CAHAYA SEGEDONG 5

 


CAHAYA SEGEDONG 5
MUSYAHADAH

Oleh
Ma’ruf Zahran

Musyahadah dapat diartikan dengan penyaksian. Penyaksian yang melibatkan dua keberadaan diri (eksistensi). Sebagai contoh ketika sayyidi Musa seorang Nabi dan Rasulullah bercakap-cakap dengan Allahuakbar yang masih ditutupi oleh 70.000 hijab. Sayyidi Musa hanya melihat percikan Nur dari Nur Allah pada bukit Tursina. Sedangkan khusus kepada umat Nabi Muhammad SAW sudah Allah SWT buka penutup tersebut dengan 6. 666 ayat (pasal), 114 surah, 30 juz, semuanya menjelaskan dan menerangkan Allahuakbar yang esa. Esa di dalam diri dan esa di luar diri yang pada hakikatnya satu saja, esa saja.

Setiap ayat pasti berisi tanda, tanda-tanda kebesaran dan keagunganNya wajib tersampaikan melihat Allahuakbar. Seperti sayyidina Ibrahim Khalilullah saat mencari Allah dengan tanda-tandaNya pada bintang, bulan dan matahari. Tuhan sebutkan pencarian Ibrahim tersebut dalam surah al-An'am (6) ayat 75-79. Ayat tersebut menggambarkan pergolakan Ibrahim mencari Tuhan dengan media alam. Media alam maksudnya Ibrahim selalu bertanya kepada Tuhan. Adapun ketika malam bersembunyi dengan menampakkan bintang. Ibrahim melihat bintang,  Ibrahim menyatakan "ini Tuhanku," namun bintang terbenam dan hilang lenyap dari pandangan mata, Ibrahim mengatakan "aku tidak senang kepada yang tenggelam," yang tenggelam  pasti bukan Tuhanku.  apakah mungkin bintang Tuhanku, bukan! Sebab Tuhan tidak pernah terbenam. Bulan, Ibrahim melihat bulan yang muncul ketika malam dengan volume yang  lebih besar daripada bintang. Pada tahap melihat bulan lebih besar daripada bintang, banyak tauhid manusia sekarang beralih menjadi syirik.

Maksudnya terdapat kecenderungan manusia awam hari ini bukan menuhankan Tuhan yang sebenarnya, tetapi menuhankan benda-benda langit yang lebih besar dari dirinya. Nabi Ibrahim juga dahulunya seperti itu, saat sebelum ditunjuki hidayah Allah SWT. Dan semua manusia awam karena tidak mau berpikir, apakah kamu tidak berpikir? (afala tatafakkarun). Timbulnya kebodohan (taqlid dan jumud) di  masyarakat awam karena malas memperhatikan, apakah kamu tidak melihat? (afala tubshirun).

Musyahadah sebuah posisi tidak terpandang lagi yang lain. Bukan alam yang menghijab Allah SWT tetapi Allah SWT yang telah menghijab alam. Tampak nyata adalah hanya Dia. "Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi. Dia yang menghidupkan dan Dia yang mematikan, dan Dia yang berkuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dia yang awal, akhir, dzahir, bathin, dan Dia yang mengetahui tiap-tiap sesuatu." (Al-Hadid:2-3). Maksudnya alam semesta ini adalah penyaksian adanya Allah SWT. Setelah tegas, tegak, teguh, lurus hanya ada Dia yang itsbat, hancurlah alam semesta ini (nafi). Teori nafi-itsbat harus setiap detik dilatihkan dalam latihan jasmani berupa meniadakan alam jasmani sebagai latihan jasmani (riyadhah) dan latihan rohani berupa meniadakan alam rohani sebagai latihan rohani (mujahadah). Kedua latihan ini terus diupayakan bahwa yang dipandang dan yang memandang adalah kuasa Allah SWT. Berproses waktu berjalan sesuai dengan hidayah, 'inayah, irsyadah, berkesimpulan esa adaNya. Contoh pertolongan, pertolongan dan segala jenisnya adalah makhluk.  Dia yang menyuruh pertolongan datang, kepada siapa pertolongan menghampiri atas petunjukNya, lalu menang-gemilang yang dicapai atas pertolonganNya. Pertolongan datang dariNya, dengan restu perkenanNya serta kepadaNya kembali pertolongan  (minallah, 'alallah, billah, ilallah).

Jangan menegaskan bahwa pertolongan secara hakikat bersebab dan berakibat. Adalah pertolongan Allah SWT tidak membutuhkan sebab dan tidak membutuhkan akibat. " ... Dia adalah pemimpinmu, maka sesungguhnya Dia sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik penolong." (Al-Haj:78). Jika masih ada dinding (hijab) antara manusia dengan Tuhannya berupa hijab kekayaan, kehartaan, kepangkatan, keturunan, keilmuan dan keberadaan diri, maka belum mampu manusia mensyahadah (menyaksikan Tuhan, Allah SWT dan menyaksikan Rasulullah SAW) dalam syahadatain. Keduanya sangat menyata dan menjelas dalam kesaksian-kesaksian setiap harinya. Bagaimana caranya engkau bisa berbuat dosa sedang Allah dan RasulNya senantiasa menyaksikanmu (muraqabah), Allah dan RasulNya senantiasa engkau saksikan (musyahadah). Musyahadah-muraqabah dua tali yang bertali-temali dalam syahadah, ibadah dan muamalah. Menyaksikan Allah SWT terikut RasulNya dan menyaksikan RasulNya adalah menyaksikan Allah SWT (syahadat tauhid dan syahadat rasul, syahadat rasul dan syahadat tauhid).

Sangat banyak sekali ayat-ayatNya yang memerintah manusia untuk menyaksikan Al-Quran dan hasil ciptaan yang terbentang dalam diri manusia (mikrokosmis) sebagai alam kecil, menyaksikan alam semesta (makrokosmis) sebagai alam besar dan menyaksikan alam rohani (metakosmis) sebagai alam  supranatural dengan pendekatan iman.

Ketiga alam ini hadir dalam kitab suci Al-Quran selama manusia mau merenungi, menelaah dan meneliti. Asalkan pusat renungan, pusat telaah, pusat penelitian tetap berfungi dan berkantor di hati. Hati yang bersih akan memerintah seluruh perangkat raga dan rasa dengan bersih pula, sebaliknya jika hati kotor, maka perintahpun kotor, cacat. Hati laksana panglima bagi prajurit-prajurit tubuh. Tubuh bergerak menunggu perintah hati. Gerakan hati orang-orang yang beriman adalah gerakan iman dan taqwa, getaran hati orang-orang yang beriman adalah getaran iman dan taqwa yang merimbas pada seluruh tubuh, kulit, daging, urat, bulu, air mata, telinga, tangan kaki. Alat sebagai barang bukti (BB) tersebut dihadirkan oleh Allah SWT supaya manusia sadar atas perbuatan selama di dunia. Manusia sebagian ada diampuni dan sebagian ada yang disiksa.

Hati yang terbuka untuk Al-Quran adalah hati yang hidup untuk kesediaan mendengar seruan dakwah. Artinya sangat berpeluang untuk menerima hidayah. Golongan yang menerima Al-Quran adalah mereka yang menjadikan kitab suci termaktub sebagai petunjuk (al-huda) bahwa inilah jalan yang lurus. "Dan mereka yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama dengan mereka yang berbuat kebaikan." (Al-Ankabut:69). Mereka juga mematuhi Al-Quran sebagai pembeda yang haq dan yang bathil (al-furqan). Artinya al-furqan dalam menjelaskan dualisme selalu berhadapan vis a vis eksistensi terang (nur) dan gelap (dzulum), baik dan buruk, benar dan salah, surga dan neraka. Misal, Luqman satu dari 114 surah Al-Quran pada ayat 31 menjelaskan ciri mereka yang sabar dan syukur, sedang ayat 32 menjelaskan ciri mereka yang khianat dan kufur. Dua kondisi yang sangat berlawanan telah banyak dilukiskan Al-Quran.

Golongan kedua adalah sikap penolakan terhadap Al-Quran, sebuah kedustaan yang nyata dan pasti kesesatan yang nyata pula. Mereka yang tidak mau beranjak dari posisi semula (kepercayaan nenek moyang) walau mereka berada dalam kesesatan  yang sangat jauh (fi dhalalin ba'it). Surah Luqman (31) ayat 21 menyatakan: "Dan bila dikatakan kepada mereka: " Ikutilah apa-apa yang diturunkan Allah, mereka mengatakan; (tidak), tetapi kami hanya mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami." Apakah mereka mengikuti seakan syaitan yang menyeru kepada adzab (siksa yang menyala-nyala)."

Musyahadah terbit setiap kali memandang lalu menetap pada bola matanya hanya namaNya yang agung, huw (Dia, Dia, Dia) ungkapan cinta (mahabbah), Allah, Allah, Allah ungkapan kebesaranMu, dari Mu, atas perbuatanMu, tempat kembali (mashir) hanya kepadamu, Allahuakbar. Dari perbuatanMu yang nanti si hamba tidak lagi mampu mengatakan perbuatanMu, sangat agung  (la shaut) tanpa suara. Bukan mata luar yang memandang, tetapi musyahadah mata batin yang merenung, ketika mata terpejam, batin yang tertajam.

Musyahadah (mata hati yang menyaksikan) bahwa bukan api yang menyala dengan sendirinya, tetapi taqdir Allah SWT Al-Qadir yang sedang berlangsung pada api yang membakar.  Demikian pula menyaksikanNya pada materi dan aplikasi sebagai dua dalil sesungguhnya Allah SWT yang maha hayat mengalirkan air dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dia pula yang mengarak siklus awan yang berotasi (tsiqalas-sahab) dan Dia pula yang menurunkan-menjatuhkan air hujan pada negeri yang tandus (ila baladin mayyit). Dia yang memasukkan malam ke dalam siang (yulijullaila fin-nahari), Dia yang memasukkan siang ke dalam malam (yulijun-nahara fil-laili). Sesungguhnya Dia yang maha mengetahui sampai kepada kedalaman isi hati (innahu 'alimun  bidzatish-shudur).

Dia yang maha mengetahui dan hanya Dia saja yang diketahui sebagai hakikat eksistensi, selain Dia hanyalah artikulasi, artificial (polesan). Dia essence (sumber usul/sumber asal) Al-Wajid (the present) haqiqi, selain Dia semuanya hanya majazi (diciptakan, dihadirkan, dikuasakan) secara materi dan non materi, secara langsung dan tidak langsung. Semua materi, metode dan media adalah total milikNya. Bisakah manusia yang pada hakikatnya ketiadaan ('adamiyah) mengklaim dirinya sebagai kebenaran (claims of the truth). Mampu dan tidak mampu manusia mengaku dirinya sendiri pemilik kebaikan (claims of the best owner). Mengaku diri sendiri yang benar telah terjebak pada sifat 'ujub (bangga diri) yang tersembunyi, saat diucapkan sudah menjadi riya'. 'Ujub dan riya' merupakan dua sifat dosa yang bersumber dari hati yang terkotor lagi tercela.

Sifat tercela yang dimaksud adalah takabbur hati yang disebut kibir (merasa besar), sabda Nabi Muhammad SAW: "Tidak akan masuk surga bagi orang yang dihatinya mengandung sifat kibir (sombong) walau sebesar biji sawi." (Hadits Riwayat Muslim). Claims of the big owner (sombong) sama dengan seumpama merampas selendang Allah SWT, "alkibriya' rida-iy," kebesaran-kebesaran adalah selendangKu, barang siapa yang menyandang selendangKu, Aku lempar mereka ke neraka Jahannam.

Hadits Qudsi di atas telah memberi peringatan keras jangan tersinggahkan diri yang kuasa menyembah dan diri yang disembah dan diri yang dimohon pertolongan dari orang lain. Bukan diri yang kuasa dan kehendak menyembah kecuali wajib menyaksikan dan disaksikan sang maha esa (Al-Ahad), sebab Dia esa (wahdaniyyat) bukan berbilang seperti makhluk (ta'addud). Secara haqiqat adalah haqiqat Allah SWT saja. Maksudnya, seluruh enam belas kata ganti (dhamir) harus dikembalikan kepada esa, anta ahad, antuma ahad, antum ahad. Anti-antima-antunna, huwa-huma-hum, hiya-huma-hunna, ana, nahnu semua wajib kembali kepada Al-Ahad (the one, the singular) bukan jamak (partikular).

Seperti pulang begitu juga datang, siklus jalan-jalan pulang dan siklus datang, "wassama-i dzatil hubuk," artinya demi langit yang memiliki lorong-lorong taqdir. Taqdir rezeki, dan di langit rezekimu ditentukan, lewat air hujan sebagai rezeki. Orang-orang yang menolak kebenaran Al-Quran yang terbuka ibarat mereka yang menutup jalan datang dan jangan pulang, bukankah jalan datang dan jalan pulang merupakan milikNya semata (minallah-ilallah).

Terhadap ayat-ayat Allah SWT baik dalam rupa-rupa literasi maupun kreasi yang maha pencipta mereka selalu mendebat, mendustakan, melawan sekalipun berulang-ulang dijelaskan ujaran nasehat secara nyata (sarih) maupun sindiran (kinayah) berupa perumpamaan-perumpamaan (amtsal). Spiritualitas dalam meyakini, memercayai kitab suci Al-Quran atau mengingkari dan mendustai  nya adalah persoalan yang bersifat subjektif. Subjektivitas termasuk dalam ruang lingkup iman dan non iman, muslim atau non muslim. Bila Tuhan memberi hidayah iman tiadalah seseorang akan mendebat Al-Quran, dan tiadalah seseorang mendebat Al-Quran kecuali ketiadaan iman di dalam hatinya. Mendebat (jadal) terhadap Al-Quran walaupun telah berulang kali nasehat diberikan.

Al-Quran yang agung akan menjadi alat debat (debatable) bagi mereka yang tidak beriman. "Dan sungguh telah berulang kali di dalam Al-Quran ini untuk manusia diberi pelajaran berupa perumpamaan-perumpamaan yang banyak. Dan adalah manusia paling banyak persediaan debat. Dan apakah yang menghalangi manusia untuk beriman jika datang kepada mereka petunjuk dan keampuan dari Tuhan mereka, kecuali mereka menginginkan datangnya ketetapan (siksa) Tuhan bagi generasi terdahulu, atau menginginkan segera didatangkan adzab kepada mereka."  (Al-Kahfi:54-55).

Penghalang untuk memahami Al-Quran adalah hati yang mati, telinga yang tersumbat, mata yang buta. Hidup tanpa arahan Al-Quran yang benar adalah hidup yang hanya berada pada sugesti dan imajinasi yang seakan dikira agama, padahal hanya agama palsu (pseudo religion). Visualisasi orang-orang yang terjebak arus pseudo agama telah disebutkan dalam surah Muhammad (47) ayat 24: "Maka tidakkah mereka menghayati Al-Quran, atau hati mereka sudah terkunci."

Penghalang musyahadah (niqab, hijab menyaksikan Allah SWT) adalah dunia materi (kaun, jamak akwan) seperti materi taat, maksiyat, nikmat, musibah. Keempat medan-medan ujian jiwa (mayadinun-nufus) telah membuat manusia terlena dan terpaku bangga menyematkan penghargaan bintang taat pada dirinya, karena taat adalah kebanggaan yang hidup  berdampingan dengan kesombongan. Kehinaan lalu keputus-asaan dari rahmatullah (kasih sayang Allah) lalu semakin terperosok dalam lumpur dosa dan nista dari pelaku  maksiyat, karena sifat dosa adalah kehinaan. Materi ujian nikmat telah banyak membuat manusia mudah lupa dan lalai dari dzikrullah, karena sifat kesenangan adalah melalaikan. Materi ujian musibah adalah kepayahan, kesulitan, kemiskinan yang bersaudara kembar dengan kekufuran. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Kadal faqru ayyakuna kufran," artinya: Hampir-hampir kefakiran mendekatkan kepada kekafiran. Hadits tersebut sangat jelas memberi penjelasan bahwa dengan kemiskinan banyak manusia telah menjadi kafir,  minimal tidak menunaikan perintah Allah SWT dan mengerjakan segala yang dicegah.

Pendinding musyahadah juga adalah diri sendiri yang lari dari seruan Al-Quran (nufura), "Dan sungguh dalam Al-Quran telah Kami jelaskan secara berulang kali (peringatan demi peringatan) agar mereka selalu ingat. Tetapi peringatan itu tidak menambah bagi mereka kecuali semakin jauh berlari (dari kebenaran)." (Al-Isra':41). Dalam surah Al-An'am ayat 4 dan surah Yasin ayat 46: "Dan setiap ayat dari ayat-ayat Tuhan yang sampai kepada mereka, semuanya mereka ingkari." Pengingkaran tersebut dalam bentuk memperolok-olok ayat-ayat Allah, mengingkari nabi, mengingkari hari kebangkitan serta memperolok syariat infaq dengan logika bahwa hanya Tuhan yang menanggung rezeki mereka, kemudian masih perlukah zakat dan infaq disyariatkan? Pendinding musyahadah intinya memandang diri sendiri sudah kuat, hebat berkekuatan dan berkeinginan bebas. Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN