43. Al-Karim (Maha memberi lebih daripada apa yang kita minta)
43. Al-Karim (Maha memberi lebih daripada apa yang kita minta)
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Berkata Imam Al-Ghazali (wafat: 1111 M) dalam kitab
Asmaulhusna tentang arti Alkarim untuk menuju ke pemahaman holistik (murni)
komprehensif (utuh). Diantaranya, kata "karim" berarti Dia yang maha
memberi lebih daripada apa yang kita minta.
Allahulkarim sang pencipta sangat santun dalam
kemurahan dan pemberian. Alkarim
menciptakan alam semesta adalah untuk manusia. Manusia untuk Tuhan. Maksudnya,
alam semesta yang bekerja untuk mengabdikan diri kepada manusia.
Manusia jangan mengabdi kepada alam semesta. Ironis
bila ini terjadi, makhluk yang tinggi kedudukannya, sesempurna penciptaan (fi
ahsani taqwim), diutamakan (khalaqna tafdhila) menyembah kepada yang lebih
rendah derajat-nya (dunia). Seharusnya, dunia yang melayani manusia, bukan
manusia yang melayani dunia. Dengan kata lain, manusia harus dapat memperbudak
dunia, bukan dunia yang memperbudak manusia. Temukan jalan kebebasan ini!
Niscaya, bila telah ditemukan, maka merdeka selamanya!
Apa yang sekarang dengan sengaja menjajah kebanyakan
manusia adalah materi. Nama-nama materi menjadi angan-angan. Hidup dalam
angan-angan (harapan) adalah penderitaan. Lepaskan penderitaan, nikmati
realita. Itulah kemerdekaan sejati. Atau sebaliknya, hidup dalam ketakutan.
Lepaskan ketakutan, hidup dalam alam kebebasan. Itulah kemerdekaan hakiki.
Ternyata, harap dan takut (cemas) merupakan belenggu yang mengikat rohani.
Sebagian manusia mencari dunia untuk memuaskan
napsu. Pola ini adalah cara untuk mengatasi kecemasan dan ketakutan terhadap
bayang-bayang hantu kemiskinan. Sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Namun, jika hati mereka berharap ingin kaya, ingin kaya itulah penjara rohani.
Hukum dunia ialah, orang yang ingin kaya, selamanya tidak akan pernah kaya.
Sebab, mengumpulkan kekayaan menyimpan rasa tidak puas. Atau masih menyisakan
rasa takut miskin. Buang rasa takut, songsong kebahagiaan. Buang rasa cemas,
sambut ketenangan hati.
Tuhan tidak menuntut manusia untuk sempurna. Sebab
mustahil manusia bisa sempurna. Namun dituntut agar menyadari kelemahan diri,
supaya memantik sikap menghormati sesama. Menyadari kelebihan diri, guna mampu
berbagi. Manusia banyak mengumpulkan bungkus tanpa isi, menumpuk kotak, kulit
bukan daging.
Alquran mengibaratkan seperti mengumpulkan buih.
Diantara makna buih adalah harta yang tidak disedekahkan, namun ditumpuk
sehingga kehilangan makna manfaat harta bagi orang lain. Sebab, kebanyakan
orang kaya menahan dalam pemberian. Sikap ini pertanda kufur kepada nama Allah
Alkarim (maha pemurah).
Betapa tidak, sesuatu yang bernilai akan tersimpan
di bumi lagi bermanfaat. Sedang sesuatu yang tidak bernilai, akan menjadi buih
di laut, tidak berharga lagi tidak bermanfaat. Bermanfaat dan tidak, sangat
tergantung kepada iman tauhid. Tatkala salah menyembah Tuhan, niscaya merugi di
dunia dan di akhirat. Berguna saat hidup, berguna saat mati, dan berguna ketika
di akhirat adalah iman. Tanpa iman, hidup laksana buih, terombang-ambing tanpa
tujuan. Buih, terdampar di pantai tiada berguna, terlempar ke laut tidak ada
maslahat. Maknanya, bermental buih, selamanya tidak memiliki prinsip, labil
(tidak stabil). Kalam suci Tuhan dalam pesan ibarat: " ... Adapun buih,
akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna. Tetapi yang bermanfaat bagi
manusia, akan tetap tinggal di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan."
(Arra'du:17). Siapakah fenomena buih, mereka adalah orang-orang ingkar yang
menyembah berhala (selain Allah). Sebab, ketika salah tujuan berdoa, justru doa
menjadi sia-sia, tidak berpahala. Bahkan doa berbalik menjadi dosa syirik.
Allahulkarim pernyatakan dalam firman: "Hanya kepada Allah, doa yang
benar. Berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah, tidak dapat mengabulkan
apapun untuk mereka. Tidak ubahnya seperti orang yang membukakan kedua telapak
tangannya ke dalam air, supaya air sampai ke mulutnya. Padahal air itu tidak
akan sampai ke mulutnya. Dan tiadalah doa orang-orang kafir, kecuali dalam
kesia-siaan." (Arra'du:14).
Allahulkarim menciptakan manusia dengan kemurahan,
menjadikan dan mencintai kemurahan. Dengan nama dan sifat Alkarim, Dia marah
bila setiap ada kesulitan tidak mengadu kepada-Nya. Apalagi, mengadukan
persoalan kepada selain Dia.
Allahulkarim senang bila kita terus menerus memahami
anugerah ilmu dari-Nya. Ilmu dari-Nya bertingkat dan berlapis. Karena itu,
belajar ilmu tidak pernah habisnya. Kitab suci Alquran juga bertingkat untuk
dipahami. Versi Prof. Nasaruddin Umar (Menteri Agama RI) menerangkan pemahaman
terhadap Alquran secara bertahap. Mulai tahap Iqra' 1. Iqra' 2. Iqra' 3. Iqra'
4.
Iqra' 1 (satu), artinya pemahaman Alquran yang berkemampuan
sensorial (inderawi). Di tingkat ini, orang sudah bisa membaca, menghapal, dan
mengerti arti bahasa Alquran. Tingkat Iqra' satu adalah sangat dasar
(elementary), atau bersifat pemahaman
harfiah (bahasa). Misal, Arrahmanirrahim, artinya maha pengasih maha penyayang.
Sebatas ini, seseorang boleh disebut berkedudukan pada tingkat Iqra' satu
(dasar).
Iqra' 2
(dua), artinya pemahaman Alquran yang berkemampuan intelektual (pemikiran).
Orang yang berkedudukan pada tingkat Iqra' dua sudah memahami Alquran berbasis
ilmu pengetahuan. Iqra' dua telah
memposisikan ayat-ayat Alquran berguna sebagai data empirik dan untuk
kepentingan penelitian ilmiah. Tahap ini, sudah mengerti arti cinta (loving).
Namun menjadikan cinta dan benci sebagai objek kajian dan sasaran penelitian.
Kemungkinan, tahap ini membuat orang lain sebagai objek yang harus diajari.
Baik Iqra' satu maupun Iqra' dua sangat rentan untuk membid'ahkan orang lain
yang tidak sehaluan dengan pendapatnya. Dan sangat rawan untuk mengkafirkan
(takfiri) terhadap umat beragama. Sebab kerja Iqra' dua adalah kerja pendekatan
ilmiah. Mengidentifikasi, mencoba, menalar, membandingkan, mengelompokkan,
mengurai, memberi makna, menganalisis sebab dan memprediksi akibat. Egoisme
kelompok sangat menonjol pada Iqra' satu dan dua. Mereka terjebak pada
kesulitan untuk memisahkan antara sikap yang benar atau sikap pembenaran!
Iqra' 3 (tiga) bermuatan pemahaman Alquran dengan
pendekatan emosional. Tataran rasa sudah aktif, aktif dalam cinta (in loving).
Tuhan sebagai sumber referensi cinta sudah ingin diteladani oleh si pembaca
Alquran. Pada tataran ketiga sudah terjadi intensitas rasa lewat
isyarat-isyarat batin yang sulit untuk dikisahkan. Namun bagi mereka yang sudah
memahami tanda Iqra' tiga, yaitu balutan luar dan kumparan dalam diri adalah
kasih, sayang, cinta, perhatian, tulus. Buku Iqra' yang ketiga ini sudah
berbicara pada kedalaman diri. Isyarat, firasat, hakikat merupakan item-item
yang hadir di labirin terdalam dari komponen hati dinamai fuad (fuadi). Sedang
labirin terluar dari komponen hati disebut shudur (shuduri). Fuadi menjadi
tugas kerja buku Iqra' tiga, sedang shuduri mereka ditugaskan bekerja di buku
Iqra' satu dan dua. Pada tingkat Iqra' tiga, seseorang sudah santun dalam
bentuk tidak lagi menyalahkan orang dan keadaan. Seseorang sudah sangat
berperilaku lembut. Sehingga bila dia menasehati, seseorang bisa dipengaruhi
(terhipnotis) tanpa merasa terkesan mengajari. Betapa halus kualitas Iqra'
tiga.
Iqra' 4 (empat) berpendekatan spiritual. Sebuah
pendekatan di luar nalar kebenaran (post-truth). Maha kebenaran (Alhaq) yang
menyifati Alquran dengan gelar kitab kebenaran, tiada mampu untuk diberikan
tafsir dan takwil. Akhirnya, Alquran lebih banyak yang tidak mampu ditafsirkan
daripada yang ditafsirkan. Penyerahan total kepada sang pemilik Alquran, ciri
jalan spiritualitas mereka. Mereka merasa tidak berhak untuk menerangkan isi
Alquran suci, kecuali setelah mendapat petunjuk dari Pemilik-Nya (Allah).
Mendapat madat (bantuan rohani) dari Tuhan, dan warid (inspirasi spiritual)
dari-Nya, Alkarim. Mereka adalah kelompok istimewa lagi istimewa
(khawasul-khawasul-khawas). Tentu, mereka adalah kualitas para nabi. Dan wali
Tuhan yang terangkat derajatnya pada kualitas kenabian (a prophet). Namun,
mereka bukan nabi formal (the prophet). Demikian, maha luas kemurahan Alkarim,
wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar