GLOBALISASI DAN RESPON MUSLIM INDONESIA

 

GLOBALISASI DAN RESPON MUSLIM INDONESIA

Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran

Nilai Islam lebih dari sebatas globalisasi. Dunia global dalam pandangan ajaran, doktrin Islam masih rendah, kecil, sementara. Makna "duna" adalah rendah, kecil, atau hina. Demikian pula kesenangan dunia adalah "duna". Diambil dari kata duna, kemudian menjadi kata dunia.

Antitesa globalisasi adalah eskatologi. Secara face to face, dunia vs akhirat. Namun, tidak dengan pandangan Islam. Dia berdiri sendiri, unik dalam menyikapinya. Dunia bukan lawan dari akhirat, dan akhirat bukan lawan dari dunia. Totally, ajaran ibadah dalam Islam mengandung dimensi horizontal, vertikal dan post-vertikal. Bukan hanya meta-kognisi, tidak sebatas meta AI, chat GPT, atau program Gemini. Semuanya, kecerdasan buatan manusia untuk memahami bahasa alam.

Tuhan banyak berbicara tentang dua alam. Alam dunia dan alam akhirat. Keduanya positif dalam ajaran-Nya. Dalam makna, dunia merupakan sawah ladang akhirat (ad-duniya mazra'atul akhirah). Nilai balancing (tawazzuniyah) terdapat pada surah Al-Qasas:77. "Dan carilah apa-apa yang didatangkan Allah kepada-mu tentang (anugerah) akhirat. Dan jangan lupakan nasibmu di dunia, dan berbuat baiklah, seperti Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan jangan kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Bukan orang yang terbaik diantara kamu, orang yang mengambil dunia, dengan meninggalkan akhiratnya. Atau orang yang mengambil akhiratnya dengan cara meninggalkan dunianya. Namun orang yang terbaik diantara kamu, adalah mereka yang seimbang." Hadis ini ditutup dengan pernyataan etos kerja, "walatakunu kallan 'alan-nas" (dan jangan kamu menjadi beban manusia). Karena itu, Islam menyuruh bekerja. Semua kerja adalah mulia, Nabi menyuruh, bekerja-lah kamu seperti Daud, Daud bekerja dengan tangan-nya sendiri (tukang besi). Oleh sebab itu, doktrin Islam dan peradaban melarang praktik ribawi yang memandulkan kerja, kecuali "membungakan uang." Selain melemahkan rasa berkemanusiaan yang adil dan beradab, ukhuwah (persaudaraan). Juga menumpulkan rasa berketuhanan yang maha esa.

Realitanya, ekonomi global menindas ekonomi lokal. Bila tanpa pembatasan kekuasaan ekonomi, gurita oligarki politik dan ekonomi ialah mesin penggilas rakyat. By sistem, mereka menindas rakyat berdasarkan aturan yang buat-buat. Eksploitasi terhadap pekerja berlindung dibalik regulasi dan ordonansi yang direkayasa. Betapa jahatnya, kezaliman berjamaah (kolusi penguasa dan pengusaha). Sebab, kekuasaan sangat cenderung untuk korup (the power is corrupt). "Kong-kaling-kong tiga lingkaran, legislator, eksekutor, yudikator.

Akses untuk berkesejahteraan dan berkemajuan sangat terbuka luas di era digital yang mencirikan globalisasi. Hanya, SDM bangsa Indonesia yang kalah saing dengan SDM bangsa-bangsa di dunia. Lihat, berapa banyak generasi muda Indonesia yang sekolah dan kuliah di universitas dunia. Tidak ada, kecuali sedikit. Biaya hidup yang mahal dengan kurs Dolar. Kini, minimal diharapkan rata-rata bangsa Indonesia wajib belajar dua belas tahun (SMA sederajat). Sekolah di dalam negeri, tentu lebih mudah dan murah.

Globalisasi sudah sejak dulu telah Islam praktikkan, sebagai "kawah candradimuka". Tuntutlah ilmu di negeri Timur Jauh, Cina, Jepang dan kawasan sekitar. Negeri tua, Cina Selatan (Yunan) adalah asal negeri atau nenek moyang bangsa Indonesia. Adakah indikator bahwa pasukan panji hitam dari Timur yang akan membebaskan Palestina (thaifah manshurah) berasal dari Indonesia, melihat asal genus tersebut? Atau, pemikiran baru Islam post-modern yang sekarang sedang marak di Indonesia, adalah cikal-bakal (embrio) awal kebangkitan abad ini (2000-2100). Wallahua'lam!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI