AHAD (Bukan Nama dan Bukan Sifat)
AHAD
(Bukan Nama dan
Bukan Sifat)
Oleh
Ma'ruf Zahran
Sabran
MUSLIM berserah diri bukan diri yang merasa baik, dan bukan diri
yang merasa benar. Pembuktian diri yang baik dan benar tidak berlaku untuk
Allah, sebab Dia sudah mengetahui. Dia mengetahui sebelum hamba melakukan
kebaikan dan keburukan, bahkan sebelum alam semesta ini tercipta. Dia suruh,
berserah diri sajalah. Bila bertakwa, bertakwalah dengan benar, serius, bukan
takwa sebagai permainan atau takwa sekedar mengisi waktu senggang. Takwa pada
masa cuti atau istirahat, bukan takwa yang sebenarnya. Takwa yang benar
berwaktu setiap saat, dan takwa yang benar berada di semua tempat. Firman Tuhan
dalam surah Ali Imran ayat 102: "Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Dan jangan kamu mati,
kecuali kamu (dalam kepastian) berserah diri." Berserah diri artinya
menghadap Allah betul-betul sebatang kara, seorang diri, sama seperti saat
datang pertama kali di muka bumi. Datang tanpa membawa apa-apa, kecuali jasmani
dan rohani. Begitu selayaknya menghadap (pulang) kepada-Nya, tidak membawa diri
yang taat atau durhaka, tidak membawa nama dan sifat. Berserah diri sajalah,
setiap sesuatu yang datang, jangan lupa, untuk mengembalikannya kepada pemilik.
Misal salat, datang dari Allah, kembalikan kepada-Nya.
Alquran dalam pemahaman-nya bertingkat-tingkat, kitab suci ini
selalu menggunakan kata ganti (dhamir). Malah kata ganti tersebut terkadang
tersembunyi (mustatir). Ayat-ayat muhkamat sudah jelas (sharih), sedang
ayat-ayat mutasyabihat sangat samar (kinayah). Disini murid/salik wajib berguru
kepada guru ahli takwil (ulul albab). Ulul albab berguru kepada Tuhan yang maha
mengetahui (Al-'alim), atau guru sejati. Tingkatan ini, tidak mudah untuk
dicapai. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat dari sisi Kami, ilmu ladunni.
Dari hamba-hamba Kami yang terpilih (mukhtar), dan hamba-hamba yang Kami yang tercinta (mahbub).
Syuhud (memandang-Nya) adalah pandangan yang paling jelas.
Mendengar-Nya adalah pendengaran yang paling tajam. Dia sebutkan, sesungguhnya
Allah maha mendengar lagi maha melihat. Mesti keyakinan kita adalah seperti
keyakinan Muhammad bin Abdullah dalam meyakini Nur Muhammad. Nur Muhammad tidak
berselisih dengan Nur Allah. Malah Nur Muhammad bertugas mengantar kepada Tuhan
yang sebenarnya Tuhan (Ahad). Bukan pemahaman yang selain Muhammad. Siklusnya
adalah tangga Muhammad bin Abdullah menuju tangga (martabat) Nur Muhammad,
bersama Nur Muhammad kembali kepada pemilik-Nya (raji'un).
Sudah Allah jelaskan tentang syuhud, yaitu bashar (melihat) versus
'ama (buta) dalam firman surah Al-isra' ayat 72: "Barang siapa yang di
dunia ini buta (mata hati), maka pasti di akhirat lebih buta lagi, dan lebih
sesat jalan." Bagaimana gerangan tidak buta? Di dunia dia sudah gagal
membaca kitab diri. Kitab diri itulah Nur Muhammad yang menjadi dasar bagi roh
semua tingkatan atau martabat alam. Roh atau Nur Muhammad berisi semua catatan
perjalanan alam. Nur Muhammad itulah nabi-nabi yang diutus (nabiyyul-mursal)
dan kitab-kitab yang diturunkan (kitabul-munzal). Kitab diri, itu yang dibaca,
sebagaimana firman Tuhan: "Dan setiap manusia, Kami gantungkan catatan di
leher mereka, dan Kami bangkitkan mereka pada hari kiamat, dengan mendapati
kitab mereka dalam keadaan terbuka. Bacalah kitab-mu! Cukuplah dengan diri-mu
pada hari ini, engkau menghitung diri-mu." (Al-isra':13-14).
Surah Albaqarah ayat 28 menggambarkan betapa manusia melewati lima
fase peristiwa. "Mengapa kamu bisa kafir kepada Allah, sedang kamu dahulu
mati, lalu kamu dihidupkan-Nya. Kemudian kamu dimatikan-Nya, kemudian kamu
dihidupkan-Nya, kemudian kepada-Nya kamu semua dikembalikan." Jelas, dua
kali hidup, dua kali mati, satu kali kembali kepada sang Esa (Ahad). Pahamkah?
Atau belum mengerti? Sebab dari mengetahui, mengantar kepada mengerti. Mengerti
mengantar kepada memahami, memahami mengantar kepada merasai.
Perjalanan hidup secara lebih rinci, telah diunggah Tuhan pada
surah Al-mukminun berupa tahapan penciptaan. Tuhan menghembuskan sebagian
Roh-Nya (menjadi cahaya Muhammad) dari sisi-Nya, isinya adalah rahmah
(kasih-sayang). Selanjutnya, Nur Muhammad berfungsi sebagai tempat (wadah)
kalam Tuhan. Kalam Tuhan untuk seluruh alam. Fungsi wadah Nur Muhammad
menyampaikan arahan (amar), perintah dan larangan Tuhan, serta menyampaikan
permohonan alam semesta (doa). Dalam risalah yang dzahir dan risalah yang batin,
dari Tuhan kepada Rasulullah, dari Rasulullah kepada umat (tanazzul). Atau dari
umat kepada Rasulullah, dari Rasulullah kepada Tuhan (tarqi).
Sumber perintah itu datang dari Tuhan, lalu dibahasakan oleh Nur
Muhammad. Itulah roh idhafi (Nur Muhammad) sebagai kedudukan yang terpuji
(maqam al-mahmuda), tempat Allah, Muhammad dan umat bersalawat. Fungsi kerja
mulia Nur Muhammad adalah dari atas ke bawah menyampaikan risalah amar. Dari
bawah ke atas menyampaikan risalah doa (permohonan). Bagaimanakah Nur Muhammad
bekerja atas perintah Allah dengan menggunakan nama dan sifat-Nya, meski Ahad
bukan nama dan bukan sifat. "Kemudian, air mani itu, Kami jadikan sesuatu
yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu, Kami jadikan segumpal daging. Dan
segumpal daging itu, Kami jadikan tulang-belulang. Lalu tulang-belulang itu,
Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikan-nya makhluk (bentuk
lain). Maha suci Allah, pencipta yang paling baik. Kemudian setelah itu,
sungguh kamu pasti mati. Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan pada hari
kiamat." (Al-mukminun:14-16).
Kenyataan Allah pada nama, kenyataan Rabb pada sifat, kenyataan Huw
pada dzat, kenyataan Qudrat-Iradat pada af'al (perbuatan) Allah. Keempatnya
terdapat pada Nur Muhammad (mendzahir pada Nur Muhammad). Separuh dari Nur
Muhammad terlimpah pada Muhammad bin Abdullah. Separuh lagi pada seluruh alam
semesta, alam lahir dan alam batin. Abad ini (21) dibutuhkan ketenangan
(tumakninah). Mereka yang tidak beriman kepada Nur Muhammad tidak akan
tersampaikan kepada Ahad (Tuhan bukan nama, dan Tuhan bukan sifat). Sebab, ciri
abad ini adalah kekacauan sosial, dan pemerintahan yang mencekam
(mulkan-jabbariyan). Sampai mendekati (detik) kematian seseorang (kiamat
kecil), manusia masih saling bertengkar (sering berdebat). "Tidak ada yang
mereka nantikan, melainkan satu suara (teriakan maut), ketika mereka sedang
berbantahan." (Yasin:49). Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar