BERSAMA ALLAH DAN RASULNYA
BERSAMA ALLAH DAN RASULNYA
Oleh
Ma’ruf
Zahran Sabran
Manusia yang merasa mampu berlepas diri dari Allah merupakan awal
dari kekalahan, kekalahan jasmani dan rohani. Lepas dari Allah dalam arti
perjalanan kehidupan seseorang dibiarkan Allah, ibarat kapal kehilangan kemudi,
ibarat layang-layang putus talinya. Keadaan yang paling ditakuti oleh kaum
beriman. Pembiaran dari-Nya meniscayakan kehidupan dunia menjadi nista, dan
kehidupan akhirat menjadi derita. Namun, bila nista di dunia, masih ada harapan
mulia. Bila nista di akhirat, nista selamanya. Bila sakit di dunia, masih bisa
meminta tolong. Bagaimana kalau sakit di akhirat? Ketika semua orang sibuk
dengan dirinya masing-masing. Saling menjauh bukan mendekat. Seorang ayah lari
dari anaknya, seorang suami menjauh dari istrinya, seorang pemimpin bersembunyi
dari rakyatnya. Saudara berpisah dengan saudaranya, sahabat berpencar dari
sahabatnya.
Ibadah puasa yang dikerjakan bersama Allah (ma'allah), pasti ibadah
tersebut tidak akan pernah rusak. Jaminan berada dalam ridha-Nya, ternyata
berkekuatan. Sebab tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah (la quwwata illa
billah). Sejarah peristiwa hijrah dari Mekah ke Yatsrib (Madinah), membuktikan
bahwa bersama Allah pasti menang. Fakta ini banyak dilansir dari kehidupan
orang-orang saleh. Contoh, rasul bersama sahabat Abu Bakar mendapat penenangan
jiwa dari Tuhan: la takhaf wala tahzan, innallaha ma'ana (jangan takut, dan
jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita). Segera Tuhan turunkan
mukjizat di gua Tsur. Mukjizat di gua Tsur berupa sarang laba-laba yang
menutupi mulut gua. Kemudian terdapat burung dara yang sedang bertelur, tumbuh
pohon kurma di tengah mulut gua, serta jalan tembus ke belakang gua yang
sebelumnya tidak ada. Muhammad Husein Haikal dalam kitab Hayatu Muhammad
menyebut peristiwa di depan mulut gua Tsur adalah mukjizat setelah Alquran dan
peristiwa Isra' Mi'raj.
Berpuasa Ramadan bersama Allah artinya bersamaan saat puasa Ramadan
pada tanggal 17 tahun ke-2 Hijriah. Perang, perang Badar merupakan pertama
dalam Islam dan faktor penentu hidup atau matinya perkembangan agama Tuhan.
Alquran menyebut: yaumal furqan yaumal taqal jam 'an (hari pembeda, hari
bertemu dua pasukan perang). Peringatan Nuzulul Quran saat kaum muslimin yang
berada dibawah kepemimpinan (komando) Rasulullah SAW melawan musuh. Saat
berpuasa yang menahan lapar dan haus, hampir kaum muslimin kalah. Rasulullah
SAW yang ketika itu kewalahan menghadapi musuh. Rasio 300 muslimin yang
sederhana (nota bene rakyat Madinah) berhadapan dengan 1.000 tentara musuh
dengan alutsista lengkap (300:1.000). Di tengah berkecamuk perang yang tidak
seimbang dari jumlah personel, alutsista, dan logistik perang, Rasulullah SAW
menadah tangan ke langit: Ya Rabb, jika kami kalah pada hari ini, "innaka
lan tu'bad abada," (sesungguhnya tidak akan ada lagi orang yang
menyembah-Mu selamanya).
Apapun peristiwa yang ditempuh, ketika sudah bersama Tuhan dan
Rasul-Nya pasti menang, walau secara kasat mata kalah. Tes semacam ini pernah
terjadi di Madinah dalam kasus pembagian harta rampasan perang (ghanimah) usai
perang Badar (Ramadan, 2 Hijriah). Sehingga dalam Badar, Tuhan menolong
Muhammad. "Bukan kamu yang melempar (Muhammad), ketika kamu melempar. Dan
melainkan Allah yang melempar." (Al-Anfal:17).
Sahabat pada masa Rasulullah SAW secara garis besar terdiri atas
dua. Sahabat Muhajirin dan sahabat Ansar. Keduanya sebagai ahlul Badar,
peperangan yang dimenangkan umat Islam. Saking mulianya mereka, 300 ahlul Badar
dijamin masuk surga tanpa hisab. Artinya, tidak mungkin mereka melakukan dosa
besar, dan mereka telah diampuni Tuhan sebelum mereka wafat. Mereka rida kepada
Allah, dan Allah rida kepada mereka. Demikian balasan bagi orang-orang yang
takut kepada Tuhan-nya.
Dalam sejarah, tema ghanimah yang menjadi konflik sahabat Muhajirin
dan sahabat Ansar, adalah kaum Muhajirin mendapat seluruh harta rampasan perang
Badar, sedang kaum Ansar tidak mendapatkannya. Kondisi ini memicu kemarahan
dikalangan kaum Ansar. Sebab Rasulullah SAW yang membagikan atas perintah
Tuhan, maka Rasulullah SAW menjadi tumpahan kemarahan sebagian kaum Ansar.
Rasulullah SAW menengahi dan melerai kondisi yang tidak
menyenangkan bagi kalangan sahabat. Rasulullah SAW yang berasal dari kaum
Muhajirin (Mekah) berhijrah, menemui kaum Ansar (Madinah). "Aku datang
kepada kalian wahai sahabat Ansar, meninggalkan tanah kelahiran-ku,
meninggalkan ladang dan kebun kurma, meninggalkan hewan ternak, demi
menyelamatkan permusuhan kalian sejak lama (suku 'Aus dan Khazraj). Lalu, aku
membawa ajaran Tuhan kepada kalian. Dan, aku sekarang telah berada di
tengah-tengah kalian wahai sahabat Ansar. Aku tidak akan kembali lagi ke Mekah,
kecuali sebagai tamu yang bermalam. Sekiranya kaum Muhajirin pulang ke rumah
mereka masing-masing, dengan membawa harta rampasan perang, berupa emas, perak,
kuda, unta, keledai. Sedang kalian pulang bersama dengan Rasul kalian. Sungguh
kaum Ansar adalah saudara-ku di dunia dan di akhirat. Di bumi Madinah ini kita
berjuang, bumi Madinah tempat jenazah-ku terkubur. Dan bumi Madinah adalah
sebaik-baik bumi di dunia."
Jika sudah bersama Allah dan Rasul-Nya di dunia, di akhirat lebih
bersama lagi. Bila di sini sudah mengenal Allah dan Rasul-Nya, di sana akan
lebih kenal. "Dan jika hamba-Ku bertanya kepada-mu tentang Aku. Maka
sungguh Aku dekat. Aku mengabulkan doa apabila mereka berdoa. Hendaklah mereka
memenuhi seruan-Ku dengan dasar beriman kepada-Ku. Semoga mereka mendapat
bimbingan." (Al-Baqarah:186). Pasti kemenangan berada di pihak orang-orang
beriman yang rendah hati. "Itu adalah negeri akhirat, untuk orang-orang yang
tidak menyombongkan diri, dan tidak merusak bumi. Kesudahan yang baik adalah
milik orang-orang yang bertakwa." (Al-Qasas:83).
Hakikat bersama Allah SWT dan Rasulullah SAW merupakan puncak
kebahagiaan yang tidak pernah merana. Bersama keduanya pasti menang dan tidak
pernah kalah. Bersama keduanya, niscaya mulia tidak pernah hina. Adapun hukum
syariat tetap merealita untuk membedakan, menyamakan, menyatukan, memisahkan,
membenarkan, menyalahkan, menggolongkan. Domain tersebut adalah kerja ilmiah
dengan ukuran yang rigid dan akuratif. Di sini, Nabi mengajar jangan tertipu
dengan silau materi. Nabi mendidik bahwa wajib menempatkan Allah dan Rasul-Nya
di atas segalanya. Hukum mengajar memang dua, amar (perintah) dan nahi
(larangan). Konsekuensi logis adalah wa'ad (janji) dan wa'id (ancaman).
Terakhir, terminal-nya berupa surga dan neraka. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar