PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA
Oleh
Ma’ruf Zahran
MENYIKAPI banyaknya kasus gugat cerai dari istri terhadap suami,
rasanya mustahil bila kita saksikan pesta pernikahan yang meriah. Kondisi yang
bertolak-belakang seakan hati tidak memercayai-nya, mengingat ikrar janji setia
sehidup-semati di hadapan penghulu seusai akad nikah. Bertukar cincin,
berpeluk-mesra, sungkeman kepada kedua orang tua mempelai, alunan merdu ayat
suci Al-Quran, sampai mega selawat, doa dipanjatkan sembari air cucur mawar
disiram. Tidak ketinggalan orkes melayu dengan orgen tunggal berpadu biduan
dengan suara yang menawan.
Namun seketika, kebahagiaan tersebut sirna, setelah tiga bulan
berselang. Penyebabnya, kedua pengantin baru yang dahulu dirayakan, sekarang
tersiar kabar akan bercerai. Ironis lagi miris pondasi keluarga yang harus
sabar, syukur, rida. Pondasi binaan normatif terkadang hanyut terbawa arus
besar materialisme dan hedonisme.
Kedua pengaruh tersebut wajib diblokir ibarat cendawan (benalu)
perusak tumbuhan (parasit). Jangan sampai problema keluarga diusung ke
Pengadilan Agama (PA) untuk bercerai, sudah terlalu banyak kasus perceraian.
Langkah awal angkat kedua hakim dari pihak laki-laki dan perempuan sebagai
penengah (baca: An-Nisa': 35). Bukan-kah pegangan terakhir adalah Allah yang
maha kasih, Muhammad sang nabi pengasih sebagai pertimbangan untuk tidak
bercerai-berai, baik dalam keluarga kecil maupun dalam keluarga besar.
Maksud keluarga kecil terdiri dari ayah, bunda dan anak (keluarga
inti). Adapun keluarga besar atas sebab keturunan, pernikahan dan susuan
(radha'ah). Lingkupnya meliputi datuk, kakek, nenek, ayah, bunda, anak dan
cucu, serta zuriat yang Tuhan janjikan surga (jannah). Dengan nota, selama
mereka mematuhi Allah dan Rasul-Nya, Dia yang maha membayar kontan dengan
kebahagiaan, segera Dia tebus dengan garansi ampunan dan surga Aden.
Di dunia, multi termaktub dalam kitab suci memperbincangkan tentang
keluarga yang tersambung dalam pendidikan akhlak melalui suruhan: " ...
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta. Dan
hubungkanlah rahim (ikatan kasih-sayang)! Dan Allah selalu mengawasi-mu".
(An-Nisa': 1).
Di akhirat, multi tercatat dalam kitab suci pendidikan akhlak dalam
keluarga yang berkesinambungan (sustainable) dari dunia, auto ke akhirat:
"Dan orang-orang yang beriman, bersama anak cucu mereka yang mengikuti
mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di
surga). Dan Kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal kebaikan mereka.
Setiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakan-nya". (At-Tur: 21).
Paparan ayat 22-25 adalah gambaran kenikmatan surga yang Tuhan
anugerahkan kepada keluarga taat. Sedang ayat 26-28 adalah bukti iman dan amal
mereka selama di dunia dahulu: "Mereka berkata: sesungguhnya kami dahulu,
sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, kami merasa takut (kepada
Allah). Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari
siksa-Nya yang panas. Sesungguhnya kami menyembah-Nya sejak dahulu kala. Dialah
(Allah) yang maha melimpahkan kebaikan, maha mencurahkan kasih-sayang".
Kondisi membujang berbeda setelah berlisensi suami-istri. Teorinya,
kedua pasangan yang hakikatnya satu, sejak akad-nikah sudah terikat dengan hak
dan kewajiban. Kewajiban suami menjadi hak istri, kewajiban istri menjadi hak
suami. Lalu, bersama-sama memanggul kewajiban dan hak pada saat mengasuh,
merawat, mendidik anak. Wilayah syariat yang wajib dipatuhi, supaya berjalan
sepadan.
Sepadan dengan pernyataan teologis (baca: An-Nisa': 34) bahwa Tuhan
sudah mengatur posisi laki-laki sebagai pelindung, pemimpin bagi perempuan.
Reasons kepemimpinan tersebut karena Tuhan menjadikan laki-laki (suami)
menafkahi perempuan (ibu, saudara perempuan, istri dan anak perempuan), "wabima anfaqu". Tanpa menyanggah
bahwa suami-istri memiliki keutamaan masing-masing.
Dalam praktiknya, laki-laki (suami) bukan saja wajib memberi nafkah
lahir dan batin kepada istri, juga pemberian nafkah tersebut harus dengan cara
yang ma'ruf. Sebab, perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada
sedekah (nafkah) tetapi menyakiti hati bagi yang menerima (baca Al-Baqarah:
263). Namun nafkah yang ber-kriteria surga, akan Tuhan lipat-gandakan
kebaikannya (baca: Al-Baqarah: 261-262).
Inti kajian, dasar keluarga adalah cinta, kasih, sayang dan
ketenangan yang akan menginspirasi banyak hikmah. Pemantik rasa cinta adalah
kasih, pemantik kasih adalah sayang, pemantik sayang adalah ketenangan
(sakinah). Komplit istilah tersebut, Tuhan berkalam pada surah Ar-Rum: 21,
demikian firman-Nya: "Dan diantara tanda-tanda kebesaran Allah adalah Dia
menciptakan pasangan untuk-mu, dari jenis-mu sendiri. Agar kamu cenderung
merasa tenteram dengan-nya. Dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan rasa
sayang. Sungguh yang demikian itu, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir ". Maha benar Allah yang maha mulia dengan segala
kalam-Nya.
Komentar
Posting Komentar