GAGASAN FIKIH EKOLOGI

 

GAGASAN FIKIH EKOLOGI

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

Syariat secara sederhana diartikan aturan (fikih). Aturan menyangkut dimensi luar diri manusia (dimensi lahir, nyata). Kenyataan ruang, waktu, situasi, kondisi, orang, barang, ikut menjadi pertimbangan dalam hukum. Penentuan sah, batal, halal, haram, makruh, mubah, mandub (anjuran) merupakan produk hasil ijtihad. Bila ditinjau dari hikmah syariat, syariat yang berhubungan dengan keluarga, kesehatan, pendidikan, sosial, peradaban, akan melahirkan tata aturan sosial (social order). Dari item perilaku dan ucapan, kemudian lahir fikih (hukum) keluarga, fikih (hukum) kesehatan, fikih muamalah (hukum jasa dan perbankan), fikih siasah (hukum politik), fikih tijarah (hukum perdagangan), fikih ekologi, dan sebagainya.

Diluar itu, bukan kewenangan syariat membahasnya. Sepanjang kenyataan, sepanjang itu pula pembahasan kajian fikih. Ibarat luas wilayah sorotan fikih adalah seluas daratan dan lautan (fil barri wal bahri).

Sekarang, fikih mengalami perkawinan dengan ilmu yang tidak sejenis, seperti fikih ekologi. Fikih ekologi berbicara tentang hukum lingkungan hidup. Hukum laut, hukum lahan yang mencakup hutan, kebun, sawah, ladang. Contoh, konsep ihyaul mawat (meremajakan lahan kosong). Perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan stakeholder, tanah (lahan tidur) sungguh banyak ditemukan di wilayah Indonesia. Tentu, milik orang-orang kaya (investor dalam dan luar negeri). Padahal, hari ini banyak petani yang menganggur. Kita bukan kekurangan lahan, tetapi lahan banyak yang belum digarap. Kondisi seperti ini, sangat dibenci Tuhan. "Supaya harta tidak beredar dikalangan orang-orang kaya saja (orang kaya diantara kamu)." (Alhasyr:7). Novelty fikih ekologi adalah mengundang konsep wakaf produktif berjangka dan tidak berjangka. Fikih ini yang belum memasyarakat. Karena, kebanyakan pengusaha berorientasi keuntungan untuk keuntungan, profit to profit (p to p). Masih sangat jarang yang berorientasi keuntungan untuk sosial.

Lahan tidur tadi, disepanjang jalan dipenuhi rerumputan dan pohon yang tidak terawat. Ketika ditanya, pemiliknya di Jakarta, Kuala Lumpur, Australia, Rusia, yang jelas bukan penduduk setempat. Penguasaan puluhan hektar hanya menjadi belantara liar di tepi jalan.

Fikih ekologi kurang mendapat perhatian serius. Gagasannya, disamping banyak melibatkan para pihak, juga perangkat hukum. Dalam konteks ini, skala global bersifat mendunia. Skala lokal keterlibatan pemerintahan pusat dan daerah, serta masyarakat yang memiliki hak ulayat tentang lokasi kawasan hutan, lahan, dan pemukiman.

Ketimpangan hak lingkungan dan ketidakadilan ekologi banyak terjadi. Seakan hukum menjadi naungan bagi orang berduit, kolusi penguasa dan pengusaha (pemerintahan oligarki) dari pusat sampai daerah, membuat suram wajah ekonomi kerakyatan. Dimana paradigmanya juga belum jelas. Kehadiran fikih ekologi ikut memberi solusi, berupa rambu atau batasan pada penguasaan kekayaan seseorang dalam negara. Jangan membuat negara didalam negara. Maksudnya, ada pasal hukum yang tajam, dan ada pasal hukum yang tumpul. Sangat tergantung kepada status terdakwa, kaya-miskin, pejabat-rakyat. Atau berhubungan dengan pasal yang dituntut, maling ayam, maling beras, maling sandal, maling susu. Atau korupsi tambang timah, bouksit, emas, perak, atau korupsi dana pendidikan dan kesehatan. Jangan sampai terdapat komunitas yang terlalu kaya dihadapan saudara setanah-air yang banyak berada dalam kehimpitan ekonomi. Konsep ekonomi sosialis ada baiknya dengan beberapa pointer (catatan) koreksi.

Guna fikih ekologi diterbitkan sebagai langkah prefentif (pencegahan dini) terhadap kejahatan jarah aset negara. Perjanjian dalam bentuk catatan bersama itu penting. Supaya jalan roda pemerintahan bisa diawasi dan dipantau. Hari ini, banyak sekolah/madrasah yang belum jadi-jadi. Sudah puluhan tahun, lokasinya di jalan raya padat lalulintas. Pemandangan yang memilukan, kenapa aparatur yang terkait terkesan membiarkan bangunan yang belum layak pakai untuk standar pendidikan. Isi pendidikan adalah manusia, minimal terdapat guru dan siswa. Ironis, ditengah kekayaan negara yang melimpah, pendidikan belum menuai tuah.

Tuah harus dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia adalah pemilik sah negeri ini. Jauhi iri dengki dikalangan sesama. Setiap anak negeri, ikhlas menyumbangkan pikiran, perasaan, tenaga, waktu untuk kejayaan bangsa. Pemangku jabatan yang diberi amanat wajib amanat. Diharamkan berkhianat, bila disuruh mengurus desa, desa yang diurus. Bukan mengurus desa orang lain. Bila diamanahi kota, urus kota itu. Isi kota bukan hanya jalan dan trotoar, namun rakyat, sudah sejahtera belum? Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN