KAJIAN JTA 4 - TANPA HISAB
KAJIAN
JTA 4
TANPA HISAB
Oleh
Ma'ruf Zahran
Kelas-kelas manusia di hadapan Tuhan sangat beragam. Sebagai
tamsil, seorang karyawan yang dipinjamkan rumah oleh majikannya dengan catatan
bahwa karyawan harus bekerja kepada majikan. Bertahun-tahun sudah bekerja dan
menempati rumah tersebut. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada diri
karyawan. Boleh jadi karyawan merasa betah di rumah yang dipinjamkan, lalu lupa
bahwa statusnya sebagai peminjam, serta merasa telah memiliki rumah dan memiliki pekerjaan,
sehingga lupa bahwa statusnya hanya karyawan yang digaji. Tiba waktunya,
majikan akan menarik semua yang telah dia berikan. Kemudian si karyawan
menuntut balik kepada majikan, dan menghitung apa yang telah diperbuatnya
berupa kebaikannya. Mungkinkah tipe ini bisa terjadi?
Terjadilah arena perhitungan "baik-buruk" dan
"untung-rugi." Bahkan sampai kepada perhitungan "bunga
berjalan." Sangat alot perhitungan tersebut, bisa sampai mendatangkan
saksi kunci, saksi ahli, pengacara, polisi, jaksa, hakim, dan malah bisa
melibatkan dua keluarga besar. Namun ada karyawan yang menyadari status dirinya selaku penumpang, artinya menumpang rumah dan menumpang pekerjaan milik dari majikannya. Dalam status sebagai
penumpang, karyawan ini tahu diri, sehingga dalam mengerjakan sesuatu, dia
tidak merasa beban. Tidak takut untuk dimarah kalau pekerjaan tidak maksimal,
dan tidak berharap untuk dipuji bila pekerjaan maksimal. Sebab pujian dan
hinaan selamanya tidak akan merubah status dirinya sebagai karyawan, karyawan
tetap berstatus karyawan, majikan tetap berstatus majikan. Walau demikian,
karyawan tadi berkewajiban untuk melaporkan setiap pekerjaannya kepada majikan,
dan menyerahkan hasil pekerjaannya kepada majikan. Karyawan tidak mengaku rumah
dan pekerjaan adalah miliknya, kecuali semua itu hanya sebatas titipan dan
pinjaman. Bahkan karyawan berterimakasih karena masih diberi
"tumpangan" oleh majikan.
Sebagai manusia dewasa, secara nalar bisa memilih tipe yang mana
dari dua contoh paparan tadi. Gambaran (ilustrasi) di atas masing-masing
memiliki resiko pilihan. Pilihan pertama dengan resiko dihitung, sedang pilihan
kedua dengan resiko berserah-diri (bisa dihitung dan bisa dimaafkan tergantung
majikan yang memiliki hak prerogatif).
Di dunia ini, berdasarkan kisah di atas, ada contoh pilihan pertama
dan ada contoh pilihan kedua. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat berarti,
seperti perbedaan langit dan bumi. Adalah karyawan yang ingin tampil sebagai
yang terbaik, dan semua kebaikannya
ditarget dengan upah. Adapun pilihan kedua adalah karyawan menyerahkan semua
persoalannya kepada hukum putusan majikan. Artinya, seorang karyawan yang tidak
mengandalkan kerja di hadapan majikan, kecuali hanya berharap pengampunan,
pengucuran kemaafan, pelimpahan ridha, anugerah kasih dan anugerah sayang dari
majikan. Perbedaan yang lain adalah contoh pertama telah bekerja dengan beban
target. Sedang contoh kedua telah bekerja dengan cinta. Contoh pertama akan
dihisab (dihitung oleh Allah SWT al-Hasib, maha menghitung), sebab apabila amal
berorientasi pada diri sendiri, justru akan dihitung secara ketat oleh majikan.
Sedang contoh karyawan kedua, sewaktu menghadap majikan bukan menyombongkan
karya, bukan membusungkan dada, tetapi berharap curahan keampunan dan kemaafan
dari majikan. Pendekatan yang dilakukannya bukan pendekatan surplus atau
defisit amal, melainkan pendekatan cinta di dalam nama dan sifat cinta
(al-Wadud).
Pengertian yang lebih luas tentang "yadkhulunal jannata bi
ghairi hisab" sangat berbeda dengan "yadkhulunal jannata bi
hisab." Masuk surga tanpa hisab adalah mereka yang selama hidup di dunia
ini, tidak pernah "mengaku beramal" atau "terakui beramal."
Padahal dirinya adalah pengamal ('amil). Maksud dia beramal bukan untuk dirinya
(linafsi), melainkan untuk Tuhan yang telah memberi restu kepadanya untuk
beramal (lirabbi). Pada tataran ini, setiap kali 'amil beramal selalu
diserahkannya ke dalam pundi-pundi simpanan Tuhan, tidak ditahan dan tidak
disimpan pada lemari diri sendiri. Ketika si 'amil datang tanpa membawa materi
amal dan dampak-dampaknya berupa pahala dan dosa, kemudian apa yang akan
dihitung? Meyakini kedatangan amal dariNya, dan meyakini bahwa saat amal tayang
adalah menayangkan "apa" yang telah menjadi skenarioNya, dan
selanjutnya mengembalikan amal kepada yang maha menguasai dan yang maha pemilik amal (al-Malik).
Bila seseorang menyandarkan diri kepada Allah SWT dan RasulNya, maka diri pengamal telah hilang dan lebur ke dalam Nur Muhammad SAW, dan Nur Muhammad SAW kembali kepada pemilikNya. Inilah dia ilmu para wali, yaitu penghilangan jati diri pengamal saat sebelum, sedang, setelah amal taat. Para wali telah ketiadaan eksistensi kuasa dalam ilmu, iman, islam, ihsan. Kecuali ilmu yang dikuasakan Allah SWT kepadanya dengan wasilah RasulNya. Sedang wali sendiri hakikatnya tiada berilmu, kecuali terdapat celupan Allah (shibghatallah) pada wali. Firman Tuhan yang mulia :"Celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik daripada orang yang mendapat celupan Allah, dan kami adalah penyembah Allah." (Al-Baqarah:138). Dalam tingkatan (thabaqat) diri yang dikuasakan oleh Nur Muhammad SAW, dan Nur Muhammad SAW dikuasakan oleh Allah SWT pemilik ilmu, Allah SWT al-'Alim. Tatkala ilmu dikembalikan kepada pengantar (rusul). Rusul disini adalah muayyad (yang dikuatkan), mumajjad (yang dimuliakan), imamul qiblataini (pemimpin dua kiblat) yaitu sayyidi habibi Muhammad SAW. Lalu sang rusul mengantar kepada yang maha dekat dan sangat berdekatan denganNya.
Sebab iman itu diberi Tuhan, maka secara hakikat wali tidak boleh
"mengaku telah beriman." Sesuatu pemberian tidak boleh diakui sebagai
hak milik. Secara syariat justru wajib diakui. Pengakuan syariat beriman akan
memudahkan layanan dan tindakan kita terhadap orang lain dan memudahkan
perlakuan orang lain terhadap kita. Dua hal yang berbeda dalam tuntutannya,
tugas salik (murid) adalah mendamaikan dua dimensi yang berbeda ini. Dua kajian
yang berbeda supaya diletakkan pada kelas masing-masing. Fikih dengan jalur
syariat, dan Tasawuf dengan jalur hakikat.
Bahkan, ada tiga ruang kelas kajian yang harus saling bersinggungan
atau tiga jalur yang berdekatan untuk saling menyapa. Kajian Fikih yang
melahirkan syariat, kajian Tauhid yang melahirkan hakikat, kajian Tasawuf yang
melahirkan ma'rifat berupa akhlak dan adab. Pendamaian (rekonsiliasi) terhadap
ketiganya, kembali memberikan pengertian baru (redefinition) yaitu penggabungan
antara Fikih, Tauhid, Tasawuf dalam arti yang utuh tentang ilmu, iman, islam,
ihsan, amal. Supaya tidak terseret pada simbol pinggiran (feriferal) dengan
melupakan inti utama (substansial).
Ibarat di bawah ini, mudahan semakin memberi kecerahan tentang
masuk surga tanpa hisab dan tanpa hukuman (la hisab wala 'iqab) serta memandang
Allah SWT tanpa penghalang (la hijab).
Ibarat itu adalah mengambil istilah "kembali ke angka
nol." Angka nol ( 0 ) sewaktu
mengisi pertalite, isi (angka nominal 1-100), kembali ke angka nol ( 0 ) lagi.
Datang dengan angka nol, isi dengan ilmu, iman, islam, ihsan, amal, kembali ke
angka nol ( 0 ) untuk pulang, berjalan dan meluncurlah dengan cepat.
Tasawuf dengan jalur ma'rifat. Tentu, setelah mengenalNya pada simbol, lambang, tanda (ayat) yang berbasis syariat dan tanda (ayat) yang berbasis hakikat. Masih maukah mengaku sebagai pengamal syariat? Bila masih mau mengaku, materi "aku-aku-an" inilah yang akan dihisab yaitu aku salat, aku puasa, aku zakat, aku haji. Masih bisakah mengucap hakikat bahwa hakikat aku yang salat, puasa, zakat dan haji. "Aku" hakikat inilah yang tetap dihisab (dihitung dan ditimbang semua amal hakikat), disamping dihitung pula amal syariat. Terasa beratlah pundak si hamba yang datang ke negeri akhirat dengan banyak membawa bawaan dan pikulan amal, mungkinkah sampai kehadirat sang maha tinggi lagi maha besar (al-'Ali, al-Kabir). Artinya berhentilah berbicara aku diri yang terdiri, diam adalah jalan selamat. Saat mulut sudah terkunci (Yasin:65). Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar