IMIGRAN BANJAR MEMBAWA SULUH AGAMA
IMIGRAN BANJAR MEMBAWA SULUH AGAMA
Oleh
Ma'ruf Zahran Sabran
Imigran banjar telah terkenal sejak dulu.
Terutama pada pertengahan abad ke-16 Masehi (tahun 1750). Ide penggagas dan
dipelopori, didukung oleh Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, dengan
Sultan Tahliliyah dan Pangeran Hidayat.
Imigrasi, dari "banua" banjar ke "banua" lain. Tidak
berlebihan bila suku banjar adalah satu, tapi ada dimana-mana. Baik sebagai
ansar (penolong) maupun muhajirin (pendatang). Berabad-abad mereka menyiarkan
Islam, namun tidak mengambil upah dari dakwah mereka. Untuk kehidupan
sehari-hari, mereka berdagang dengan jujur, sehingga dakwah mereka menjadi
mujur. Ada pula keseharian mereka "bepandai." Profesi tukang besi
yang mereka bawa dari negeri leluhur yaitu Nagara, Daha Selatan, sekarang masuk
pada wilayah Kabupaten HSS (Hulu Sungai Selatan) Kalimantan Selatan, menjadi
mata pencaharian sehari-hari.
Berbeda sekali dengan oknum pendakwah sekarang
ini. Itu kebanyakan disebabkan mereka berharap upah dari seruan pengajian
mereka. Bahkan, bagi da'i kondang bisa menembus tarif, 200.000.000 sampai 500.
000.000 (setengah miliar). Apa bedanya da'i dengan artis? Dari tempo
"doeloe", urang bahari baujar: "Ada baras banyu di rumah, sugeh
pang sudah" (dengan idealek orang pehuluan banjar).
Apa beda guru dahulu dengan guru sekarang?
Guru dahulu mengajar dengan hati, guru sekarang? Penulis tidak tahu. Sebab,
guru sekarang banyak tuntutan administrasi dan birokrasi kedinasan.
Benar kata pepatah, "tanda lebih adalah
memberi." Artinya, kaukus wilayah banjar lebih dahulu menjadi masyarakat
terpelajar dari pada yang lain. Habitus borneo selatan, lebih maju daripada
habitus borneo tengah, utara, timur, barat. Keberadaan ulama-ulama banjar
adalah para perantau (muhajirin). Penyebar Islam yang militan dan ramah. Tidak
membebani umat, tetapi mengurai benang kusut masyarakat. Mengajar cara
berdagang, bermuamalah yang Islami tanpa praktik ribawi. Mengajak bermuasyarah
bil ma'ruf, bukan bermuasyarah bil mungkar. Ciri yang mengemuka adalah orang
banjar pandai menyesuaikan diri. Dimana saja mereka berada, tidak pernah
terjadi konflik atas nama suku. "Dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung." Bukan bahasa yang menyatukan mereka, namun hati yang bersatu. Buktinya,
banyak keturunan generasi banjar perantau yang tidak lagi dapat berbahasa
leluhur. Mereka berbaur, mereka menyatu. Setiap negeri ada bahasa, ikutilah
bahasa kaum-nya. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar