KAJIAN JTA 5 - MEMBUKA MAKNA KALIMAT ISTIRJA'

 




KAJIAN JTA 5
MEMBUKA MAKNA KALIMAT ISTIRJA'

Oleh
Ma'ruf Zahran

ISTIRJA' bisa juga disebut dengan kalimat arja' artinya kalimat pengembalian dari Asal kembali kepada Asal. Kalimat istirja', datang-pulang, atau hidup-mati ini biasanya hanya diucapkan saat mendengar atau melihat ada orang yang wafat. Pembatasan penggunaan kalimat ini tidak ada salahnya, pembatasan yang boleh jadi disebabkan oleh terbatasnya pemahaman terhadap kalimat tersebut. Padahal, setiap hari manusia berada dalam dua keadaan ini, adalah keadaan bangun dari tidur, dan tidur dari bangun, kondisi datang hakikatNya adalah Dia yang mendatangkan, dan kondisi berpulang dipulangkan kepadaNya.

Filosofi dari kalimat istirja' dalam uraian dapat dibagi dua. Pertama, innalillahi. Innalillahi bisa dimaknai  dengan makna syariat yaitu sesungguhnya kami berasal dari Allah. Namun secara hakikat dimaknai bahwa segala sesuatu yang datang  pada jati diri seluruh tingkatan alam yang tujuh berasal dari pancaran yang esa, al-Ahad (the one). Ibnu Arabi dan al-Jili, selanjutnya juga Hamzah Fansuri, Abdurrauf as-Sinkili, Samsuddin as-Sumatrani  menyebut tahapan pancaran tersebut dengan meminjam istilah nuriyah (pemancaran) atau emanasi, dari martabat (kedudukan alam) satu sampai martabat alam tujuh.

Singkat kata, tujuh tangga-tangga ketibaan manusia (tanazzuliyah)  semata-mata untuk memudahkan paham,  paham datang (tanazzuliyah) dan paham pulang (tarqiyah). Maksudnya untuk memahami innalillahi adalah jalan datang, mulai dari martabat alam Ahadiyah.

Filosofi kedua dari kalimat istirja' adalah inna ilaihi rajiun yang artinya sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya. Ada kata antara innalillahi dengan ilaihi rajiun, yaitu kata wa, wa yang artinya "dan." Tidak boleh disepelekan kata "wa" yang artinya dan. Sungguh dari kata "wa" inilah penyambung atau penghubung. Dalam kaedah ilmu bahasa, wa dalam kalimat innalillahi (wa) inna ilaihi rajiun adalah wa ma'iyyah yang maknanya bisa diketahui sebagai penyerta. Maksudnya, sebab ada innalillahi pasti akan diikuti dalam waktu yang singkat susulan peristiwa kedua setelah peristiwa pertama. Waktu susulan itu dalam arti kematian sesudah menjalani kehidupan di dunia yang sangat sebentar. Sebentarnya kehidupan ditanda dengan waktu senggang antara adzan dan iqamah (bainal adzan wal iqamah). Masa kehidupan di dunia diibaratkan seseorang yang hidup hanya dikala senja menunggu maghrib ('asyiyya), atau hanya diibaratkan orang yang berada di waktu dhuha saja.  Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq mengatakan bahwa hidup ini tarikan napas yang tidak mampu dihembuskan lagi, lagi menghembuskan napas tetapi tidak dapat ditarik lagi. Jadi hidup manusia hanya berada di antara tarikan "dan" hembusan napas. Betapa pentingnya kata "dan", dia menjadi perantara antara dua dunia, dunia baik "dan" dunia buruk. Tetapi baik belum tentu baik, buruk belum tentu buruk, kajian ma'rifat yang bertugas membahasnya lebih dalam.

Kata "dan" (wa) yang dapat disebut "waw ma'iyah" yang berarti menyertai atau membersamai dua unsur, dapat pula disebut "waw 'athaf" yaitu penyambung, bisa juga bermakna penguatan, bisa juga bermakna sumpah atau "waw qasam." Kedudukan "wa" dalam kalimat istirja' boleh dipahami sebagai "waw ma'iyah" dan "waw 'athaf." Banyak sekali ditemukan kata "wa" dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits serta tulisan dan karangan buku. Misal dalam doa sapu jagad: Rabbana atina fid-dunya hasanah (wa) fil akhirati hasanah (wa) qina adzabannar. Artinya: Tuhan kami, berilah kepada kami di dunia (selalu berada) dalam kebaikan, "dan" berilah kepada kami di akhirat (selalu berada) dalam kebaikan, "dan" jauhkan kami dari siksa neraka.

Dalam firman dicontohkan ucapan istirja' saat menghadapi musibah. Lalu apakah hakikat musibah? Hakikat musibah adalah kebaikan dan keburukan, kedua-duanya dalam firman: "Walanablukum bisy-syarri wal khairi fitnah, wa ilaina turja'un." Artinya: Dan pasti Kami timpakan musibah kepadamu dengan kejahatan dan kebaikan sebagai ujian, dan hanya kepada Kami bahwa semua kalian dikembalikan. Jika dimengerti kata innalillahi (sesungguhnya kami berasal dari Allah) sebagai jalan datang ke bumi, kata "wa" atau "dan" dapat diartikan antara langit dan bumi, lalu  kata inna ilaihi rajiun dapat dimaknai kehidupan di langit. Terdapat tuntutan dari kalimat istirja' yaitu  bermaksud bahwa pengucap diminta oleh "sang pemilik kalimat (al-Malik)" untuk memaknai kalimat ini. Sebab setiap huruf, setiap kata, setiap kalimat, setiap ayat yang kita ucapkan akan menuntut haknya. Termasuk kata-kata yang kita ucapkan sehari-hari dalam pengertian tuntutan hak terhadap hukum yang lima (ahkamul khamsah). Hukum yang lima adalah:

1. Wajib.
2. Haram.
3. Sunnah.
4. Makruh.
5. Mubah.

Dapat pula dimaknai bahwa kata wa-inna-ilaihi rajiun merupakan jalan pulang (tarqiyah). Peta jalan datang adalah sama dengan peta jalan pulang, secara sederhana jalan datang adalah dari Allah kepada Allah, meskipun sederhana tetapi sangat agung.

Demikian pula jalan pulang, pulang kepada Allah setelah   datang dari Allah. Adapun rincian datangnya adalah Allah al-Ahad, Muhammad (Nur Muhammad), Adam (manusia). Dan adapun rincian pulangnya adalah Adam, Muhammad, Allah. Dalam rangka membuka makna kalimat istirja' terdapat empat kategori manusia:

1. Mengenal jalan datang dan mengenal jalan pulang.
2. Mengenal jalan datang, tetapi tidak mengenal jalan pulang.
3. Tidak mengenal jalan datang, tetapi mengenal jalan pulang.
4. Tidak mengenal jalan datang dan tidak mengenal jalan pulang.

Penggolongan manusia ke dalam empat kategori tersebut sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara mereka menyikapi kedatangan dan kepulangan, serta sikap mereka terhadap dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, lahir dan batin.

Jelas, sepenuhnya penulis menyadari untuk para pembaca, bahwa tulisan ini belum tuntas dan belum memberi rasa puas. Tetapi dengan bersama kita akan berupaya terus-menerus belajar dan belajar, sampai saatnya "dipanggil" Tuhan. Masih memerlukan ruang tersendiri untuk mengkaji sebab dan akibat dari penggolongan keempat kategori manusia di atas. Diperlukan perenungan yang mendalam yaitu menggabungkan metode tadzakkur (dzikir), tafakkur (pikir), tadabbur (rasa) berdasarkan wilayah kerja mereka. Kerja-kerja ibadah seperti ini akan memberikan dampak yang luas bagi kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan lahir dan batin, kebahagiaan dunia dan akhirat, ketenangan saat hayat dan ketenangan saat amwat. Semoga tulisan kali ini ikut membersamai dan ikut andil bakti dan khidmat dalam inspirasi (ilham) untuk semua. Insya Allah.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN