MANUSIA WUJUD AKHIR PENCIPTAAN TUHAN YANG PALING MULIA
MANUSIA WUJUD AKHIR PENCIPTAAN TUHAN YANG PALING
MULIA
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
Wujud manusia adalah yang paling kecil dalam ukuran
jagad raya. Bahkan dia ditampung oleh bumi. Bumi merupakan satu dari sembilan
planet di gugusan (galaksi) bimasakti.
Bila jagad raya memiliki 200 juta matahari, konon planet di angkasa raya lebih
banyak lagi. Alquran menyebut (Yasin: 40), benda-benda langit ini ibarat
samudera raya berisi ikan-ikan yang berenang terarur pada garis edar
masing-masing (fi falakiyyasbahun). Namun, semua benda langit dan benda bumi
tunduk kepada manusia. Manusia sudah Tuhan limpahkan kekuasaan padanya untuk
mengatur alam semesta. Bukan alam semesta yang mengatur manusia. Artinya,
manusia yang menata regulasi, bukan regulasi yang menata manusia. Manusia yang
membuat kurikulum. Jangan berikutnya, manusia dikuasai oleh kurikulum.
Maksudnya, Jadilah manusia sebenarnya, jangan menjadi robotika. Tuhan sudah
memuliakan manusia (khalifah), jangan menjadi yang terjajah. Hargai anugerah
khalifah dari Tuhan, yang tidak Dia berikan kepada malaikat, jin, matahari,
bulan, bumi, langit dan gunung-gunung.
Bukti khalifah (pemimpin), manusia berhak mengatur
seisi bumi dan seisi langit dengan kebebasan. Lalu, bila manusia mendataris
Allah, manusia berhak berbuat atas petunjuk Allah (suruhan dan larangan).
Sebab, Allah yang memberi mandat. Tidak ada yang dapat memerintah manusia,
kecuali Tuhan. Sesudah manusia mendapat amanat pemilik alam semesta (the owner)
adakah yang sakral di bumi dan di langit ini? Paradigma ketika Nabi Muhammad
Saw menyuruh sahabat Bilal bin Rabah
untuk azan di atas ka'bah (baitullah), tentu terdapat hubungan antara yang
sakral dengan yang profan. Kecuali itu, keduanya juga memiliki perbandingan
yang jauh. Sangat beda (diferensiasi) antara bait (rumah) dan Tuhan (Allah).
Manusia tauhid (muwahhid) berbeda dengan manusia
syirik (musyrik). Manusia syirik melihat dirinya agung, besar, tinggi, mulia,
kuat, kokoh. Bahkan ujungnya, tidak butuh terhadap pertolongan Allah Swt.
Namun, mereka terpenjara. Alam dunia dan alam akhirat tidak pernah memberi
kebebasan sejati. Kecuali penjara sebab-akibat, dan diri yang memenjara dengan
akal yang dibina, dan rasa yang menghantui.
Sebaliknya, manusia tauhid (muwahhid) merasa dirinya
remeh, kecil, rendah, hina, lemah. Malah ujungnya, ketiadaan harga diri.
Kecuali, hanya berharap keagungan limpahan perlindungan dari sang agung
(al-jalil). Efeknya, dia menjadi pemimpin yang agung. Dia sebatas berharap
kemuliaan dari pemilik utama kemuliaan, maha kemurahan (al-karim). Efeknya, dia
menjadi raja yang mulia. Saat alam semesta sudah tidak sanggup memerintah dan
menjajah orang-orang yang beriman kepada maha raja dan maha mulia (al-'aziz).
Dia merasakan kerendahan diri, melainkan yang maha tinggi adalah Allah Swt.
Efeknya, Allah yang maha tinggi (al-'aliy) akan meninggikannya diantara semua
makhluk. Dia merasakan kelemahan diri sebagai bagian dari alam semesta yang
lemah (kaunuhu 'ajuz). Efeknya, Tuhan sendiri yang maha kuat (al-qawiy) yang
menguatkan.
Karya Tuhan yang paling sempurna kebaikan dari-Nya
(fi ahsani taqwim) membuat manusia sudah cukup dengan Allah Swt (hasbiyallah).
Tidak dengan alam semesta, hatta malaikat sekalipun. Jangan membatasi kehendak
Tuhan dengan ilmu dan makrifat manusia. Kajian qudrat (kuasa) dan iradat (kehendak),
perlu dibentang. Guna memberi keterangan demi keterangan yang lebih jelas lagi.
Qudrat adalah wilayah tarik-menarik antara doa dengan turunnya rahmat, atau
menampik bala'. Doa merupakan wilayah qudrat (kuasa) Tuhan untuk memberi atau
menahan hidayah. Namun, sumbu putusan terletak di tangan qudrat yang terjelma
pada iradat-Nya.
Perspektif manusia kecil bila ditinjau dalam arti
tubuh, jasad, badan jasmani. Tetapi perspektif batin rohani, manusia lebih
besar dibanding alam jabarut, alam malakut. Keluasan hati manusia, lebih luas
daripada surga yang lantainya terbuat dari yakut yang hijau. Hati manusia lebih
luas daripada dinding surga yang terbuat daripada zamrud yang kuning. Hati
manusia lebih tinggi dibanding atap surga yang terbuat dari akik merah. Bahkan,
hati manusia lebih panas daripada api neraka. Intinya, alam dunia dan akhirat
adalah duplikat (relief) dari hati manusia. Oleh karena itu, berhati-hatilah
dengan hati.
Berhentilah untuk menghinakan manusia kepada dunia.
Berhentilah menyembah dan memperturutkan kehendak diri yang rendah (napsu)
bumi. Cobalah menuju langit dan melintasinya. Sudah tiba saatnya, malaikat yang
melayani manusia, bukan manusia yang melayani malaikat. Suruh alam semesta
bekerja untuk manusia, bukan manusia yang menghamba kepada semesta. Pun
kehadiran ramadan diturunkan Tuhan untuk melayani manusia. Ramadan berkhidmat
kepada manusia. Bukan manusia yang berkhidmat kepada ramadan. Manusia disuruh
mencintai dan dicintai sang pencipta ramadan (al-khaliq) saja. Dalam surah Alqadar
ayat 1: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan alqadar (kepada manusia) di
malam kemuliaan." Surah Alfurqan ayat 1 juga menempatkan manusia di atas
prestasi dari sekalian alam. "Berlimpah keberkahan Tuhan yang telah
menurunkan Alquran kepada hamba-Nya. Alquran menjadi pengingat kepada seluruh
alam." Alquran sekalipun melayani umat manusia, sebagai petunjuk, pembeda,
pelajaran, bimbingan. Manusia adalah puncak kesejatian dan keluhuran dalam
kelas tertingginya (primus inter pares). Surah Alkahfi ayat 1 mewartakan:
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Alquran kepada hamba-Nya.
Dan Dia tidak membuat kebengkokan (dalam ajaran keesaan murni)."
Iman tauhid sanggup membawa seseorang merdeka dari
alam kegelapan menuju cahaya terang benderang. Yakin yang tidak tercampur
sedikitpun dengan keraguan (syak). Cahaya merdeka sudah Tuhan berikan kepada
manusia, dengan suruhan: "Dan sembah Tuhan-mu, sehingga datang kepadamu
keyakinan yang teguh." (Alhijir:99). Bersungguh-sungguh (mujahadah) adalah
jalan rahasia, guna terbuka hidayah (mukasyafah rububiyah) berdasarkan:
"Dan orang-orang yang mujahadah, pasti Kami tunjuki mereka pada
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang
berbuat kebaikan." (Al-Ankabut:69). Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar