SIFAT TUJUH LIPUTAN TUJUH - KALAM DAN MUTAKALLIMUN
SIFAT
TUJUH LIPUTAN TUJUH
KALAM
DAN MUTAKALLIMUN
Oleh
Ma'ruf
Zahran Sabran
A.
Kalam.
Kalam-Nya, setiap kali menyebut Aku, pasti esa. Kalam-Nya,
setiap kali mengatakan Dia (Allah), pasti esa. Demikian pula Kami (Allah),
pasti esa. Jangan serupakan Dia dengan kaedah bahasa. Dia berbicara bukan
dengan aksara, Dia berbicara tidak dengan ayat, Dia berkalam bukan berbantuan
kalimat. Aksara, ayat, kalimat adalah tanda, sedang Dia bukan tanda. Dia
berbicara bukan dengan perantara lisan dan bunyi suara. Bunyi adalah makhluk,
suara adalah makhluk. Intinya, surah Asy-syura ayat 11, laisa kamislihi
syai'un, wahuwassami'ul 'alim (tidak serupa Dia dengan sesuatu, dan Dia maha
mendengar lagi maha mengetahui).
Terhadap seluruh perbuatan Tuhan pada manusia dan
alam semesta, jangan kamu tanyakan. Beriman dan berserah-diri sajalah! Supaya
napas-mu menjadi lapang (arih nafsaka). Berpasrah (ber-islam) kepada sang
Al-Wakil, adalah kelegaan dada (yasrah shadrahu lil-islam). Manusia tidak
disuruh berpayah-payah dalam beragama. Agama yang rahasia menjadi ringan, agama
yang terbuka menjadi berat. Kitab suci selalu mewahyukan kepada Nabi, Tuhan
tidak membebani-mu (Muhammad), kecuali sesuai dengan kemampuan-mu (Muhammad).
Muhammad, bila umat berpaling dari-mu, ketahuilah, engkau bukan penjaga mereka
(wama anta 'alaihim bihafidz). Muhammad, engkau bukan wakil mereka (wama anta
'alaihim biwakil). Muhammad, engkau bukan pemaksa (wama anta 'alaihim
bijabbar). Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya pemberi peringatan saja (innama
anta mundzir).
Sampai di sini, hati siapa yang tidak terkagum
dengan kalam-Nya. Belum lagi, saat Dia berwahyu kepada Adam. "Berkata
Tuhan, wahai Adam, tinggallah kamu di surga beserta istrimu. Dan makanlah (kamu
berdua) dengan nikmat sesuka hati-mu. Jangan engkau dekati pohon ini, nanti
kamu termasuk orang-orang yang aniaya." (Al-Baqarah:35). Tuhan juga
bercakap-cakap dengan Idris, Nuh, Hud, Luth, Saleh, Ibrahim. Tuhan berbicara
tanpa suara, Tuhan berkalam tanpa sinyal. Kerahasiaan ini terjaga, kecuali yang
Dia kisah-kan. Namun yang tidak Dia kisah-kan lebih banyak, dari pada yang Dia
kisah-kan.
Tidak Dia kisah-kan tentang para utusan yang
disayang oleh-Nya, tidak bisa diungkap. Dia kisah-kan, termaktub sudah dalam
kitab suci. Pembicaraan (kalam-Nya), bila Dia bermutakallim (keadaan
berbicara), sungguh bicaranya halus (wahyu). Ada wahyu yang berperantara
malaikat Jibril, ada wahyu yang langsung
(dicampakkan ke dalam hati para
utusan-Nya). Kalam-Nya sangat lembut (ilham), maka setiap orang yang berbicara,
tidak menyadari bahwa mereka sedang digerakkan Tuhan. Karena halus-nya
perbuatan dan pembicaraan-Nya. Zat Tuhan bersifat kalam (ma'ani), kalam
(ma'ani) diturunkan pada sifat Tuhan yang berkeadaan (hal jamak ahwal) sedang
berbicara (pembicara). Sungguh yang berbicara Tuhan (mutakallim), Dia
amanah-kan kepada roh, bentuk jasad berupa lidah, mulut dan tenggorokan.
Disini, wujud manusia tampak berbicara, namun manusia dengan segala
keterbatasan-nya. Sebab, sifat asli manusia adalah bisu (bukmun). Berdasarkan
firman, bahwa Tuhan, sang pengajar bahasa. "Ar-Rahman (maha pengasih).
Mengajarkan Alquran. Menciptakan manusia. Mengajar manusia untuk pandai bicara."
(Ar-Rahman:1-4).
Tuhan berbicara kepada ibu Musa (wa awha ila ummi
Musa). Dan Tuhan selalu berbicara kepada Musa secara langsung (wakallamallahu
Musa taklima). Tuhan berbicara kepada Nuh, berbicara kepada Daud, berbicara
kepada Sulaiman. Bahkan berbicara kepada seluruh makhluk.
Namun, esa juga zat-Nya, esa nama-Nya, esa
sifat-Nya, esa perbuatan-Nya. Hakikatnya, Dia yang kuasa berbicara (berkalam),
makhluk adalah bisu (bukmun), kecuali diberi restu untuk bicara. Di dunia dan
di akhirat, selayaknya jangan bicara, kecuali telah diberi izin di dalam hati,
untuk bicara atau untuk diam. Junjung tinggi perintah dan larangan Tuhan.
Sungguh, engkau telah lenyap dalam keabadian-Nya, inilah agama rahasia. Semakin
senyap, semakin nyaring. Semakin lenyap, semakin nyata. Jalur esa adalah dari
esa bicara, dan esa pula yang menyimak dalam wahdaniyatullah (ke-esaan Allah).
Berbicara dari banyak arah, lalu menjadi satu arah
(esa). Keyakinan yang tidak ada kata tanya didalam-nya. Khawatir, bila ini
tidak sampai karena tidak kenal, merugilah pembicara yang tidak mengenali
sumber yang maha bicara. Seperti Fir'aun yang merasa raja, memerintah. Qarun
yang merasa kaya, memerintah. Haman yang merasa berilmu, memerintah. Seperti
yang Dia kalam-kan di dalam Qudus-Nya. "Dan barang siapa diantara mereka
berkata, sungguh, aku adalah tuhan selain Allah. Niscaya pasti orang itu Kami
beri siksaan berupa neraka Jahannam. Demikian Kami memberi balasan kepada orang
yang aniaya." (Al-Anbiya':29).
B.
Mutakallim.
Mutakallim adalah sifat maknawiyah Tuhan yang
berkeadaan sebagai pembicara. Dia bicara kepada alam dengan kun (jadilah),
fayakun (maka jadilah). Atau Dia memerintah tanpa kata kun, dan tanpa kata
fayakun. Pembicara (mutakallim) bila esa, dan yang mendengar adalah esa
(mustami'), itulah sejati ilmu rahasia tauhid. Baik dalam percikan sifat
jamil-Nya (indah), maupun dalam percikan sifat jalil-Nya (agung). Jangan dikira
tanda (ayat) Tuhan adalah Tuhan. Pada tahap ini, nama (isim) alif adalah tanda,
baik berharakat maupun sukun.
Tuhan bermutakallim (berbicara) kepada alam semesta,
kepada langit, kepada bumi, kepada darat, kepada laut, menandakan Tuhan hayat
dan memberikan kehidupan kepada alam (muhyi), lalu membimbing-nya (rusydi).
Bukti kalam-Nya dalam semua untaian ayat suci. Tuhan-mu memerintah kepada langit,
turun-kan hujan. Tuhan-mu berkalam kepada bumi, tumbuhlah dengan air hujan.
Kemudian menjadilah bumi yang hidup setelah matinya. Tuhan memerintah kepada
laut untuk bergelombang, laut menjadi
bergelombang. Tuhan memerintah kepada laut untuk tenang, laut menjadi
tenang. Tuhan memerintah kepada guruh untuk bertasbih, guruh bertasbih. Tuhan
berkalam kepada halilintar untuk memanah yang dituju, halilintar memanah. Tuhan
memerintah dengan berilham kepada janin untuk tumbuh, janin tumbuh di dalam
rahim atau di luar rahim (kandungan). Tuhan berkalam kepada alam semesta untuk
menyudahi tugasnya, alam semesta kiamat. Tuhan memerintah, menghidupkan,
memberi rezeki, mematikan makhluk. Kemudian, kepada-Nya, kamu semua
dikembalikan. Bukan kembali ke surga, surga merupakan bagian dari tahapan
negeri-negeri akhirat. Surga, tempat kediaman. Namun, pastikah bertemu dengan
pemilik rumah (surga) tempat kediaman? Belum tentu!
Selama masih ada ego dalam taat, pasti tidak bertemu
dengan Tuhan yang esa. Selama tersimpan ego syahadat, ego salat, ego zakat, ego
puasa, ego haji, niscaya tidak akan liqa' dengan-Nya. Intinya, seluruh doktrin
ego dalam ibadah, sangat berbahaya, binasa. Sebab, bertanding dengan Tuhan,
sang ahad.
Begitu keadaan Fir'aun yang tuli dalam menyimak
kalam Tuhan. Malah, Fir'aun yang merasa berkuasa untuk berbuat dan berbicara
semaunya. Bukan-kah dalam syariat salat sudah diatur rukun perbuatan (gerakan),
dan rukun pembicaraan (ucapan). Mengapa masih banyak yang lalai, dan Allah
tidak lalai terhadap apa yang kamu kerjakan. Belum lagi kajian rukun hati
(qalbu) dalam salat, terutama niat dan tertib. Niat diawal menjadi penting.
Sebab, amal bergantung kepada niat. Niat merupakan kalam hati. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar