POSISI GURU MENGHADAPI GLOBALISASI
POSISI GURU MENGHADAPI GLOBALISASI
Oleh
Ma’ruf Zahran
Sabran
Hari ini banyak para ibu yang lupa memperkenalkan Allah kepada
anaknya, karena kesibukan. Hari ini tidak sedikit para ayah yang lalai
memperkenalkan Rasulullah kepada anaknya. Rumah yang ketiadaan salam selawat,
rumah tersebut dirasuki ego pribadi walau dia ahli taat. Sebab hanya Rasulullah
SAW yang mengajarkan tawadu' (rendah hati), sedang Iblis mengajarkan takabbur
(tinggi hati). Lembaga PAUD dan TK kadang lupa membiasakan basmalah ketika
membuka kegiatan. Dan kadang lupa membiasakan hamdalah ketika menutup kegiatan.
Habitus keagamaan wajib digaungkan guna pembiasaan sebagai upaya
penumbuhan karakter syukur, sabar, tawakal. Saat hari ini, ilmu pengetahuan dan
teknologi informasi telah meraih puncak. Guru dan dosen tidak perlu lagi
mengajarkan materi, sebab telah banyak ditemukan jurnal online, buku online,
guru online, dokter online, farmasi online, semua berbasis digital. Jika
demikian, apakah tugas guru berhenti? Tidak!
Mungkin buku bisa usang, namun kitab suci tidak pernah usang. Isi
kitab suci adalah petunjuk, baru sekedar lima persen (5℅) kebenaran Al-Quran
yang mampu diungkap manusia. Masih terdapat 95℅ misteri laksana hutan belantara
yang siap dijelajahi.
Lalu, apakah yang harus diajarkan guru, ketika google telah mampu
menjawab semuanya? Tersingkap bahwa google hanya sebatas pengetahuan (C1) atau
ranah kognitif level 1. Masih ada 5 level yang wajib diajarkan guru, yaitu
pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5), evaluasi (C6).
Guru, profesi mulia dikarenakan guru mengajarkan proses bukan
menyediakan hasil. Proses harus benar, sebab dalam proses itulah terdapat
pembangunan karakter peserta didik. Pembangunan karakter tidak bisa digantikan
oleh digitalisasi informasi. Sehebat apapun digitalisasi edukasi tetap dia
adalah mesin yang berfungi sebagai alat. Alat berbeda dengan tujuan. Namun alat
akan membantu pencapaian tujuan. Alat boleh berganti seiring kemajuan dan
penemuan baru hasil penelitian, sedang tujuan tetap, misal negara bertujuan
menciptakan masyarakat adil dan makmur (MAM). Alat atau caranya boleh
bermacam-macam. Demikian juga pendidikan, pembelajaran online atau offline, di
ruang kelas atau di luar kelas, 101 strategi, 101 metode dan teknik
pembelajaran, semua masih dalam kerangka alat (media) pembelajaran untuk
memudahkan pesan.
Pesan itu sendiri bukan tujuan pendidikan. Pesan adalah materi
pembelajaran. Apa yang diajarkan guru bukan pesan, tetapi memahamkan kepada
siswa tentang isi pesan. Nah, pemahaman terhadap pesan baru ditingkat cognitive
dua (C2). C2 masih digolongkan kepada kognisi pada kelas rendah. Tugas guru
kemudian memahamkan isi materi guna menuju pada jenjang penerapan (cognitive
tiga). Masih ada tiga level capaian kompetensi, yaitu analisa (cognitive
empat), sintesa (cognitive lima), dan evaluasi (cognitive enam). Keenam level,
sebatas capaian kognisi, masih ada dua ranah lagi yang akan dicapai yaitu
afeksi dan psikomotor.
Jangan sampai terjebak dalam mendiskusikan cara, alat, media, namun
melupakan esensi yang berupa tujuan. Setumpuk materi pelajaran tidak berguna
apabila guru tidak memberikan kunci bagaimana cara, teknik memahami materi
sehingga mudah dipahami. Teknik belajar bercorak individual. Artinya setiap
siswa memiliki gaya belajar yang berbeda. Perbedaan ini yang wajib dipahami
guru, disamping perbedaan latar belakang keluarga dan perbedaan lainnya.
Proses inilah yang harus disabari oleh guru. Penjenjangan sekolah
tidak lain kecuali dalam rangka menghormati tugas dan irama perkembangan siswa.
Sebab usia siswa sejalan dengan pengalaman belajar yang dilaluinya. Contoh,
bila kapasitas otak dalam belajar siswa memuat tujuh ton, jangan diberi jatah
delapan ton. Ibarat kapal, selain over capacity, kapal juga akan tenggelam.
Malpraktek pendidikan akan berbahaya pada susunan sistem saraf otak siswa.
Beban belajar yang tidak manusiawi, akan menyisakan siswa yang tidak bahagia di
penghujung hidupnya. Sebuah keharusan, pembelajaran yang dirancang dan
diterapkan berbasis kebutuhan siswa, bukan berbasis kebutuhan guru atau
tuntutan kurikulum. Sebenarnya, Wardiman Joyo Negoro (mantan menteri
pendidikan) telah menggagas konsep link and match.
Gagasan belajar mandiri diantaranya berupa penawaran mata pelajaran
berbasis peminatan atau mata pelajaran pilihan. Di negara yang maju pendidikan
dan ramah anak seperti Finlandia, mata pelajaran pilihan-peminatan lebih banyak
ditawarkan daripada mata pelajaran paket.
Berlanjut studi di perguruan tinggi (PT), jenjang S1 (strata satu)
pada negara maju, hanya menawarkan 42 SKS. Bandingkan dengan negara yang sedang
berkembang dengan beban belajar 150 SKS pada jenjang strata satu. Fakta
akademik yang menunjukkan banyak mata kuliah yang tumpang-tindih. Belum lagi
mata kuliah KKL yang memakan waktu satu semester, dan magang satu semester.
Bahkan penelitian skripsi yang memakan waktu satu semester. Bukan satu semester
yang dipandang, melainkan pemborosan waktu, tenaga, biaya, umur, dan kesempatan
peluang kerja, menikah, membentuk rumah tangga, serta menjadi warganegara yang
dapat menyumbangkan ilmunya.
Habis waktu di bangku sekolah dan kuliah. Akhirnya, memasuki usia
40 tahun sudah mulai lemah. Usia 50 tahun mengalami gejala penyakit karena
stamina tubuh menurun. Usia 60 atau usia 70 tahun, sudah tidak mampu lagi
beraktivitas.
Demikian evaluasi diri sebagai guru di tengah deras arus
globalisasi yang semakin membuat siswa cerdas. Guru dituntut untuk memahami
generasi z yang setiap hari berselancar dengan media digital. Tugas guru adalah
membaguskan adab mereka. Dan adab lebih dari sekedar karakter. Adab lebih
penting dari kata-kata. Adab jati diri siswa yang membuat dia sukses di dunia
dan di akhirat. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar