MENATA TANGGA BERAGAMA BERSAMA GURU
MENATA TANGGA BERAGAMA BERSAMA GURU
Ma'ruf Zahran Sabran
(Jamaah Tauhidiyah Ahadiyah)
Beragama dengan mendaki merupakan suruhan
Tuhan. Jangan berhenti di tempat yang
sekarang, kecuali sudah sampai menemukan, tatap muka (TM). Keadaan orang-orang
yang beriman adalah dinamis, bukan statis. Sebab itu, dalam Alquran banyak
sekali ditemukan kata jalan (sabil, jamak subul). Statis dalam beragama sangat
dikecam Tuhan. Kerap kali ditemukan pada lembar ayat suci, apakah kamu tidak
memikirkan? Berpikir merupakan proses mencari. Dalam hal ini mencari kebenaran
yang yakin (haqqul-yaqin). Tidak goyah, tidak susah, tidak ragu, tidak bimbang.
Tangga umat beragama kebanyakan mulai dari
syariat (hukum lahiriah), lalu menuju hakikat (hukum batiniah). Mayoritas umat
beragama terhenti pada jalan syariat, karena merasa nyaman. Padahal sangat
terhukum (kaku) untuk menghukum diri. Terhenti di syariat tidak salah. Namun,
belum sempurna. Resikonya, bersiap dengan banyak soal-jawab, perhitungan, kalah
(dosa), menang (pahala), surga, neraka.
Arti syariat diantaranya beragama dimaknai
sebagai jalan menuju Tuhan, demikian pula thariqat, hakikat, makrifat. Mereka
adalah jalan, jalan yang berbeda namun tujuan-nya esa, bila mau secara bertahap
ditempuh. Tangga-tangga beragama namanya.
Ketika semua tangga ini dilalui (tarqiyah),
sampai manusia kepada Ahad. Empat tangga dibawahnya masih menghidupkan akal
('aqil). Bila sudah sampai di Ahad, akal akan mati yang disebut gila (majnun).
Muhammad disebut gila oleh Abu Jahal (anta majnun). Namun Muhammad yang telah
sampai pada derajat Ahad, tidak sebut gila oleh Allah. Allah menyanggah dengan
firman (At-Takwir:22-23). "Sahabat-mu itu bukan gila" (wama
shahibukum bimajnun). "Tetapi dia telah melihat (Jibril) di ufuk yang
terang" (walaqad ra-a hu bil ufukil mubin). Pernyataan guru bahwa Jibril
dan ufuk yang terang ada di dalam diri, bukan unsur (elemen) yang di luar diri.
Sejak roh Tuhan dihembuskan kepada semua Adam (wanafakhtu fihi min ruhiy)
beserta paket ketuhanan. Paket itu adalah Rukun Iman yang enam, Rukun Islam
yang lima, Rukun Ihsan yang satu. Semuanya berjumlah dua belas. Ditambah
seluruh alam semesta (makrokosmos, alam kabir), kemudian paket tadi dimasukkan
ke dalam alam diri (mikrokosmos, alam shaghir) pada roh Adam. Sehingga Hadis
Qudsi berfirman: "Aku menciptakan Adam yang mirip dengan diri-Ku."
Maksudnya, Jibril, Mikail, Israfil, bukan unsur di luar diri Muhammad,
melainkan di dalam diri Muhammad (in-sider bukan out-sider).
Hari ini banyak kajian yang mengulas ketuhanan
dan kenabian di luar diri, sehingga kerap salah kaprah. Terkontaminasi
(teracuni) oleh madzhab yang dianut, aliran (firqah) keagamaan yang majemuk.
Labirin-labirin itu justru menutup pintu Ahadiyah. Professor Fazlurrahman
(lahir Pakistan, 1919, wafat Amerika, 1988), seorang ulama Pakistan yang diusir
dari tanah kelahirannya, lalu beliau menyeberang ke Amerika, dan menjadi guru
besar Agama Islam di UCLA (University of California Los Angeles) menerangkan
tentang Jibril. Jibril bukan unsur luar dari diri Muhammad, melainkan di dalam
diri Muhammad yang bekerja. Jangan dipahami Jibril seperti "tukang pos
yang mengantar surat." Dalam bukunya, Islamic Methodology in History
" selain Jibril, demikian juga Mikail yang bekerja, jangan dipahami Mikail
membagikan rezeki seperti seorang ibu memberi anaknya makan. Israfil, Izrail,
Malik. Malik adalah elemen diri hukuman (neraka). Dan Ridwan adalah elemen diri
hadiah (surga). Sebagai dampak (efek) diri dari perilaku baik adalah surga
diri. Dampak (efek) diri dari perilaku jahat adalah neraka diri. Bukan-kah sang
Pencipta hanya satu (esa). Tuhan pernyatakan ungkapan ruhul-qudus ada di dalam,
bukan di luar (baca An-Nahl:102). Jadi, ruh-qudus (Jibril) menjadi potensi
setiap orang. (Jeruju, 5 Oktober 2024).
Komentar
Posting Komentar