MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045 - 1
MENYONGSONG INDONESIA EMAS 2045
SELAMAT HUT PGRI: EVALUASI DIRI
Oleh
Ma’ruf Zahran
Rakyat Indonesia sejak dahulu sudah terbiasa dalam habitus
kehidupan berfalsafah gotong- royong. Meski pada masyarakat perkotaan semangat
gotong-royong mulai kendur. Banyak faktor yang melatarinya, disamping kesibukan
yang membuat seseorang terlalu fokus pada dirinya sehingga abai terhadap yang
lain, juga keinginan menjaga privasi dan prestise supaya tidak diretas oleh
publik. Keinginan rasa nyaman inilah yang membuat sebagian orang terlihat
kurang bergaul. Atau mungkin terkandung alasan yang tidak bisa dilacak karena
menjauh dari pergaulan digital dan manual. Untuk alasan yang terakhir ini,
tidak bisa dijelaskan kecuali yang bersangkutan.
Sebagian orang eropa sudah mulai jenuh dengan IT. Mereka ingin
"back to nature" seperti di Finlandia, Venezuela yang tampak pada
pembelajaran dengan buku tulis dan pensil. Indikator lainnya bahwa mereka ingin
hidup dalam kapasitas udara yang sehat, no smoking. Bersepeda dan berjalan
kaki, sehingga mobil dan motor tidak ditemukan disana, sebuah upaya mengurangi
ketergantungan kepada gas alam. Dan harapan hidup menjadi relatif lebih
panjang, disamping menjaga suasana hati untuk selalu gembira, tidak
mengkonsumsi alkohol dan mengurangi penggunaan obat-obat kimia. Intinya
kehidupan mereka enjoy dan happy, tidak ada tekanan (stress) profesi, tekanan
jabatan. Namun budaya saling mengerti dan saling memaafkan sudah menjadi life
style.
Tulisan pengantar di atas mengiringi pembahasan tentang tema
peringatan hari guru tahun ini adalah "Transformasi Guru Wujudkan
Indonesia Maju." Menurut penulis tidak sekedar transformasi dari manual ke
digital, dari pola agraris ke industri. Sebab pendekatan pendidikan bukan
berorientasi profitable sebuah perusahaan, namun investasi manusia seutuhnya
yang tidak memakai target dan tengat waktu (life long education). Artinya
pembicaraan pendidikan perlu ruang
khusus yang diikuti oleh perhatian serius.
Tidak jarang hari ini guru diistilahkan seperti manajemen tukang
sate. Dia yang mencari bahan dari daging mentah, pelepah kelapa untuk diambil
lidinya, kacang tanah sehingga menjadi bumbu, mencari beras sampai menjadi
lontong, dia pula yang memasak, menjual dan menyajikan, bahkan tidak jarang dia
pula yang mencuci. Kasihan mengamati profesi guru hari ini, sebuah kerja administratif.
Sementara besok pagi dia wajib beralih status sebagai guru yang profesional.
Apakah mengajar tidak memerlukan energi? Kerja guru adalah kerja otak, bukan
kerja fisik. Namun kenyataan di lapangan, guru sudah sangat lelah karena
mengajar 42 jam, sebab kekurangan jumlah guru. Masih ditambah lagi dengan kerja
aplikasi yang menuntut menyesuaikan dengan templet yang tersedia di laman.
Tidak dapat disalahkan karena permintaan laporan administrasi yang
harus selalu ter-up date setiap hari. Berakibat terkadang inovasi pembelajaran
di dalam kelas menjadi tumpul. Dampak ikutannya adalah pembelajaran tidak
bergairah, ibarat sayur tanpa garam. Hambar, guru yang semestinya mengajar
telah disibukkan oleh tugas kantor dan laporan. Sementara siswa yang semestinya
belajar telah disibukkan oleh tugas rumah dan laporan. Sehingga ilmu
pengetahuan yang tadi diterima di sekolah tidak sempat jeda untuk mengalami
masa "endapan" memori. Jadilah anak-anak "bongkok sebelum masanya." Anak-anak yang sudah
kehilangan elan vital sebagai insan pembelajar, karena ambisi dan ekspektasi
sekolah dan orang tua, masyarakat pengampu kepentingan dan masyarakat pengguna
alumni. Terlalu berat tagihan dan tanggungan beban belajar, sehingga yang
menjadi korban adalah anak-anak kecil kita yang belum sempat bertunas, ibarat
layu sebelum berkembang, kuncup sebelum tumbuh.
Ulang tahun guru kini sangat perlu mendaur kembali tatanan
pendidikan kita dalam sequences materi dan sequences waktu. Evaluasi diri dari
tahun ke tahun mutlak diterapkan, bukan saja dari metode dan media, melainkan
juga evaluasi guru sebagai mitra belajar siswa. Mendesak untuk disadari bahwa
pembelajaran tidak saling berlomba, sebab hakikat pembelajaran bukan perlombaan
(olimpiade).
Memahami literasi ini bukan berarti guru tidak boleh memaksa siswa
untuk disiplin, melainkan harus dijelaskan kebaikan yang dikandung oleh
penegakan disiplin dan keburukan yang disimpan dari pelanggaran disiplin.
Dampak kebaikan disiplin yang menjadi nilai pembelajaran jangka pendek,
menengah dan panjang. Demikian pula keburukan dari sikap abai pada disiplin
secara langsung dan tidak langsung akan merugikan seseorang. Sebab manusia
cenderung berkali-kali melakukan sesuatu bila dipandang dan dirasakan mampu
memberi manfaat. Proses pembelajaran inilah yang dimaksud the meaning full,
pembelajaran berkesadaran penuh.
Sebab tuntutan kurikulum merdeka tidak sekedar menghapal lalu
mengucapkan, melainkan juga dituntut melakukan refleksi dalam bentuk berpikir
kritis, inovatif, kreatif, kolaboratif, komunikatif, literasi informasi serta
moderasi beragama. Pengharapan hadirnya lingkungan generasi emas 25 tahun
kedepan adalah mereka yang mampu bekerjasama dalam tim. Persyaratannya adalah
mesti terdapat kesepakatan bahwa guru dan siswa merupakan mitra bagi jaringan
komunitas belajar (learning community) dengan meminjam istilah empat pilar
dalam proses pembelajaran diantaranya learning to live together (belajar hidup
bersama). Pilar ini yang hemat penulis sulit diterapkan untuk siswa, bukan
berarti tidak bisa. Namun perlu waktu kesabaran, salah satu upaya pemantik
adalah dengan belajar kelompok.
Penilaian authentic pada skala belajar kelompok disarankan bahwa
guru jangan hanya sekedar menilai hasil, tetapi juga proses. Pembelajaran
kelompok telah jamak mengusung nilai-nilai karakter bangsa. Peduli, kerjasama,
toleran, gemar membaca, berani, bertanggungjawab adalah bentuk dukungan pola
belajar kelompok. Sebab, ruh dari belajar kelompok tidak bisa diwakili oleh
media digital internet (ICT). Kecuali wajib face to face, learn to learn.
Artinya jika ingin merasakan bagaimana rasanya berdiskusi tidak bisa lewat
vicon, sebab suara, mimik, intonasi, ekspresi tidak bisa diwakili oleh alat.
Kalau-pun bisa, menjadi sangat terbatas. Orang bijak mengatakan, jika ingin
merasakan lumpur jangan berteori, terjunkan diri ke dalam lumpur. Bila ingin
merasakan kelaparan orang-orang miskin, berpuasalah! Bila ingin tahu jeritan hati seorang ayah,
jadilah ayah bagi anak-anakmu! Bila ingin merasakan perhatian seorang ibu,
jadilah ibu dari anak-anak! Inilah
kurang lebih yang diharapkan dari penerapan kurikulum merdeka sebagai evaluasi
guru, oleh-oleh berupa introspeksi dan ucapan selamat memperingati Hari Guru
Nasional dan HUT ke-78 tahun untuk PGRI, jaya guru Indonesia.
Komentar
Posting Komentar