TRADISI NUSANTARA SEPUTAR RAMADAN
TRADISI NUSANTARA SEPUTAR RAMADAN
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
BAGI mereka yang akan meraih kemenangan Ramadan tahun ini (1445
Hijriah) dengan anugerah malam kemuliaan yang didapat. Karamah yang melebihi
kebaikan daripada seribu (1.000) bulan dalam kehidupan hasanah, dan kematian
husnul khatimah. Sesungguhnya sudah Allah Al-Karim berikan pada-nya keberkahan
bulan Syakban sebagai bulan pembukaan dan penyambutan Ramadan suci. Apakah
tandanya? Kemudahan baginya untuk membaca selawat kepada Rasul Allah (Muhammad)
minimal seribu (1.000) salam sembari selawat yang beriring kerinduan, kecintaan
kepada Rasul Muhammad, habibullah. Namun bukan karena bilangan seribu kali,
lebih karena ingin berjumpa kekasih Allah, berharap syafaat baginda, bertemu
Rasul di sisi telaga Al-Kausar dan meminum air jernih-nya. Meminum air dari
sumber telaga beliau, melalui tangan beliau sendiri, tangan suci, baik nan
mulia, sang kekasih sejati pilihan Allah (mukhtarullah). Sebelumnya, diri umat junjungan akan diwafatkan dalam dekapan
dan pangkuan lembut Rasul yang dirindu.
Khas Nusantara, terdengar lembut salam dan selawat dari masjid dan
surau. Tarhim yang sejak tahun 1950, suara legendaris H. Muhammad Dong. Vokal
yang menghiasi RRI dan TVRI menemani, sebagai sahabat di udara (on air), pertanda akan semakin
dekat waktu berbuka puasa. Tinggal menghitung hari, menunggu-mu Ramadan suci.
Umat manusia sedunia tergadai waktu, menanti-mu Ramadan mulia. Bukan sebab
bulannya, tetapi Tuhan telah menyanjung-mu, Ramadan.
Kearifan lokal (local wisdom) para leluhur kita dahulu, mereka
sudah mempersiapkan logistik untuk sebulan bahkan dua bulan yang akan datang
(Ramadan, Syawal). Bertujuan untuk menempuh hari-hari puasa, mereka tidak
disibukan oleh urusan dunia. Rajab dan Syakban telah mereka persiapkan beberapa
kilo gula pasir, untuk keperluan secukupnya, Ramadan. Begitu pula gula merah,
minyak tanah, minyak kelapa, kayu bakar, beras,
dan sebagainya. Begitu start Ramadan, mereka sudah siap. Sudah siap
dalam arti menjalani puasa Ramadan secara penuh, tarawih secara penuh, dan
khatamul Quran beserta kajian. Sehingga dalam sebulan Ramadan, para leluhur
beriman bisa mengkhatamkan Al-Quran
sebanyak 15 kali dalam sebulan Ramadan.
Perencanaan dan persiapan matang yang mereka buat, sehingga mereka
tidak terlalu pusing untuk persoalan "dapur Ramadan". Namun para
leluhur beriman merasa merugi apabila terlewat satu detik Ramadan tanpa zikir.
Dampak spiritual adalah mereka merasa "enjoy" menjalani hidup dengan
hidayah Allah, bukan ego diri yang tampak seperti 'alim tetapi kosong dari
ilmu. Mereka menjalani kehidupan secara sederhana, bersahaja. Ternyata, Rajab
dan Syakban telah mendidik mereka untuk memformulasi Ramadan sebagai bulan spiritual.
Para leluhur kaum beriman adalah mereka yang telah berhasil
menundukkan dunia, bukan dunia yang menundukkan mereka. Mereka yang mengalahkan
dunia, bukan dunia yang mengalahkan mereka. Kemerdekaan yang disebabkan mereka
dekat bahkan menjadi sahabat Al-Quran. Kemenangan dalam memerintah dunia, bukan
dunia yang memerintah mereka, sebab mereka akrab dan rekat dengan Rasulullah.
Buah kedamaian hati saat salam selawat tersampaikan kepada junjungan.
Kekhasan ini yang tidak dimiliki oleh negara-negara muslim lainnya.
Budaya pawai obor menyambut Ramadan, walau telah banyak listrik dengan cahaya
warna-warni. Namun bukan sekedar obornya, lalu apa yang ingin diterangi?
Bukan simbol yang dilihat, tetapi makna apa yang tersimpan dibalik
simbol? Obor ingin menerangi siapa dan ingin membakar siapa? Kegiatan menyambut
Ramadan dengan puasa, bermain kata ibarat, puasa laksana obor yang membakar
Iblis, dan obor pula digunakan untuk menerangi hati yang gelap.
Tradisi Nusantara yang lain adalah membuat kue pasung, terutama
selikuran. Hitungan selikuran mulai tanggal 21 sampai 30 Ramadan. Bermakna
Iblis dan persekutuan syaitan dibelenggu. Kue pasung memang marak dijual pada
warung-warung Ramadan, untuk santapan berbuka puasa. Disamping rasanya yang
manis juga lembut, karena terbuat dari tepung dan gula merah. Malah aneka jenis
kue disuguhkan dari yang tradisional seperti kue puteri mandi, dadar gulung,
kusui pisang, bubur catuk, bubur ayak, serabi, nagasari, bingke keladi, putu
mayang, kue talam, dodol peranggi, tapai menaun, dan kue khas Nusantara
lainnya. Bahkan kue modern-pun tak ketinggalan untuk muncul memeriahkan
Ramadan.
Sedang dari segi pangan bisa dilihat dari juadah nasi bakar, nasi
lemak dengan ayam panggang beserta cacapan cabe rawit dan kecap manis. Bahkan
muncul pula hidangan botok ikan tongkol, cencalo dan tempoyak. Aneka sayur
seperti gulai asam, asam pedas ikan kakap, pajeri terong, sampai semor ayam.
Festival makanan rakyat yang lounching dalam event Ramadan setahun sekali.
Semua rakyat Indonesia merasakan kegembiraan.
Minuman juga tidak mau ketinggalan, dari es parut, es buah, es
cendol, sampai es kelapa. Hadir pula kurma dari mancanegara, kurma Mekah, kurma
Madinah, kurma Palestina, kurma Mesir, sampai kurma Afrika. Sungguh, denyut Ramadan sangat kita rasakan
semarak, semeriah, seindah di Indonesia, belum ada di tempat lain. Marhaban ya
Ramadan.
Komentar
Posting Komentar