KAJIAN JTA 8 - IDULFITRI HARI PENGENALAN DIRI
KAJIAN
JTA 8
IDULFITRI HARI PENGENALAN DIRI
Oleh
Ma'ruf Zahran
Kesadaran bahwa kita akan kembali, itulah makna lain dari
idulfitri, idulfitri yang menarik jiwa kita pada masa awal kejadian
(flashback). Supaya tidak kecewa saat menjalani panggung sandiwara, gurunda
Syekh Usman al-Muqaddas menggambarkan seorang pemain film dengan peran
tokoh utama kebaikan yang memberantas kejahatan, sedang penonton sangat asyik
bahkan menjiwai film tersebut dalam arti "menjagokan anak muda" dalam
jalannya alur penokohan yang sangat dibanggakan penonton, katakan "si buta
dari gua hantu yang sakti," atau "zero" seorang pahlawan tangkas
tanpa terkalahkan, bahkan setiap kali dia melumpuhkan lawannya, dari ujung
pedang yang melukai lawan, dia tulis huruf z. Z artinya lawan terkapar di
tangan zero.
Apabila jiwa pemain sinetron telah masuk ke dalam jiwa penonton
(transfer spiritual), bila jiwa artis sinetron pindah ke jiwa penonton, maka
hilanglah keadaan asli jiwa penonton, keadaan inilah yang disebut oleh guru
kita, Syekh Usman al-Muqaddas dengan sebutan "sejiwa" yang
"menyatu" secara hakikat sampai penonton tersadarkan secara syariat
bahwa dia sedang menonton film. Guru kita telah memudahkan dengan cara
perumpamaan-perumpaan bagaimana "jiwa" bekerja. Bahkan -kata guru- seorang penonton bisa merasa bahagia saat
"anak muda" dalam film itu menang sebagai kemenangan bagi diri
penonton. Artinya penonton telah tersiram rasa menang lalu bahagia.
Sebaliknya, -kata guru- seorang penonton
bisa merasa sedih saat "anak muda" dalam film itu kalah sebagai
kekalahan bagi diri penonton. Artinya penonton telah terhipnotis (terbuai) oleh
rasa kalah lalu marah. Apalagi dalam ending (akhir film) ditayangkan "anak
mudanya mati." Tentu penonton akan sakit hati. Kemudian guru bertanya
kepada penulis, siapakah "anak muda" dalam film yang sedang kita
tonton tadi? Penulis tidak bisa menjawab pertanyaan guru.
Tamsil yang dipaparkan guru
bukan tanpa maksud, kecuali ingin mendekatkan dan memudahkan pemahaman konsep
yang telah beliau ajarkan tentang "sesifat, serasa, sediri." Lalu
beliau memberi jawaban keterangan bahwa "anak muda" itu tiada lain
adalah diri sendiri. Sambil guru menoleh kepada Ryan, "anak muda"
itulah Ryan, lalu menoleh kepada penulis, "anak muda" adalah Ma'ruf.
Betapa guru ingin mengajarkan dengan mudah, bahwa hari ini Ryan sekarang sedang
menonton dirinya dan sadarlah bahwa skenario perjalanan hidup Ryan, sedang
diatur, diputar dan ditayangkan oleh sang sutradara, Dialah al-Wakil.
Berucaplah hasbiyallah wani'mal wakil (cukuplah bagiku bahwa Allah sebagai-baik
yang mengatur). Sebab setiap hari hanyalah Ryan menonton film Ryan sendiri,
tanpa kuasa untuk merubahnya, tanpa untuk mengalihkan dari pandangan mata Ryan
saat melihat Ryan. Melihat Ryan makan, minum, berumah-tangga, belajar-mengajar,
dan Ryan pula yang memandang si Ryan hidup dan si Ryan mati.
Disebalik contoh yang disampaikan guru tadi, capaian rasa bila
manusia telah tidak merasa dirinya berbuat, kecuali digerakkan oleh Allah SWT
al-Jabbar (maha memaksa). Untuk sampai kepada makna adab dari kalimah hauqalah
yaitu lahaula wa quwwata illa billah, dengan bijak guru menyampaikan
perumpamaan-perumpaan.
Inti dari tujuan semua ibadah hati, ibadah gerak, ibadah lisan
adalah kalimah hauqalah yang terdiri dari dua cabang:
1. La
haula illa billah.
2.
La quwwata illa billah.
Makna ma'rifat dari la haula illa billah adalah tidak daya untuk
berniat, untuk berbuat baik dan menghasilkan yang baik kecuali dengan Allah.
Kecuali dengan Allah (illa billah) merupakan sebuah keadaan (hal jamak ahwal)
telah bersama Allah SWT, niscaya lenyaplah Nur Muhammad SAW dalam pelukan dan
dekapan ar-Rahman yang juga semakna dengan lenyapnya diri yang selama ini
mengaku "ada." Padahal 'adam (tiada), 'adam (tiada) adalah lawan dari
wujud (ada). Sang maha wujud hanya Allah SWT yang disaksikan oleh para nabi, malaikat dan wali. Karena semua makhluk adalah asalnya
mati dan hakikatnya mati kecuali dihidupkan Allah SWT, sejatinya hanya Allah
SWT al-Hayat.
Bila taat si hamba sangat perlu kepada bantuanNya, demikian juga
sangat perlu bantuanNya ketika menghindar dari maksiat. Untuk menghindari
maksiat sangat perlu kepada makna ma'rifat dari kalimah la quwwata illa billah.
La quwwata illa billah dalam takwilnya adalah tidak ada kekuatan untuk
meninggalkan maksiat kecuali dengan (kekuatan) Allah SWT, bukan dengan kekuatan
diri sendiri yang lemah.
Setelah mempelajari kalimah hauqalah di atas, apakah sebenarnya
hakikat idulfitri sehingga berhubungan dengan kalimah kebaikan (thayyibah)
tersebut. Terbitnya fajar idulfitri karena dimulai oleh akhir ramadan ketika
hilalnya terbenam menutup usia sembari
menyambut pangkal bulan sawal. Bisa
menunaikan puasa dan meninggalkan larangan dan pantangan puasa berkat lahaula
wala quwwata illa billah, bukan daya diri sendiri, bukan kuasa diri sendiri,
bukan Ma'ruf, tetapi kuasaNya, dayaNya, Dia Allah jalla wa 'ala wa akram. Sungguh
yang merindukan Allah adalah ruh. Sebab ruh inilah yang menggerakkan jasad,
jasad tidak bisa bergerak tanpa ruh. Apalagi saat bulan Ramadan, ruh banyak
diberi nutrisi berupa sajian dan santapan ilmu. Ruh bersenyawa dengan ilmu.
Idealnya, ilmu yang menggerakkan ibadah. Karenanya, carilah ilmu supaya ibadah
menjadi benar pada lingkup bacaan dan gerakan, dan carilah ilmu supaya ibadah
terasa di hati. Tanpa ilmu, niscaya ibadah menjadi jahil, tanpa ilmu, niscaya
ibadah tidak memiliki dampak (atsar) bagi perbaikan akhlak. Tetapi ingat, sifat
ilmu bisa sombong, bila tidak didasarkan atas ilmu Tasawuf yang mendidik hati.
Sebab dasar (pondasi) ilmu pada kecerdasan pikiran, kecerdasan pikiran dapat
menumpulkan perasaan. Untuk mengasah hati yang di dalamnya terdapat bagian
perasaan, adalah Tasawuf yang meluruskan niat, Tasawuf memperhalus budi,
Tasawuf membaguskan adab, Tasawuf menajamkan rasa. Rasa disini termasuk rasa
bertuhan.
Dalam upaya mengenal diri sendiri perlu terus-menerus digerus
dengan ilmu. Maksudnya ilmu datang, kebodohan pergi dalam proses tahalli
(memasukkan ilmu) sekaligus proses takhalli (mengeluarkan kebodohan). Cara ini
mungkin lebih efektif dan cepat daripada metode takhalli-tahalli. Sebab
"innal hasanati yudzhibnassayyi-ati," (sesungguhnya kebaikan akan
menghapus kejahatan).
Idulfitri dapat juga diartikan dengan "pulang kampung"
atau "mudik." Peristiwa mudik mungkin siklus tahunan, sehingga
menguras banyak biaya, perjalanan yang lama dan melelahkan, tetapi secara umum
gerakan rakyat ini menyenangkan. Ada fenomena di mana saat "pulang
kampung" setiap orang dengan mudah bisa memaafkan. Perayaan klosal ini
telah mempertemukan semua kalangan generasi dengan idulfitri. Lalu siapakah
gerangan yang membuat suasana indah tersebut, bila menyebut nama pencetusnya
sudah sejak awal dan akhir diketahui oleh makhluk langit dan bumi. Sang
kekasihNya, sayyidil awwalin-sayyidil akhirin, habibi Muhammad Rasulullah SAW.
Orang-orang yang telah mantap pengenalan terhadap yang mulia maha
guru dari semua guru, tidak lagi terhijab pandangan matanya dari menatap
Rasulullah SAW. Mengapa tidak, terlihat kepada dua belas bulan dalam setahun,
terlihat wajah sayang Rasulullah SAW. Lalu, kemanakah gerangan tempat bagiku
akan bersembunyi?
Dengan demikian dapat dikaji lalu dipahami bahwa idulfitri selain
dapat diibaratkan dengan "pulkam" atau mudik. Mudik istilah pulang
dari kota ke desa, sedang milir adalah istilah pergi dari desa menuju kota.
Dengan meminjam dua istilah tersebut sebenarnya setiap hari adalah perjalanan
dari hulu ke hilir, dari hilir ke hulu, dari darat ke laut, dari laut ke darat.
Banyaknya istilah yang dibuat hanya dalam rangka untuk memudahkan paham. Siklus
kehidupan tetap hilir mudik (tawaf) atau berkeliling memuji Allah SWT.
Terus-menerus berjalan, berbaca, berkaji diri untuk tujuan berbenah
sampai kepada cita-cita tegaknya ismul adzam, Allahuakbar, itulah makna
terdalam idulfitri. Sebuah capaian tertinggi dengan cara menyampaikan tuntutan
kitab diri dan tuntutan kitab suci. Artinya pemenuhan terhadap hak setiap huruf
hijaiyah yang berjumlah 28 huruf, pemenuhan terhadap hak ayat yang berjumlah 6.666 ayat, penunaian
114 surah yang menjadi haknya, dan dari juz I sampai juz XXX adalah juga umat berkewajiban memenuhi
hak-hak kitab suci yang sekaligus juga kitab diri untuk kebahagiaan hidup di
dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat. Tujuannya adalah menghalalkan apa yang
dihalalkan kitab suci, mengharamkan apa yang diharamkannya, menunaikan apa yang
diperintahkan oleh kitabNya, meninggalkan apa yang dilarangnya, demikian kunci
kemenangan, keamanan, dan kelulusan hajat-hajat umat (minal fa-izin, wal
aminin, wal maqbulin). Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar