RUMAH TANPA ANAK
RUMAH TANPA ANAK
Oleh
Ma'ruf
Zahran Sabran
Sejarah,
peristiwa yang selalu terjadi berulang. Datang, pulang, kembali datang.
Konteksnya sama, caranya berbeda, situasi dan kondisi yang berbeda. Fakta, sejarah
sebelum kelahiran Ibrahim dan Musa adalah pembunuhan terhadap bayi yang ketahuan lahir berjenis kelamin
laki-laki. Kondisi mencekam ini berlangsung selama ratusan tahun. Ketika itu,
sehingga tradisi membunuh bayi atau anak laki-laki menjadi kultur (budaya) di
negeri Babilonia dan Mesir. Sedang masa sebelum kelahiran Muhammad bin Abdullah
adalah pembunuhan massal terhadap bayi yang dilahirkan dari rahim para ibu yang
berjenis kelamin perempuan. Sehingga di akhirat banyak didapati bayi-bayi
perempuan ditanya, karena dosa apakah mereka dibunuh (biayyi dzanbin qutilat)!
(Baca At-Takwir:9).
Kini,
generasi milenial dihadapkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar kehidupan
(primer). Berupa tidak imbang antara neraca pendapatan dengan neraca
pengeluaran (belanja rutin). Buktinya, kurs mata uang dolar (harga tinggi),
tidak setimbang dengan kurs mata uang rupiah (harga rendah). Malah, rupiah
selalu mengalami inflasi (penurunan daya beli masyarakat). Jika ini terus
dibiarkan, sampai di titik nadir, maka wajah kita akan kehilangan wibawa di
mata dunia internasional. Sebab, distigma sebagai negara miskin. Perbandingan
yang tidak wajar dalam angka 1 dolar setara dengan 15.000 rupiah. Rupiah akan
terus berpotensi melemah di pasar mata uang dunia. Berapa nilai rupiah, sekira
dolar menembus angka 15.000 US dolar. Akhirnya, masyarakat kita terpuruk,
selain tidak mampu ke luar negeri untuk belajar dan kuliah. Sementara di dalam
negeri, UKT mengalami peningkatan, seiring meroket harga-harga kebutuhan pokok.
Bukti nyata, penjajahan di bidang ekonomi yang berimbas pada hukum, pendidikan,
kesehatan, sosial, kultural dan kriminal.
Berangkat
dari fakta di atas, banyak oknum generasi milenial ketiga (lahir tahun
2000-3000) yang tidak mau menikah, namun berhubungan badan secara bebas (free
sex). Semogalah praduga penulis keliru. Atau, pilihan menikah. Tetapi tidak
ingin punya anak (child free). Melihat dan mengingat banyak bayi yang kehausan
susu, kelaparan yang melanda papa dan mama muda. Pekerjaan yang tidak menentu
dan pendapatan yang tidak relevan dengan stara pendidikan. Akibatnya, banyak pasangan
suami-istri muda tidak siap menyambut kelahiran si buah hati.
Lalu,
adakah setiap jengkal putusan yang sudah diambil tanpa resiko. Resiko belajar
pasti banyak tugas. Resiko kaya adalah miskin. Artinya, ancaman kemiskinan
menghantui orang-orang kaya. Resiko sehat adalah sakit. Artinya, ancaman
kesakitan menghantui orang-orang sehat. Resiko muda adalah tua. Resiko lapang
adalah sempit. Resiko hidup adalah mati. Kematian menjadi ancaman setiap detik.
Pernyataan ini memesan setiap kehidupan pasti ada kematian.
Fakta
child free berawal dari keinginan tidak direpotkan anak-anak, terutama ketika
mereka masih bayi. Dan kebutuhan yang melangit ketika mereka sudah beranjak
remaja, dewasa. Kebutuhan hidup yang tidak sedikit. Bila pondasi iman kepada
takdir sudah rapuh. Maka robohlah jiwa dan keluarga. Kini, memenuhi kebutuhan
sehari-hari ibarat ingin memeluk bayang. Realita yang mengemuka adalah sulitnya
mempertahankan kehidupan di tengah harga kebutuhan pokok meningkat, tagihan
listrik, tagihan air ledeng, tagihan SPP/UKT, tagihan semua jenis pajak. Belum
untuk kebutuhan pokok lain. Seperti makan, minum, pakai dan perumahan (sandang,
pangan, papan). Ketiga kebutuhan yang mendasar dan utama (primer) bagi setiap
manusia.
Akibatnya,
alih-alih untuk mengasuh anak, menikah bisa "ogah". Hidup seperti
"mie instant". Budaya aku lihat, aku dekat, aku pikat, aku dapat,
aku minggat! Tanpa tanggungan, tanpa kejujuran, tanpa ketulusan. Tiada cinta,
selain cinta palsu! Inilah tabir hitam dunia kegelapan untuk masa sekarang dan
akan datang. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar