MAKTABAH SIRRIYAH 12
MAKTABAH
SIRRIYAH 12
MA'RIFAT
Oleh
Ma’ruf Zahran
Abdul Hamid Abu Lung (desa Sungai Batang, Martapura, Kalimantan
Selatan) menyatakan ma'rifat dalam kalam: Al-Haibah, Al-Unsu, Al-Haya'. Ketiganya berpusat pada rasa, namun
refleksinya tampak dari perbuatan (adab/akhlak). Walau ada versi lain tentang
upaya membayankan ma'rifat sesuai dengan pengalaman spiritual masing-masing
wali.
Rahasia terkabulnya mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan RasulNya
adalah kunci-kunci Tauhidiyah Ahadiyah yang terbuka sehingga mustajabah doa
adalah dariKu untukKu, sebagaimana yang sudah Aku suruh. Perhatikan redaksi
ayatKu: Ud'u-NIY ... AStajib lakum: Memintalah kepadaKu, pasti Aku
kabulkan ... Mengingat keduanya, Allah
dan Muhammad tidak akan terpisah, menyebut Allah terikut Muhammad, menyebut
Muhammad pasti kehadiran Allah didalamnya. Perspektif Tasawuf tentu berbeda
dengan perspektif non Tasawuf tentang:
- Maula.
- Haibah.
- Unsu.
- Haya'.
Pengertian maula menunjukkan saling melindungi, bukan berarti
hubungan atas-bawah, tetapi kesetaraan dalam keesaan (wahdaniyyat). Hubungan
maula adalah tertinggi dalam pengenalan sehingga memantik sangat berkedekatan.
Bahkan jalinan kedekatan unsur jasmani umpamanya, bayangan sebagai tanda diri
saja sudah dikenal, suaranya, tabiatnya. Dan umpama kedekatan unsur rohani adalah kecocokan dalam
rasa.
A. Maula.
Apa gerangan yang diinginkan maula adalah saling bertolongan. Bila
diyakini al-maula dalam makna batin bertolongan, niscaya kehidupan tidak akan
sulit-melilit, sebab pengertian al-maula adalah kekuatanNya yang mengurai
benang-benang kusut dan kalutnya kehidupan. Jalur al-maula yang bekerja
sehingga al-maula menjadi senang. Kesenangan karena Dia sudah dikenal dengan
Dia. Dua arah perkenalan yang saling berbantuan, walau hakikatnya tetap esa,
yaitu:
- Saling melindungi dan saling dilindungi, bukankah ini sudah hubungan yang tanpa batas dan hubungan yang tanpa kelas. Meskipun keduanya saling menjaga adab, tetapi bukan basa basi. Tumbuhnya rasa untuk sama-sama mengambil peran maula penanggung (kafil) dan maula yang ditanggung (makful) terbit saat dalam keadaan sejahtera, dan dalam keadaan bahaya. Berkat pengenalan kepada mereka berdua, terikut Adam, berkat kecintaan kepada berdua terikut Adam (a'thini mahabbataka wa ma'rifatak).
- Saling memimpin dan dipimpin, saling menolong dan ditolong, saling mewakili dan diwakili, saling memahami dan dipahami. Allah adalah pangkat nama yang Dia berikan kepada nama Muhammad yang terpuji. Rabbi adalah dzat Tuhan yang Dia berikan menjadi sifat Muhammad yang terpuji. Menyebut Allah terikut Muhammad, menyebut Muhammad di dalamnya mengandung nama dan sifat Allah SWT. Disebalik yang wujud (Adam) ada Allah dan ada Muhammad. Adam lebur ke dalam Muhammad, Muhammad lebur ke dalam Adam. Pada kenyataannya, Adam adalah risalah yang menyatakan Muhammad, Muhammad adalah risalah yang menyatakan Allah sebagai jalan pulang. Allah adalah risalah yang menyatakan Muhammad, Muhammad adalah risalah yang menyatakan Adam sebagai jalan datang. Adam sudah menjadi unsur insan kamil yang meyakini Nur Rasulullah SAW. Demikian pula Muhammad bin Abdullah adalah unsur insan kamil yang meyakini Nur Rasulullah SAW. Insan kamil yang terpadu-sempurnakan antara anasir bumi dan anasir langit. Anasir bumi adalah tanah, air, api, angin. Anasir langit adalah membatin: Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu akbar 33x, Lailaha illallah 1x (100x) yang selalu didawamkan. Subhanallah sebagai perwakilan dari iman, Alhamdulilah sebagai perwakilan dari islam, Allahu akbar sebagai perwakilan dari ihsan. Lailahaillah dan astagfirullah sebagai perwakilan dari ilmu. (Muhammad:19).
B. Haibah.
Seterusnya makna haibah adalah kehebatan, kehebatan Allah dan
RasulNya. Kehebatan inipun dalam rangka membantu Adam, terutama Adam yang
mengenalNya (arif) sehingga Adam dikenali (ma'ruf). Pengenalan terhadap
keduanya (Allah-Muhammad, Muhammad-Allah) adalah berhukum fardhu 'ain.
C. Unsu.
Selanjutnya makna al-unsu, al-unsu billah. Unsu artinya bermesraan
sebagai dampak dari pengenalan, pengasihan. Kenapa gerangan bisa bermesraan,
sebab hati telah jinak kepada Allah dan RasulNya. Tidak seperti dahulu, dahulu
hati masih liar kepada Allah dan RasulNya. Hati yang liar karena ketiadaan Nur
Muhammad dan ketiadaan nurun 'ala nurin. Hati yang liar adalah hati yang gelap,
sebagaimana firman Tuhan An-Nur dalam surah Al-Jumu'ah ayat 2: " ... dan
dahulu kamu berada di dalam kesesatan yang nyata." Dalam ayat lain,
sungguh Dia telah berkalam-kalam qudsiyah dan kalam sirriyah kepada siapa yang
Dia kehendaki untuk menerima waridat dariNya: "Berpegang-teguhlah kamu
kepada tali agama Allah, ... dan jangan kamu bercerai-berai ... Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu saat
dahulu kamu bermusuhan, lalu Allah melembutkan hati diantara kamu, .. menjadilah kamu karena rahmat Allah,
saling bersaudara ... Dan adalah dahulu keadaanmu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu
.. Demikian itulah Allah menjelaskan ayat-ayatNya, semoga kamu mendapat
petunjuk." (Ali Imran:103).
D. Haya'.
Al-Haya' secara bahasa artinya malu. Arti malu disini adalah tidak
ingin menyakiti, lebih malu lagi saat
belum dapat membantu, karena kekurangan diri. Makna malu disini tidak sekedar
belum bisa datang menghadiri undangan, tetapi belum dapat memberikan suguhan
jasmani dan rohani karena kelemahan diri. Bila kaji ini dikaitkan dengan
al-haya' (malu) bagi AllahuMuhammad-MuhammaduAllah yang terhimpun dalam huruf
HA ... Adakah agung keduanya memiliki sifat
kekurangan? Adakah mulia keduanya melekat diri yang kehinaan? Adakah kekuatan
yang bisa mengalahkan keduanya yang maha menang (Al-Muta'ali).
Betapa halus nama dan sifatNya Al-Lathif, sejatinya Dia malu tidak
bisa membantu, sedang hakikat maula wajib saling membantu. Saling membantu
bertujuan melepaskan kesulitan, lalu beralih menjadi kemudahan, mengusir
kesakitan, lalu mengundang kesehatan. Kadang
maula berposisi pada yang memimpin, lain waktu maula berposisi sebagai
yang dipimpin. Kadang maula pada kapasitas sebagai yang menolong (nashir), kadang
maula berkapasitas sebagai yang ditolong
(manshur). Posisi tidak mempengaruhi kualitas diri masing-masing yang sudah Dia
Allah SWT tentukan. Allah tetap Allah, Muhammad tetap Muhammad, Adam (insan)
tetap Adam (insan). Melainkan Adam telah lebur ke dalam Muhammad RasulNya,
sehingga Adam menyaksikan perbuatan Muhammad yang telah lebur ke dalam Allah.
Bagi arif billah yang terpandang hanyalah Tuhan dengan Tuhan (musyahadah rabbi
bi rabbi). Memandang Tuhan dengan Tuhan adalah level musyahadah Tauhidiyah Ahadiyah.
Artinya saling melihat, hakikat yang dilihat adalah Muhammad yang melihat
Allah, Allah yang melihat Muhammad. Ma'rifatnya adalah esa (ahad) yang
menyaksikan (syahid), dan yang disaksikan (masyhud) adalah esa musyahadah
ahadiyah. Demikian juga muraqabah atau saling mengawasi guna kesempurnaan
keselamatan (islam) dan guna kesempurnaan keamanan (iman), serta guna
kesempurnaan kebaikan (ihsan).
Musyahadah rabbi bi rabbi, muraqabah rabbi bi rabbi, mahabbah rabbi
bi rabbi adalah tiga dalam kesatuan, sampai ketiga itu menjadi esa, kemudian
yang esa itupun hilang. Sungguh Esa sebaik-baik yang memimpin, esa yang
sebaik-baik mewakili, esa yang sebaik-baik menolong. Dalam dzikir nur yaitu:
- Hasbiyallah ... wa ni'mal maula ... (cukuplah Allah bagiku, Dia sebaik-baik pemimpin).
- Hasbiyallah ... wa ni'mal wakil ... (cukuplah Allah bagiku, Dia sebaik-baik yang mengatur).
- Hasbiyallah ... wa ni'man-nashir ... (cukuplah Allah bagiku, Dia sebaik-baik yang menolong).
Sesempurna-sempurna jalan ma'rifat adalah melalui jalan RasulNya
an-Nabi Muhammad SAW (thariqah nabawiyyah). Thariqah nabawiyyah yang sangat
syar'i akan mengantar kepada jalan Nur
Muhammad SAW (thariqah nuriyah) yang qabul dan maqbul (menerima dan diterima).
Thariqah nur akan menyampaikan kepada Nur Allah SWT sehingga sampai kepada nur
yang tidak terbatas (nurun 'ala nurin). Insan biasa yang mengimani sayyidi nur
dan rabbi nur adalah insan yang berawal dari mati, kemudian dihidupkan,
kemudian dimatikan, kemudian dihidupkan. Proses empat tahap yang berakhir pada
kehidupan sampai tidak akan merasakan kematian lagi (hayata wala mauta). Proses
dari seonggok daging yang bodoh, kemudian diberi pintar, lalu dibodohkan lagi,
sampai akhirNya menjadi pintar tanpa kebodohan ('alim wala jahil). Wallahu
a'lam.
Komentar
Posting Komentar