PUNCAK KESEJATIAN

 

PUNCAK KESEJATIAN

Oleh
Ma'ruf Zahran Sabran

Ketika menakar agama dengan syariat dan menakar agama dengan hakikat, banyak manusia tertipu, sebab keduanya adalah hukum yang menghukum. Ikatan yang mengikat, jeratan yang menjerat, penjara yang memenjara. Buang penjara itu, menuju Tuhan yang esa. Apakah ada tuhan-tuhan selain Aku (Allah). Syariat bukan Aku, hakikat bukan Aku.

Syariat menghukum manusia secara lahiriah, hakikat menghukum manusia secara batiniah. Bagaimana manusia supaya hidup damai, aman, tertib, bebas, merdeka, berani, dan tidak terpenjara oleh rasa takut dosa dan harap pahala. Disini, manusia dituntut untuk mengembangkan pola pikir. Berproses, variabel pendidikan, keluarga, lingkungan, penelitian, pemikiran, akal sehat yang diasah, sangat  mampu menembus tujuh petala langit dan bumi. Bahkan, mampu menembus keduanya, melintasi isra' (bumi), melintasi miraj (langit) dan melintasi ahad (diatas bumi dan langit). Ditantang Tuhan dalam firman-Nya: "Hai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah!  Kamu tidak akan sanggup menembusnya, kecuali dengan ilmu." (Arrahman:33).

Bila dikata bumi adalah syariat, tembuskan dan musnahkan syariat, hilangkan giat beragama. Bila dikata langit adalah hakikat, tembuskan dan musnahkan hakikat, hilangkan giat bertuhan. Terbang dan bersatulah dengan sang esa (ahadiyah). Bila tidak, kita akan dituntut oleh digit item pahala syariat dan pahala hakikat. Dicambuk oleh cemeti dosa syariat dan dosa hakikat yang kita buat sendiri. Bila tidak, kita akan dituntut oleh amal bagi para pengamal. Bila tidak, kita akan didakwa oleh iman bagi para pengiman. Bila tidak, kita akan dikoreksi oleh ilmu bagi para pengilmu. Iman, ilmu, amal merupakan tipuan-tipuan syariat yang nyata-nyata mempersekutukan Allah Ahad. Tipuan syariat sebagai bahan pengantar bagi cikal-bakal kejahatan. Artinya, dengan pertimbangan neraca syariat yang berpahala (untung), dan dengan pertimbangan neraca syariat bermuatan materi  dosa (rugi), itulah parameter menghukum diri sendiri dan orang lain. Ini, sungguh sudah banyak diceramahkan dan diajarkan dalam pendidikan sekolah dan luar sekolah. Bukankah semakin mempertebal lapisan hijab, dan memperpayah jalan menuju labirin keesaan.

Tidak kalah berbahaya, mereka yang sedang duduk pada bangku hakikat. Tipuan lebih samar, halus, sopan dan santun. Item yang digunakan adalah simbol dan makna kebaikan (khairiyyah). Seperti indikator salat berjamaah dan tepat waktu. Semakin banyak jamaahnya, semakin banyak pahalanya. Beragama diukur dengan banyak dan sedikit (kuantitas). Sebenarnya, beragama ditingkat syariat-kuantitas, rawan tauhid. Disitu, telah banyak hadir Tuhan disamping tuhan-tuhan, seperti tuhan masjid, tuhan jamaah, tuhan waktu, tuhan pahala, dan tuhan yang lebih baik dari angka 27 derajat. Amuk dan camuk motivasi umat dalam mengejar pahala. Lupa dengan Tuhan yang sebenar. Iblis telah berjanji, aku akan beri iming-iming mereka dengan pahala, dengan segala cara. Agar mereka melupakan-Mu. Dan tiada janji-janji syaitan, kecuali hanya kedustaan yang palsu (ghurur).

Demikian pula di derajat hakikat-kualitas, penuh jerami tipuan. Sabar, syukur, tawakkal merupakan tipuan hakikat yang sopan. Khauf, raja', qana'ah adalah tipuan hakikat yang santun. Istikamah, marhamah, mawaddah, mahabbah merupakan tipuan kelas tinggi. Dengan ide tersebut, jamak manusia memenjara diri,  memenjara keluarga, dan mengikat orang lain. Namun, bila belum berjumpa, bertemu dan menyatu (esa), jangan katakan iman. Katakan, mereka adalah orang-orang kafir yang Kami hapus amalnya, dan Kami tidak menegakkan wazan (neraca amal) untuk mereka. Dalam surah Alkahfi, ayat 100-106 merupakan gambar orang-orang yang tertipu dengan hakikat (kualitas). Wallahua'lam.

Komentar

  1. Nama : Alya Febri Aulia
    Nim : 12401134
    Kelas : 1E
    Prodi : Pendidikan Agama Islam
    Artikrl yang ditulis oleh bapak Ma'ruf Zahran Sabran yang berjudul puncak kesejatian yang di unggah pada 13 november 2024 dilaman pribadi beliau menjelas kan tentang kita yang mana Ketika menakar agama dengan syariat dan menakar agama dengan hakikat, banyak manusia tertipu, sebab keduanya adalah hukum yang menghukum. Ikatan yang mengikat, jeratan yang menjerat, penjara yang memenjara.
    Allah SWT berfirman dalam surah ar-rahman ayat 33 yang berbunyi "Hai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah! Kamu tidak akan sanggup menembusnya, kecuali dengan ilmu." Dijelaskan bahwa kita tidak bisa mengetuk pintu langit kecuali dengan ilmu.
    Dituliskan pula Bila dikata bumi adalah syariat, tembuskan dan musnahkan syariat, hilangkan giat beragama. Bila dikata langit adalah hakikat, tembuskan dan musnahkan hakikat, hilangkan giat bertuhan. Terbang dan bersatulah dengan sang esa (ahadiyah). Bila tidak, kita akan dituntut oleh digit item pahala syariat dan pahala hakikat.
    Demikian pula di derajat hakikat-kualitas, penuh jerami tipuan. Sabar, syukur, tawakkal merupakan tipuan hakikat yang sopan. Khauf, raja', qana'ah adalah tipuan hakikat yang santun. Istikamah, marhamah, mawaddah, mahabbah merupakan tipuan kelas tinggi.

    BalasHapus
  2. NAMA:REZA DINATA
    NIM:12401130
    KELAS:1E
    Tanggapan terhadap Puncak Kesejatian karya Ma'ruf Zahran Sabran ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, khususnya mengenai tema besar yang diangkat, yaitu pencarian kesatuan hakikat dalam agama yang bebas dari penjara konsep-konsep syariat dan keyakinan yang berlebihan.

    Penulis mengkritik pemahaman agama yang terperangkap dalam syariat (aturan lahiriah) dan hakikat (pencapaian batiniah), yang dianggap sebagai "penjara" yang membatasi pemahaman sejati tentang Tuhan. Kritik ini sangat tajam, menggambarkan bahwa banyak orang terjebak dalam rutinitas beragama yang berfokus pada kuantitas dan formalitas (misalnya, ibadah berjamaah atau pengumpulan pahala) tanpa menyadari esensi sejati yang melampaui perbedaan antara syariat dan hakikat. Menurut penulis, ini adalah bentuk pemujaan terhadap "tuhan-tuhan" lain selain Tuhan yang esa, karena manusia lebih mengejar angka, pahala, atau status, alih-alih mencapai kesatuan dengan Tuhan yang mutlak.

    ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang terjebak dalam paradigma syariat dan hakikat dapat kehilangan arah, dengan menggantungkan diri pada tipuan yang datang dalam berbagai bentuk seperti amalan-amalan yang terlihat baik atau kualitas spiritual yang terukur. Dengan menggunakan konsep-konsep seperti "sabar," "syukur," dan "tawakkal" sebagai bentuk tipuan halus dalam perjalanan menuju pencerahan, penulis menegaskan bahwa segala bentuk pemujaan atas hasil atau efek dari amal bisa menjadi penghalang untuk mencapai puncak kesejatian, yaitu kesatuan dengan Tuhan yang tidak terikat oleh simbolisme dan aturan yang dibentuk oleh manusia.

    Namun,ini juga mengajak pembaca untuk tidak terjebak dalam pemahaman sempit tentang agama. Penulis mendorong pembaca untuk melepaskan diri dari segala ikatan formalitas tersebut dan menyatu dengan Tuhan yang esa, yang hanya bisa dicapai dengan ilmu, kesadaran, dan kedalaman batin yang murni. Hal ini sejalan dengan ajaran banyak tradisi spiritual, yang menekankan pentingnya mencari kebenaran di luar batasan formal dan simbolik.

    Secara keseluruhan, ini memberikan perspektif yang mendalam tentang bagaimana agama seharusnya dipahami, bukan sekadar sebagai serangkaian ritual dan amalan yang terikat waktu dan angka, tetapi sebagai perjalanan menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang Tuhan dan diri sendiri. Pencarian ini harus dilandasi oleh ilmu dan kebijaksanaan, bukan oleh pengukuran kuantitatif atau kepentingan pribadi.

    BalasHapus
  3. Nama: Yudia Artika
    Nim: 12401145
    Kelas: 1E
    Prodi: Pendidikan Agama Islam

    Tulisan ini mencerminkan pandangan yang mendalam tentang bahaya ilusi dan tipuan dalam pencarian spiritualitas, terutama terkait dengan pengertian "pahala" dan berbagai kualitas atau derajat spiritual yang sering kali dianggap sebagai tujuan utama dalam ibadah. Penulis menggambarkan bahwa manusia sering kali terjebak dalam perbuatan yang tampaknya baik, seperti kesabaran, syukur, tawakkal, dan sebagainya, tetapi sejatinya bisa menjadi bentuk tipuan yang menjauhkan mereka dari Tuhan yang sebenar.
    Poin utama dari tulisan ini adalah peringatan agar kita tidak hanya terfokus pada amal atau kualitas tertentu yang terlihat sebagai "pahala" atau "derajat tinggi" dalam agama, tetapi tetap menjaga esensi hubungan yang sejati dengan Tuhan (Allah). Ketika amal ibadah dan kualitas-kualitas tersebut mengarah pada kebanggaan diri atau kesombongan karena merasa telah mencapai derajat tertentu, maka bisa jadi kita terjebak dalam tipu daya yang disarankan oleh syaitan, yaitu melupakan Tuhan yang sebenarnya.
    Pendekatan ini mengajak kita untuk lebih introspektif dan menyadari bahwa pencarian spiritual yang sejati tidak terletak pada pengumpulan pahala atau kualitas-kualitas tertentu, tetapi dalam pencapaian hakikat yang lebih mendalam, yaitu menyatunya diri dengan Tuhan dalam ketulusan dan keikhlasan.
    Selain itu, ayat yang disebutkan dari Surah Al-Kahfi (ayat 100-106) menggambarkan orang-orang yang terjebak dalam tipuan duniawi dan amal yang tidak tulus. Ini memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam kesibukan beramal tanpa memahami hakikat dan tujuan sejati dari amal tersebut.
    Secara keseluruhan, tulisan ini mengajak kita untuk tetap waspada terhadap tipu daya dalam mencari pahala dan kualitas spiritual, dan untuk terus berusaha agar amal ibadah kita tetap terfokus pada niat yang benar, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan pada pujian, derajat, atau pahala semata.

    BalasHapus
  4. Nama:Iis Imelda
    Nim:12401149
    Kelas:1E pendidikan agama Islam

    Materi ini mengangkat tema yang dalam mengenai hubungan antara syariat, hakikat, dan Tuhan. Penulis berpendapat bahwa banyak orang terjebak dalam pemahaman sempit tentang agama, di mana syariat diartikan sebagai jalan untuk mendapatkan pahala dan menghindari dosa, sementara hakikat dianggap sebagai pengalaman spiritual yang lebih dalam. Namun, penulis menekankan bahwa kedua aspek tersebut dapat menjadi penjara yang membatasi pemahaman akan keesaan Tuhan.

    Syariat, yang mencakup hukum dan norma agama, berfungsi sebagai panduan lahiriah untuk hidup yang teratur. Di sisi lain, hakikat menyentuh dimensi batiniah dan pengalaman spiritual, tetapi bisa menjadi hal yang samar dan menyesatkan bila tidak dilandasi dengan pemahaman yang benar tentang Tuhan yang esa. Penulis menyerukan perlunya mengembangkan pola pikir yang lebih kritis dan mendalam, berlandaskan ilmu, agar tidak terjebak dalam tipuan yang muncul dari keduanya.

    Penting untuk menyadari bahwa baik syariat maupun hakikat harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dan tidak boleh menggantikan pengenalan akan Tuhan yang sebenar. Ketika kedua aspek ini dijadikan alat untuk mendapatkan pahala semata, tanpa mengedepankan esensi hubungan dengan Allah, maka kita bisa terjebak dalam bentuk keberagamaan yang kehilangan makna sejatinya. Intinya, penulis mengajak kita untuk membebaskan diri dari pemikiran sempit dan mengarahkan hati serta pikiran kepada Allah yang esa, di atas sekadar menjalankan syariat atau mengalami hakikat.

    BalasHapus
  5. Nama : Junita
    Nim : 12401138
    Kelas : 1E
    Prodi Pendidikan Agama Islam.

    Teks yang ditulis oleh bapak Ma'ruf Zahran Sabran ini menyoroti perbedaan antara syariat dan hakikat dalam agama, di mana banyak orang terjebak dalam ilusi yang ditawarkan oleh keduanya. Syariat dianggap sebagai hukum lahiriah, sedangkan hakikat berfokus pada aspek batiniah. Penulis mengajak pembaca untuk melepaskan diri dari penjara syariat dan hakikat, serta mencari hubungan langsung dengan Tuhan yang esa. Selain itu, ia memperingatkan bahwa pengukuran ibadah yang berbasis kuantitas dapat mengarah pada kesyirikan, dan bahwa iman sejati hanya dapat dicapai melalui pengalaman spiritual yang mendalam.

    BalasHapus
  6. Nama : Nadia (12401146)
    kelas : 1E
    Prodi : Pendidikan Agama Islam

    Tulisan yang berjudul "Puncak Kesejatian" menyajikan pandangan yang mendalam dan provokatif mengenai perbedaan antara syariat dan hakikat dalam beragama. Penulis mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana banyak orang terjebak dalam pengertian yang sempit tentang agama, terkurung dalam kerangka syariat semata, dan lupa akan esensi hakikat yang lebih dalam.
    Salah satu poin penting yang disampaikan adalah bahwa syariat sering kali dianggap sebagai hukum yang kaku dan membatasi, sementara hakikat menawarkan kebebasan dan kedamaian. Penulis menekankan perlunya memahami bahwa syariat dan hakikat seharusnya saling melengkapi, bukan saling bertentangan. Meskipun syariat penting untuk kehidupan sosial dan tatanan moral, hakikatlah yang membawa kita lebih dekat kepada Tuhan.
    Pernyataan bahwa iman, ilmu, dan amal bisa menjadi tipuan yang mempersekutukan Allah menantang kita untuk mengevaluasi motivasi di balik praktik keagamaan kita. Apakah kita beramal hanya untuk mendapatkan pahala, ataukah kita melakukannya sebagai bentuk cinta dan pengabdian kepada Tuhan
    Tulisan ini juga mengingatkan kita akan bahaya pemahaman yang dangkal tentang agama, di mana banyak orang terjebak dalam kuantitas ibadah tanpa memahami makna dan tujuan sebenarnya. Peringatan tentang 'tuhan-tuhan' yang muncul dari praktik keagamaan yang tidak murni menjadi refleksi penting bagi kita semua untuk kembali memperbaiki niat dalam beribadah.
    Secara keseluruhan, tulisan ini mengajak kita untuk menggali lebih dalam makna keesaan dan menghindari jebakan pemikiran yang sempit. Pesannya sangat relevan dalam konteks kehidupan beragama saat ini, di mana banyak orang berusaha mencari kedamaian spiritual di tengah tuntutan dunia yang semakin kompleks.

    BalasHapus
  7. Nama : Ruli
    Nim : 12401126
    Kelas : 1E

    Komentar:
    Materi ini menggugah untuk melewati batasan syariat dan hakikat menuju kesadaran Ilahi yang sejati. Penekanan diberikan pada pembebasan diri dari jeratan hukum lahiriah dan batiniah, baik itu syariat maupun hakikat, untuk mencapai keesaan (ahadiyah). Materi ini juga menyoroti bahaya tipuan pahala, dosa, serta jebakan kuantitas dan kualitas dalam beragama yang dapat menghalangi perjalanan menuju Tuhan yang benar. Esensinya, manusia diajak melampaui lapisan hijab menuju kesatuan mutlak dengan Allah.

    BalasHapus
  8. Nama : Khairunnisa
    Nim : 12401137
    Kelas : 1E
    Prodi : Pendidikan Agama Islam

    Artikel ini membahas tentang " Puncak Kesejatian " yang dikaji oleh bapak Ma'ruf Zahran Sabran, dimana artikel ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang perbedaan antara syariat dan hakikat. Syariat, yang lebih berkaitan dengan aturan lahiriah, bisa dianggap sebagai " penjara" yang mengikat manusia pada norma dan kewajiban. Sementara hakikat berfokus pada dimensi batiniah, yang berhubungan dengan pencarian kebenaran dan kedekatan dengan tuhan. Artikel ini mengajak manusia untuk tidak terjebak dalam sekadar kewajiban. Melainkan untuk mengejar pemahaman yang lebih dalam, yang melibatkan pengembangan akal, ilmu dan spiritualitas. Manusia diarahkan untuk memahami bahwa hidup damai dan merdeka datang dari pencarian hakikat sejati, bukan sekedar mematuhi aturan semata.

    BalasHapus
  9. Artikel yang ditulis oleh Bapak Marouf Zahran Sabran berjudul “Puncak Keaslian” yang diunggah di website pribadinya pada tanggal 13 November 2024 adalah tentang mengaitkan agama dengan syariat, serta agama dan alam.
    Kedua undang-undang tersebut memiliki hukuman.
    Ikatan yang mengikat, tali yang mengikat, penjara yang mengurung.
    Penulis mengkritik pemahaman agama yang terjebak dalam syariat (aturan eksternal) dan esensi (pemenuhan internal), yang dipandang sebagai “penjara” yang membatasi pemahaman sejati tentang Tuhan.
    Kritik ini begitu tajam sehingga banyak orang yang meyakini bahwa kehidupan sehari-hari beragama hanya berfokus pada kuantitas dan bentuk (misalnya ibadah berjamaah dan akumulasi pahala) tanpa menyadari hakikat sebenarnya perbedaan antara syariah dan apa yang melampaui esensinya terjebak dalam kehidupan.
    Menurut penulis, hal ini merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap ``tuhan'' selain Tuhan Yang Maha Esa, dimana manusia mencari jumlah, pahala, dan status dibandingkan kesatuan dengan Tuhan Yang Maha Absolut.
    Lebih lanjut, ayat Surah al-Kahfi (ayat 100-106) tersebut menggambarkan orang-orang yang terjebak dalam tipu daya duniawi dan amal yang tidak jujur.
    Hal ini memperingatkan kita untuk tidak terjun ke dalam hiruk pikuk filantropi tanpa memahami sifat dan tujuan sebenarnya.
    Secara keseluruhan, artikel ini mengajak kita untuk tetap waspada terhadap tipu muslihat yang mencari pahala atau atribut spiritual, dan terus berupaya agar ibadah kita tetap fokus pada niat yang benar: mendekatkan diri kepada Tuhan daripada memuji.
    , gelar atau kompensasi.
    hanya.

    BalasHapus
  10. Artikel "Puncak Kesejatian" mengajak pembaca untuk memahami agama lebih dalam, melampaui sekadar menjalankan aturan (syariat) atau memahami makna batinnya (hakikat). Penulis mengingatkan agar kita tidak hanya fokus pada pahala, dosa, atau sifat-sifat baik tanpa benar-benar mengenal Allah.

    Pendekatan dalam artikel ini bernuansa sufistik, tetapi ada bagian yang terasa ekstrem, seperti saat penulis menyebut syariat dan hakikat sebagai "penjara." Padahal, jika dimengerti dengan benar, keduanya adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Intinya, artikel ini mengajarkan pentingnya beragama dengan hati yang ikhlas dan tidak hanya terpaku pada aturan atau simbol agama.

    BalasHapus
  11. artikel yang berjudul "puncak kesajitian" meneceritakan tentang Ketika menakar agama dengan syariat dan menakar agama dengan hakikat, banyak manusia tertipu, sebab keduanya adalah hukum yang menghukum. Ikatan yang mengikat, jeratan yang menjerat, penjara yang memenjara. Buang penjara itu, menuju Tuhan yang esa. Apakah ada tuhan-tuhan selain Aku (Allah). Syariat bukan Aku, hakikat bukan Aku.

    Syariat menghukum manusia secara lahiriah, hakikat menghukum manusia secara batiniah. Bagaimana manusia supaya hidup damai, aman, tertib, bebas, merdeka, berani, dan tidak terpenjara oleh rasa takut dosa dan harap pahala. Disini, manusia dituntut untuk mengembangkan pola pikir. Berproses, variabel pendidikan, keluarga, lingkungan, penelitian, pemikiran, akal sehat yang diasah, sangat mampu menembus tujuh petala langit dan bumi. Bahkan, mampu menembus keduanya, melintasi isra' (bumi), melintasi miraj (langit) dan melintasi ahad (diatas bumi dan langit). Ditantang Tuhan dalam firman-Nya: "Hai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah! Kamu tidak akan sanggup menembusnya, kecuali dengan ilmu." (Arrahman:33).

    BalasHapus
  12. Nama:Maryanti
    Nim:12401139
    Kelas:1E
    Prodi:PAI
    Menurut saya Tulisan Puncak Kesejatian oleh Ma'ruf Zahran Sabran mengkritik pandangan yang membedakan syariat (hukum agama) dan hakikat (kebenaran spiritual) sebagai dua hal terpisah. Beliau menegaskan bahwa keduanya bisa menjadi jebakan yang membelenggu, karena syariat hanya mengatur lahiriah dan hakikat hanya menyentuh batiniah. Tujuan sejati beragama, mungkin menurut beliau, adalah untuk menyatu dengan Tuhan yang Maha Esa, melampaui segala bentuk ikatan dan tipuan yang berfokus pada pahala, dosa, atau kuantitas amal.mungkin beliau mengajak para pembaca untuk menghindari perangkap ini dan mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang ketunggalan Tuhan.

    BalasHapus
  13. Nama : Muhammad Dezarino Zeffirelly Febrian
    Nim : 12401131
    Prodi : Pendidikan Agama Islam
    Kelas : 1E

    Tulisan yang disajikan memuat sebuah pesan penting bahwa hakikat dan syari'at sering kali menipu banyak manusia yang sudah mendalami hakikat dan syari'at.

    Orang syari'at tertipu dengan adanya pahala syari'at padahal hal ini seringkali menjadi penghambat untuk mencapai sebuah kebebasan dari sang esa.

    Orang hakikat (kuantitas) sering kali tertipu dengan adanya pahala hakikat yaitu simbol dan makna kebaikan seperti sering sholat berjamaah dan tepat waktu, semakin banyak jamaahnya maka semakin besar pahalanya dan seakan-akan mereka menciptakan tuhan sendiri yaitu tuhan jama'ah,tuhan waktu, tuhan pahala sehingga melupakan tuhan yang sebenarnya tuhan yaitu Allah SWT.

    Orang hakikat (kualitas) sering kali tertipu dengan melakukan sifat-sifat yang baik seperti qana'ah, Istiqomah, tawaddhu' dll, padahal dengan hal itu mereka secara tidak sadar membelenggu diri sendiri, keluarga, dan orang lain sehingga mereka lupa apa tujuan asli dari mereka bersifat seperti itu.

    Kesimpulannya beragama baik secara hakikat maupun syariat bukan tentang menghitung pahala namun beragama adalah sebuah perjalanan menuju Allah SWT tanpa hijab syari'at dan hakikat dan hanya menjadikan syari'at dan hakikat sebuah alat bukan sebagai tuhan Wallahu a'lam.

    BalasHapus
  14. Nama: Nanda Nabila Valesca
    Nim : 12401129
    kelas : 1 E
    Jadi menurut saya artikel ini membahas Artikel yang ditulis oleh Ma'ruf Zahran Sabran ini mengandung pemikiran yang cukup dalam mengenai hubungan antara syariat hukum agama yang bersifat lahiriah dan hakikat Ma'ruf Zahran Sabran membahas dua konsep besar dalam agama, yaitu syariat dan hakikat Kedua hal ini, meskipun penting, menurut Maru`f Zahran sering kali menjadi sumber kesalahan dan tipu daya bagi manusia dalam memahami hakikat Tuhan.
    Syariat sebagai hukum agama yang mengatur perilaku lahiriah, misalnya salat, puasa, zakat, dan lainnya, sering kali menjadi fokus utama banyak orang. Namun, Mar`uf Zahran mengingatkan bahwa hanya menjalankan syariat saja tidak cukup, karena itu bisa menjadi penjara yang membatasi manusia untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Allah. Syariat bisa mengarah pada kesadaran hukum semata, tanpa mencapai makna batin yang sejati.

    Di sisi lain, hakikat adalah pencapaian batiniah yang lebih tinggi, yang melampaui sekadar ritual agama. Hakikat mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaan Tuhan yang Esa. Namun, meskipun lebih tinggi, hakikat pun bisa menjadi tipuan Orang yang merasa telah mencapai tingkat hakikat, bisa jatuh dalam perangkap keakuan, yaitu merasa lebih tinggi atau lebih benar dibandingkan yang lain, meskipun sebenarnya mereka masih terjebak dalam kesan-kesan duniawi seperti pahala ibadah atau bahkan cinta yang tidak tulus kepada Tuhan. Maruf Zahran Sabran juga menyoroti bahwa baik syariat maupun hakikat bisa menyesatkan apabila tujuan akhirnya tidak adalah "kesatuan dengan Tuhan" yang Maha Esa. Iman, ilmu, dan amal yang tampak baik pada pandangan manusia, bisa menjadi batu sandungan, karena di baliknya masih bisa tersembunyi perasaan riya’(ingin dilihat orang), kesombongan, atau penyembahan terhadap simbol (seperti masjid, jamaah, atau waktu tertentu) yang menggantikan Allah yang sebenarnya.
    Kesimpulan:
    Artikel ini mengajak kita untuk lebih waspada terhadap dua hal yang sering kali dianggap baik, yaitu "syariat" dan "hakikat". Keduanya bisa menjadi alat untuk menuju Tuhan, tetapi juga bisa menjadi "penjara"yang membatasi kebebasan spiritual seseorang jika tidak dipahami dengan benar. Tujuan sejati agama adalah mencapai "kesatuan dengan Tuhan", yang tidak bisa tercapai hanya dengan mengikuti aturan lahiriah (syariat) atau mengejar kualitas batin yang hanya berfokus pada perasaan atau status tertentu (hakikat). Oleh karena itu, "kesadaran bahwa Allah adalah satu-satunya" tujuan yang harus dicapai dalam kehidupan adalah inti dari ajaran agama yang sejati. Mar`uf zahran sabran mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada lapisan-lapisan hijab atau tipuan, baik yang ada dalam syariat maupun hakikat, dan selalu berusaha mencari keesaan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.

    BalasHapus
  15. Nama: Nadiah
    Nim:12401128
    Kelas:1E
    Prodi:PAI
    Artikel yg di tulis oleh bapak ma'ruf zahran sabran yang berjudul "Puncak Kesejatian" mrnjrlaskan tentang kita yang mana ketika kita menakar agama fengan syariat, agama dengan hakikat, banyak manusia tertipu, sebab keduanya adalah hukum yang menghukum. Ikatan yang mengikat, jeratan yang menjerat, penjara yang memenjara. Syariat di anggap sebagai hukum lahiriah, sedangkan hakikat berfokus pada aspek batiniah. Dituliskan bila dikata bumi adalah syariat, tembuskan dan musnahkan syariat, hilangkan diat beragama. Bila dikata langit adalah hakikat, tembuskan dan musnahkan hakikat, hilangkan giat bertuhan. Terbang dan bersatulah dengan sang esa (ahadiyah). Bila tidak, kita akan dituntut oleh digit item pahala syariat dan oahala hakikat. Tipuan syariat sebagai bahan pengantar cikal bakal kejahatan. Artinya, debgan pertimbangan neraca syariat yang berpahala (untung), dan dengan pertimbangan neraca syariat bermuatan materi dosa(rugi) itulah,parameter penghukum diri sendiri dan orang lain. Item yang digunakan adalah simbol dan makna kebaikan (khairiyyah) seperti indikator sholat berjemaah dan tepat waktu. Semakin banyak jamaahnya, semkain banyak pahalanya beragama di ukur dengan banyak dan sedikit (kuantitas).

    BalasHapus
  16. Nama : lili rahmawati
    Nim : 12401123
    Kelas : 1E
    Prodi : PAI
    Tulisan yang berjudul "puncak kesejatian" yang ditulis oleh bapak ma' ruf Zahran Sabran ini menyoroti tentang perbedaan antara syariat dan hakikat dalam agama. Yang dimana banyak orang terjebak dalam ilusi dan tipuan dalam pencarian spiritualitas,terutama terkait dengan pengertian pahala dan berbagai kualitas atau derajat spiritual yang sering dianggap sebagai tujuan agama dalam ibadah. Tulisan ini juga mengingatkan kita akan bahayanya pemahaman yang dangkal tentang agama. Secara keseluruhan tulisan ini mengajak kita untuk menggali lebih dalam tentang makna keesaan Allah dan menghindari dari jebakan pemikiran yang sempit.

    BalasHapus
  17. Nama : Uray Raysa Anjiza
    NIM : 12401124
    Kelas : 1E
    Prodi : PAI
    Menurut saya tak banyak orang yang peka terhadap perbedaan atau pembahasan antara syatiat dan hakikat, namun Bapak Ma'ruf dapat menuliskan keduanya dengan susunan kata yang mudah untuk kami pahami.Dalam tulisan beliau ini dengan judul PUNCAK KESEJATIAN merupakan salah satu tulisan wajib untuk dibaca karna banyak hal-hal yang baru kita ketahui, contohnya saya baru tau bahwa banyak orang-orang terkadang tertipu dengan yang dijanjikan oleh pahala syariat dan pahala hakikat. seakan-akan kita manusia melakuakan praktek-praktek ibadah karna pahala semata tidak dengan harapan mendapat ridho dan dapat mendekatkan diri pada sang Maha Pencipta takni Allah SWT.

    BalasHapus
  18. Nama : Rayhan
    Nim : 12401148
    Kelas : 1E
    Prodi : PAI

    Komentar artikel
    Artikel ini mengajak pembaca untuk merenung tentang dua aspek dalam agama: syariat (hukum lahiriah) dan hakikat (kebenaran batiniah). Penulis menyarankan agar manusia tidak terperangkap dalam ikatan syariat yang menilai dengan kuantitas dan dosa pahala, maupun dalam tipuan hakikat yang mementingkan kualitas lahiriah seperti sabar, tawakkal, atau amal tanpa kesadaran hakiki tentang Tuhan yang Maha Esa. Intinya, artikel ini mengkritik pemahaman agama yang terjebak pada simbolisme atau ritual tanpa memahami esensi sejati dari hubungan dengan Tuhan, yaitu kesatuan dan ketuhanan yang tak terbagi (Ahad). Penulis mengingatkan agar kita berfokus pada kesatuan Tuhan, bukan pada perhitungan pahala atau dosa, yang bisa menjadi penghalang utama dalam perjalanan spiritual.

    BalasHapus
  19. Nama : Muhammad Zacky Nazril
    Nim : 12401122
    Kelas : 1E
    Prodi : PAI

    Komentar terhadap tulisan ini dapat dilihat dalam konteks pandangan spiritual dan esoterik dalam Islam, terutama mengenai bahaya terjebaknya umat dalam tipu daya yang disamarkan sebagai kebaikan atau pahala. Menurut tulisan ini, banyak manusia terjebak dalam persepsi tentang Tuhan yang terfragmentasi, seperti "Tuhan masjid," "Tuhan jamaah," atau "Tuhan waktu," yang bisa mengarahkan mereka pada pemahaman yang terbatas dan terpisah-pisah, alih-alih menyembah Tuhan yang Maha Esa.

    Iblis, dalam pandangan ini, dikatakan berusaha mengalihkan perhatian umat dengan memberikan ilusi pahala dan kesalehan yang pada dasarnya adalah tipuan untuk melupakan Tuhan yang sesungguhnya. Ini juga mengarah pada kritik terhadap konsep-konsep spiritual tertentu yang bisa jadi hanya menjadi jalan menuju kesombongan diri atau penipuan batin. Beberapa istilah seperti sabar, syukur, tawakkal, dan lain-lain disebutkan sebagai bentuk penipuan hakikat yang "sopan" atau "santun," yang bisa memenjarakan jiwa seseorang dalam label-label yang tak membawa pada hakikat iman yang sejati.

    Tulisan ini mengingatkan agar kita berhati-hati terhadap segala bentuk “derajat” atau “kualitas” spiritual yang tampak mulia namun tidak mencerminkan ketulusan menuju Tuhan yang Maha Esa. Dan pada akhirnya, jika seseorang belum benar-benar menyatu dengan Tuhan, maka ia bukanlah orang yang beriman meski menjalankan amal ibadah yang terlihat. Kebenaran yang dimaksud adalah kesatuan dan ketulusan hati dalam mengenal Tuhan, bukan sekadar amal atau label spiritual.

    Pesan ini juga merujuk pada ayat-ayat dalam Surah Al-Kahfi yang mengingatkan tentang orang-orang yang merasa telah mencapai kesalehan atau pengetahuan yang tinggi, tetapi sebenarnya mereka telah tertipu oleh dunia dan kebanggaan diri mereka sendiri. Dalam konteks ini, hakikat sejati adalah kembali kepada kesadaran akan Tuhan yang Maha Esa, bukan hanya terjebak dalam lapisan-lapisan lahiriah amal dan sifat-sifat yang tampak.

    Dengan demikian, tulisan ini mengajak untuk melakukan refleksi mendalam tentang keimanan dan memeriksa apakah kita benar-benar menyembah Tuhan yang Maha Esa, ataukah kita hanya terperangkap dalam kesalahan persepsi yang dibawa oleh kesalehan semu.

    BalasHapus
  20. Nama : Anggun Amalia
    Nim : 12401142
    Kelas : 1e
    Prodi : Pendidikan Agama Islam
    Komentar:
    Materi ini membahas fenomena penyimpangan motivasi dalam beribadah, di mana banyak orang lebih fokus pada "pahala" dan simbol-simbol agama (seperti masjid, ritual, angka keutamaan) dibandingkan kepada Tuhan yang sejati. Penulis menyatakan bahwa iblis menggoda manusia dengan iming-iming pahala sehingga mereka melupakan hakikat hubungan dengan Tuhan.
    Selain itu, pada tingkat hakikat (kualitas), nilai-nilai seperti sabar, syukur, tawakkal, dan sebagainya dapat menjadi jerat halus jika hanya dijadikan tujuan tanpa bertemu dan menyatu dengan Tuhan (tauhid). Penulis mengkritik bahwa banyak yang terjebak dalam kepalsuan kualitas ini, bahkan mengikat orang lain dalam kerangka nilai tersebut, sehingga melupakan esensi iman. Ia mengacu pada Surah Al-Kahfi 100-106 yang menggambarkan orang-orang yang amalnya tertipu oleh ilusi duniawi dan spiritual. Intinya, iman sejati baru ada ketika seseorang benar-benar menyatu dengan Tuhan, bukan sekadar terjebak dalam simbol atau kualitas.

    BalasHapus
  21. Nama :Rina
    Nim:12401132
    Kelas:1E
    Prodi: pendidikan agama Islam
    Artikel "Puncak Kesejatian" oleh Ma'ruf Zahran Sabran mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara syariat dan hakikat dalam agama. Penulis menekankan bahwa keduanya sering kali dapat menjadi jebakan yang membatasi pemahaman sejati tentang Tuhan.

    Dalam pandangan saya, artikel ini sangat relevan, mengingat banyak orang terjebak dalam rutinitas beragama yang hanya fokus pada aspek lahiriah (syariat) tanpa menyadari esensi batiniah (hakikat). Penulis dengan tajam mengkritik pemujaan terhadap simbol-simbol agama dan pahala, yang dapat mengalihkan perhatian dari hubungan yang lebih dalam dengan Tuhan.

    Pesan penting yang bisa diambil adalah perlunya kesadaran akan tujuan sejati beragama: mencapai kesatuan dengan Tuhan yang Esa. Kesadaran ini mendorong kita untuk tidak hanya menjalankan ibadah secara mekanis, tetapi juga menggali makna spiritual yang lebih dalam dari setiap amal kita.

    Saya setuju dengan ajakan penulis untuk lebih introspektif dan kritis dalam memahami praktik keagamaan, sehingga kita tidak terjebak dalam ilusi yang dapat memisahkan kita dari pengalman spiritual yang tulus

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

AJAKAN PERDAMAIAN MENJADI TUGAS KESEMESTAAN