TAFAKKUR MALAM - PAHALA DAN DOSA
TAFAKKUR
MALAM
PAHALA
DAN DOSA
Oleh
Ma’ruf
Zahran
Kedua istilah pahala dan dosa sangat terkait kepada diri sendiri
yang pada hakikatnya membicarakan diri sendiri dan bukan membicarakan diri
orang lain. Anggapan diri yang benar dan anggapan diri yang salah adalah benar.
Kenapa gerangan diri bisa menilai diri? Kemungkinan siapa diri yang beratribut
perbuatan diri, nama, sifat diri, dan diri sendiri? Banyak keterangan yang
dibuat untuk menjelaskan "Adam" yang selalu memerlukan
"adam-adam" yang lain. Saling memerlukan dan saling diperlukan
diantara sebabnya adalah adanya kesamaan di antara perbedaan manusia, sudah
menjadi sunnatullah penciptaan.
Neraca ukur pahala dan dosa sebagai potensi bawaan (capacity)
setiap manusia, agama menyebutnya dengan fitrah. Fitrah adalah potensi yang dibawa sejak
lahir, perbuatan fitrah ini sama dengan nama alam dan sifat alam. Membicarakan
alam semesta termasuk manusia didalamnya.
Potensi merupakan sesuatu yang belum teraktualisasi, bila telah
teraktualisasi secara fisik di sebut amal, amal dzahir. Selain itu artinya ada
amal batin, seperti niat di dalam hati, dzikir dan salawat di dalam hati.
Potensi (fitrah) tersebut secara umum adalah fitrah bertuhan. Fitrah bertuhan
ini yang sering dilupakan sebagaimana firman Tuhan dalam surah Ar-Rum (30) ayat
30: "Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam), Dia menciptakan manusia di atas fitrahNya. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah. Demikian itu agama yang kuat. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." Maksudnya
bahwa di alam ruh keadaan alam semesta termasuk manusia adalah sudah beriman
dan sudah berislam, itulah sejatinya sifat ruh yang asli, yang benar, yang
bening. Ketika ruh ditiupkan kepada jasad, maka mendzahir ruh ke dalam wujud jasad.
Perpaduan ruh dan jasad inilah yang disebut materi. Tetapi materi dalam hal ini
manusia, manusia adalah satu diri yang terdiri dari dua unsur. Adapun dua unsur
tersebut adalah jasmani beserta perangkat
komponen kerja, dan adalah rohani
beserta perangkat komponen kerja.
Dua eksistensi yang pada hakikatnya esa telah bekerja sesuai dengan
mekanisme dan batasan-batasan hukumnya. Perangkat dan roda perputarannya pun
berbeda tetapi tidak saling bertabrakan. Kondisi harmoni antara jasmani dan
rohani itulah "jalan tengah yang damai" karena saling merelakan atau
radiyah dan mardiyah (merelakan dan direlakan) Tuhan. Posisi antara itulah sang pendamai
yang mengambil tempat tengah diantara dua yang ekstrim, ekstrim putih dan
ekstrim hitam, posisi tengah antara kanan dan kiri. Dia yang netral selain
sebagai pendamai, sebagai penasehat, sebagai penyeimbang, sebagai pengawas,
juga sebagai "remote control." Masalahnya adalah posisi tengah ini
jarang bekerja karena belum terasah, atau telah diasah tetapi jarang aktif. Faktor
keseringan mengasah "dia yang ditengah" menjadi syarat dan rukun jaya
di dunia serta sempurna di akhirat.
Fitrah pada posisi tengah inilah agama yang lurus ( dzalikad-dinul
qayyim), Tuhan telah menamai dengan Islam sejak dahulu kala, dan Dia tidak
membuat kesulitan dalam agamaNya, maka diperintahkan kepadamu dirikan salat dan
bayarkan zakat. Sungguh Dia penolongmu, dan Dia sebaik-baik penolong. Fitrah
yang berkedudukan pada posisi tengah juga disebut agama yang murni
(dzalikad-dinul khalish). Struktur murni karena berfungsi sebagai hakim dan
saksi yang adil. Berbuat adil sama dengan berbuat fitrah yang murni walau
kepada diri sendiri, orang tua, keluarga dan seluruh manusia. Sebab adil dan
taqwa saling mencerminkan diri. Adil adalah cerminan taqwa, taqwa adalah
cerminan adil. Lalu siapakah adil itu? Lalu siapakah taqwa? Adil dan taqwa
adalah fitrah. Sewaktu fitrah bersatu dengan napsu (diri), terkadang fitrah dikalahkan oleh napsu, lalu terjadilah peperangan antara diri jasmani (napsu) melawan diri rohani (fitrah). Diri merasa
tersaingi oleh fitrah, maka diri hanya
mengenal dua yang berpasangan, dan keinginan diri (hawa napsu) berusaha
menutupi supaya fitrah yang berketuhanan esa dan esa berketuhanan untuk
senantiasa ditutup-tutupi, diingkar-ingkari. Padahal bagaimana pun suatu saat
fitrah akan menunjukkan dialah sejatinya diri, salah satu untuk mengungkap
kebenaran fitrah adalah jalan ilmu, iman dan amal yang terus berproses. Apa
yang diperlihatkan hawa napsu adalah memberi stigma kebenaran dengan standar
"kebenaran" hawa napsu. Hawa napsu bisa mensublimasi (menyamar)
seakan-seakan seruan agama, seperti ajakan agama yang sebenarnya adalah hawa
napsu yang menjelma dalam "agama tipuan." Istilah agama dipelesetkan
seakan-akan agama, padahal agama palsu (pseudo agama). Terkadang "agama
imitasi" kelihatannya "lebih saleh" dari pada perilaku beragama
yang sebenarnya. Jika masuk pada perangkap ini, manusia telah tertipu pada jin
"yang berkemeja putih," yang berbaju pahala, isinya hawa napsu. Orang
yang berada pada tipuan ruh "putih" telah merasa aman dengan banyak
mengerjakan amal baik. Sebab amal baik adalah panorama amal yang indah serta
sangat berpotensi untuk disombongkan. Amal yang disombongkan selalu
melambangkan materi. Ada kesamaan dalam hati pencinta dunia itulah ahli taat yang sombong,
karena niatnya bukan karena Allah SWT, walau pembicaraannya karena Allah SWT.
Tipuan samar, halus dan tipis ini sangat sulit untuk dikenali,
sebab mereka beratribut taqwa, dan berkedok atau "sulap" kebaikan
sehingga mendapat pujian dan tepuk tangan. Artinya, ketika mesin kanan yang bekerja
(kualitas white) merupakan tipuan putih yang apabila datang dari dalam diri disebut unsur putih napsu yang menyerupai makhluk putih, sangat baik. Bahkan napsu putih telah mengaku paling baik. Ketika mesin kiri yang bekerja merupakan tipuan hitam (kualitas black). Jibti atau berhala batin yang menyerupai Jibril sebenarnya
Azazil. Jibti atau "syaithan putih" sangat sulit dikenali, sebab dia
bisa berubah warna merah, kuning, hijau, hitam dan sebagainya. Bisa juga
menjadi sangat baik seperti jibti dan bisa juga menjadi sangat jahat seperti
thaghut (syaithan hitam).
Di atas adalah hamparan jalan kekanan-kananan atau seperti kanan,
ada pula hamparan jalan kekiri-kirian atau seperti kiri. Jalan kanan belum
tentu kiri, jalan kiri belum tentu kanan. Jalan baik belum tentu ditempuh oleh
orang-orang baik, dan jalan buruk belum tentu ditempuh oleh orang-orang buruk,
wilayah abu-abu (grey area) inilah wilayah tipu muslihat Azazil dan fitnah
Dajjal.
Persoalan tipuan bisa terkuak sangat nyata bagi orang-orang yang
membentengi diri dengan dzikrullah dan shalawatullah. Setiap dzikrullah belum
tentu mengandung shalawatullah, tetapi
setiap shalawatullah pasti mengandung dzikrullah, yaitu: "Allahumma shalli
wa sallim 'ala sayyidina Muhammadanin-nabiyyil ummiyyi wa 'ala alihi wa
shahbihi wasallama taslima." Allahumma mengandung dzikrullah yang sangat
agung, shalli wa sallim ... mengandung shalawatullah.
Atau membaca doa yang berisi shalawatullah yaitu setiap muadzin
selesai mengumandangkan seruan adzan setiap waktu salat, 5 x sehari-semalam.
Dalam doa dan shalawatullah itu mengandung dua pangkat Ar-Rahman, pertama
pangkat dengan jabatan nama yaitu "Allahumma," kedua pangkat dengan
jabatan sifat yaitu "Rabba." Keduanya ketemu dalam satu doa,
"Allahumma Rabba ... "
Allah Tuhan yang memenuhi seruan adzan yang sempurna, dan salat yang akan didirikan, limpahkan anugerah kepada Muhammad sebagai penghubung kebaikan (wasilah), keutamaan (fadhilah), kemuliaan (syarafah), derajat tinggi yang Engkau angkat, dan tempatkan dia (Muhammad) pada suatu tingkat yang terpuji di sisiMu yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak akan mungkir janji. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa yang mengikuti bacaan muadzin ketika adzan sampai selesai dan membaca doa: "Allahumma rabba ... " (sampai selesai), wajib untuknya syafaat." Apabila ummat Muhammad SAW telah dijanjikan wajib bagi mereka syafaat (wajabat lahumusy-syafa'ah) isyarat yang sekandung makna dengannya adalah telah dijanjikan wajib bagi mereka surga (wajabat lahumul-jannah).
Kembali ke kajian pahala dan dosa, keduanya adalah nama dan istilah. Nama pahala adalah istilah yang berkonotasi baik, dalam gambaran perencanaan amal (niat), proses (amal) dan sesudah amal atau dampak (atsar) kebaikan pula. Sedang nama dosa adalah istilah yang berkonotasi buruk, dalam gambaran perencanaan amal buruk, pelaksanaan amal buruk hingga dampak buruk yang dihasilkannya. Keduanya ini berlomba-lomba dalam lapangan pacu kehidupan, sejatinya memang begitu arena pertarungan antara haq dan bathil. Diantara dua jalan terdapat satu jalan yang posisinya berada di tengah, tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri, inilah jalan yang lurus (shirathal mustaqim). Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar