ESA KEDIRIAN

 

ESA KEDIRIAN

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

SETIAP wujud materi, pasti memiliki kedirian (ego). Minimal konsep diri untuk dijadikan pertimbangan sebelum menjadi aksi. Dunia industri teknologi yang kita jalani sekarang, menuntut berani tampil beda, kerja kreatif, inovatif dan futuristik. Tidak jarang (kerap kali) melanggar adab kepatutan dan kesopanan sosial. Misal, karena tuntutan marketing, dusta menjadi halal. Atau, karena desakan promosi jabatan, diri jujur menjadi haram.

Orang yang mengalah bukan berarti kalah. Tetapi dia sedang melangitkan diri berupaya pendakian jiwa. Bisa dia larut dalam konflik duniawi meski berwajah ukhrawi, betapa ruginya. Telah menyejarah bukti nyata pertumpahan darah dan perampasan harta atas nama agama. Keterlibatan sahabat Rasulullah SAW dari perdebatan, diplomasi, konflik, dan menyeret mereka pada kancah peperangan. Pecahnya perang Unta, konflik antara  Ali bin Abi Thalib dan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Konflik perang Shiffin yang melibatkan empat sahabat besar. Banyak lagi perang saudara yang terjadi justru masa awal Islam (klasik), dan masa pertengahan (the midle age).

Sebenarnya sejak dahulu, sejarah kelam umat Yahudi yang membunuh para Nabi, para rahib mereka, di tiang gantungan (salib). Sejarah umat Nasrani yang membunuh Nabi mereka. Demikian pula sejarah bangsa Arab (Mekah) yang menantang kehadiran Muhammad SAW.

Berbahagialah umat yang hadir masa ini, gen-z. Umat yang melampaui masa lalu, namun sanggup mengambil intisari perjalanan mereka. Mengkritik dan menitipkan pesan rohaniah. Bahwa segala bentuk ornamen anak sapi ('ijil), sesembahan kaum Yahudi, salib, dan huruf hijaiyah: Alif, lam, lam, ha (Allah) bukan Tuhan. Namun, banyak dari ketiga umat agama langit ini, menjadi kolektor dogma, doktrin, ajaran, dan mempatenkannya sebagai konstruk agama. Menjadi kolektor Taurat, Talmut, Injil, Alquran, sanad, dan teks-teks yang disucikan. Tokoh ketiga agama (Yahudi, Nasrani, Islam) berlomba menghapal dan menulis teks-teks agama dan keagamaan mereka. Kemudian, mengikat diri pada apa yang mereka baca, tulis. Sehingga, kebebasan diri mereka terbatasi bacaan, kemerdekaan diri mereka yang terpenjara oleh tulisan. Apa yang mereka Tuhan-kan adalah angan-angan.

Kembali kepada pemahaman iqra' dan pembaruannya. Iqra' adalah pembacaan tanpa naskah (non teks). Iqra' ialah membaca diri. Sedang membaca teks diistilahkan dengan tilawah, bukan qira'ah. Totalitas keberhasilan membaca (iqra') diri merupakan totalitas kesempurnaan iman, atau sebaliknya (insan kamilin-iman kamilin). Doa yang sering dipanjatkan pada malam-malam Ramadan: "Allahummaj 'alna bil imani kamilin" (Ya Allah, jadikan kami dengan keimanan yang sempurna). Novelty kesempurnaan iman (iman kamilin), termanifes pada kesempurnaan diri (insan kamilin).

Jadi, iqra' adalah ilmu yang membebaskan banyak kedirian, bukan ilmu yang membelenggu. Betapa peraih kemuliaan (noble) ialah mereka yang terbebas dari apapun kedirian, selain kedirian Allah saja. Deklarasi kemerdekaan ini, sejak 1400 tahun yang lalu, tercetus pada syahadat. Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN