga sejak peristiwa itu hingga wafatnya, pemuda tampan yang sangat takut kepada adzab Allah swt karena merasa diawasi Allah swt (muraqabah), tubuh pemuda tampan tersebut  berbau minyak misyik surgawi di kala hidup dan di kala wafat.

Banyak lagi kisah - kisah yang menggetarkan hati pertanda muraqabah yang telah tumbuh di hati. Sebab, mereka yang telah mengenal Allah swt dalam perbuatan - perbuatan Allah swt, asma Nya dan sifat Nya merupakan mereka yang berma'rifat billah, di dalam diri yang sudah  termonitor cctv, gerak - gerik yang terpantau, ucapan yang terdeteksi, suara hati yang berada dalam pengawasan (supervisi) Allah swt, masih maukah mendurhaka ? Tidak, muraqabah yang telah tumbuh, aktif dan mengaliri seluruh tubuh malah muraqabah melahirkan sifat ihsan. Ihsan adalah : engkau menyembah Allah seakan - akan engkau melihat Nya (musyahadah), jika engkau tidak melihat Nya, yakinlah bahwa Dia melihatmu (muraqabah). (Hadits mutawatir riwayat imam Bukhari dan imam Muslim).

Banyak sekali ayat - ayat yang mengantarkan pemahaman tentang muraqabah, bahwa seluruh alam semesta dan diri sendiri adalah cctv Allah swt, pada saat hari qiyamat cctv yang ada di diri dan di seluruh penjuru alam dihadirkan, ditayangkan dan dipertontonkan di seluruh manusia dan malaikat, maka sebelum kematian dan sebelum pergi ke akhirat dimana film kehidupan akan digelar secara klosal, dan disaksikan oleh Allah swt, Nabi Muhammad saw, keluarga dan seluruh manusia, bertaubat sebelum mati ( taubat qablal maut), supaya tidak malu di dunia dan di akhirat. Rehabilitasi diri memang menjadi sangat penting sebelum segalanya terlambat dengan tutup buku kehidupan (mati). Mumpung pena lagi ditulis, kertas kehidupan masih bekerja dan belum cuti (mati), masih ada kesempatan untuk menghapus tulisan kehidupan yang jelek untuk dirapikan, untuk ditulis ulang, untuk menghapus yang salah, proses editing masih berlangsung sekarang (live).

Sebagai bimbingan, Allah swt tuntun untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita sedang diaudit Allah swt, audit total setiap harinya, dan wajib setiap hari kita melakukan audit internal, sebelum diaudit malaikat pada hari akhir, kalamullah mulia dalam surah Fushshilat ayat 53 - 54 : Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda - tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru (eksternal) dan pada diri mereka sendiri (internal) , sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an adalah benar. Tidak cukupkah (bagimu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu. Ingatlah,  sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu.

Monitoring rekam jejak manusia ada di setiap diri dan alam semesta, jejak digital dan jejak manual, diantaranya kesaksian - kesaksian :

3.2.1 Diri sendiri

Diri sendiri merupakan diri yang merekam dan melaporkan apa saja yang dilakukan, laporan diri yang tidak tertinggal sedikit atau banyak, tidak luput perbuatan yang terang - terangan, sembunyi dan rahasia, dan dibalasi perbuatan jahat sesuai dengan kejahatannya, dan diganjari dengan royal perbuatan baik dengan pahala yang berlipat ganda. Sebagaimana firman Tuhan dalam surah Fushshilat ayat 40 : Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda - tanda (kebesaran) Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah mereka yang datang dengan aman sentosa pada hari qiyamat  ? Lakukanlah sekehendakmu, Dia maha melihat apa yang kamu lakukan.

Seluruh perangkat anggota tubuh, kaki, tangan, kulit, mata, telinga, menjadi saksi dan telah menyaksikan. Anggota tubuh memantau, melihat perbuatan baik dan perbuatan buruk kita, telinga mendengar perkataan baik dan perkataan buruk kita, hati merekam jejak amal baik dan jejak amal buruk kita, operasi sistem yang telah Allah swt titipkan berupa chipset atau cctv supra canggih di seluruh aliran darah dan rangsangan kulit, sebagaimana firman Tuhan dalam surah Yasin ayat 65 : Pada hari ini (hari akhir) telah Kami tutup mulut - mulut mereka, tangan mereka yang berbicara, kaki mereka yang memberi kesaksian terhadap apa yang telah mereka kerjakan (di dunia).

3.2.2 Bumi

Bumi seperti ibu pertiwi yang melihat, mendengar dan menyaksikan perbuatan seluruh manusia yang berbuat taat atau berbuat maksiyat, bumi merupakan elemen ciptaan Allah yang paling dekat dengan manusia yaitu unsur tanah sebagai bahan baku ciptaan jasad (tubuh). Di bumi manusia dilahirkan, di bumi manusia dibesarkan, di bumi manusia berjalan, di bumi manusia beramal, di bumi manusia berumah tangga, di bumi manusia akan mati dan di bumi manusia akan dibangkitkan.

Bumi yang kita injak - injak tanah dan tanamannya, batu dan airnya, udara dan kayunya, semua mereka itu akan menjadi saksi di hadapan Tuhan untuk melaporkan kelakuan kita selama hidup di dunia. Hari ini bumi memang diam, diam bukan berarti tidak merekam, rekaman bumi tersimpan di dalam ruh bumi. Surah Al Zalzalah secara total mengharuskan manusia merenungi dirinya bahwa pada saatnya nanti bumi akan mengkhabarkan berita - berita tentang manusia dan tentang apa yang telah diucapkan dan dilakukan.   Bumi juga akan menilai amal manusia, dalam timbangan yang sangat adil walau sebesar biji sawi, walau sebesar atom, manusia akan melihat amalnya, sebesar biji sawi amal baik dan sebesar biji sawi amal buruk.

3.3 Ma'rifatullah

Pengenalan Allah swt dalam ma'rifatullah billah, 'arifu rabbi birabbi (mengenal Tuhanku dengan Tuhanku) adalah suluk sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah (Allah memuliakan wajahnya). Ketidakmampuan mengenal Nya sebagai bukti pengenalan, ketidakpahaman tentang Allah swt merupakan bukti kepahaman, saking dekatnya maqam arif billah sehingga tidak bisa disamakan dengan orang-orang awam dari kaum muslimin. Tapi, kedekatan yang sangat dengan Allah swt harus tetap beradab kepada Nya.

Cahaya arif billah terbit dari cahaya Allah swt (nurullah), dengan cahaya itulah Allah memberi petunjuk (hidayah) dan menuntun hamba menjalani petunjuk (taufiq). Sedang sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu 'anhu mengatakan ketidakmampuanku mengenal Allah itulah hakikat sebuah pengenalan ketidakmampuan di dalam ketidakmampuan. Contohnya dalam hal ini adalah proses Nabi Ibrahim alaihissalam mencari Tuhan seperti dikisahkan dalam kitab suci, Nabi Ibrahim alaihissalam melihat bintang - bintang, tapi bintang tenggelam, bulan muncul di kala malam, menjelang fajar, bulan tenggelam, muncul matahari, menjelang maghrib matahari terbenam. Lalu, Ibrahim berkata : aslamtu lirabbil 'alamin (aku berserah diri menjadi muslim kepada Tuhan semesta alam). Aku berserah diri, tunduk patuh kepada Tuhannya bintang, Tuhannya bulan, Tuhannya matahari dan Tuhan dari seluruh mereka yang ada di langit dan di bumi. Upaya ma'rifat Ibrahim alaihissalam kepada Allah swt melalui suluk ilmu.

Ma'rifatullah billah bi idznillah adalah capaian ketiga bagian langsung dalam suluk, yaitu suluk ilmu, suluk amal, dan suluk ikhlas. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw : Setiap orang yang itu celaka kecuali yang berilmu ('alimun), yang berilmu pun celaka kecuali yang beramal ('amilun),yang beramal pun celaka kecuali yang ikhlas (mukhlisun).

Sebuah upaya pendekatan diri kepada Allah swt harus didasari oleh ketiga asasi dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Penghambaan kepada Allah swt dengan cahaya pengenalan berdampak pada : Mengutamakan akhirat dari pada dunia, berpaling dari negeri - negeri tipu daya (tajafi 'an daril ghurur), kembali hanya kepada Allah untuk mempersiapkan bekal ke negeri - negeri yang berkekalan (wa anibu ila daril khuldi), bersegera beramal shalihat untuk bekal negeri - negeri akhirat (badiru bil a'malis shalihat).

Inilah manusia yang cerdas dalam mengenal Allah swt, mengenal Nya lalu mendekati Nya, mengenal Nya lalu mencintai Nya, mengenal Nya lalu menyembah Nya, mengenal Nya lalu mengingat Nya, sebagaimana firman Nya dalam surah Al A'raf : Dan ingatlah Tuhan mu dalam jiwamu  ... (ayat 205). Penjelasan ayat ini bagian upaya mengingat perjanjian ruh dengan Allah swt hanya bisa dengan ma'rifaturruh, yang ruh hanya bisa  mengenal Allah swt dengan media pengenalan af'al, asma dan shifat Allah swt. Peringatan perjanjian itu harus setiap hari kita ingat, awali dengan dzikir hayat (ingat jalan ketika kita datang), dan akhiri dengan dzikir maut (ingat jalan ketika pulang). Sebab, banyak orang yang sudah lupa saat perjanjian pertama kalinya dengan Allah swt, padahal hamba sendiri yang bersaksi di hadapan Tuhan Nya, melihat, mendengar, menyaksikan, mengikrarkan, membenarkan. Isi perjanjian itu direkam oleh Allah swt dalam surah Al A'raf : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan kamu dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam dan seluruh keturunannya,  dan ruh mereka sendiri yang menyaksikan, (Allah berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu ? Ruh mereka menjawab, benar,  Engkau Tuhan kami, kami menyaksikan. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari qiyamat kamu tidak mengatakan : Sesungguhnya ketika itu kami lengah (tentang perjanjian di alam ruh dahulu).

Al A'raf ayat 172 sebuah majelis akbar dimana setiap kita pernah kumpul, tetapi saat di dunia sudah banyak yang terlupakan, untuk dzikir (mengingat kembali memori) alam ruh tidak bisa dengan dimensi dunia yang malah melalaikan dzikir alam ruh. Tembuskan ingatanmu pada peristiwa yang pernah terjadi dengan mengenali ruh dan mendzikirkannya : Lailaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah Muhammad ayat 19 : Maka ilmuilah (dengan mengenali ruh), sesungguhnya Dia, tidak ada Tuhan kecuali Allah. (Wallahu a'lam).

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN