ESENSI PUASA MENJAGA LISAN
ESENSI PUASA MENJAGA LISAN
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
PUASA, bila tidak dimaknai secara spiritual,
hanya akan meninggikan ego (diri) taat. Tatkala, semua dapat dipenuhi dengan
kebaikan, ditaburi kekuatan, berakhir pada menuai kesombongan taat (religious
arrogance). Demikian pula salat, wajib menjadikan diri hamba yang patuh,
tunduk, takluk kepada Tuhan (Arab: 'ibad, Inggris: obedient). Jika tidak, lisan
akan berucap kesombongan (ego sentris), sebagai gambaran hati yang rusak.
Relaksasi, tidak salah bila hikmah puasa untuk
mengendurkan kerja pembuluh saraf. Sebab, seluruh tubuh manusia dialiri oleh
saraf ibarat benang halus. Ibadah puasa yang ditunai dengan lunas, dan salat
yang didirikan dengan lulus, mampu memberi efek tenang pada susunan saraf otak.
Tujuan ibadah tidak sekedar kesehatan jasmani. Namun, mencakup keseimbangan
(balance) semua aspek kehidupan, duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin, jasmani
dan rohani, pikiran dan perasaan. Keseimbangan tersebut adalah makna takwa yang
diperluas.
Bermula dari ketenangan, banyak persoalan yang
mampu diselesaikan dengan damai. Konflik (rusuh) yang jamak terjadi, karena
masing-masing ego (diri) belum menyelamatkan dirinya. Apalagi dalam skala
besar, misal konflik SARA (suku, agama, ras, antar golongan). Tentu, melibatkan
kerja perdamaian yang tidak mudah. Selain banyak melibatkan para pihak.
Diharapkan puasa sanggup menghentikan sentimen SARA, diskriminasi SARA.
Membatasi dominasi kepentingan politik, ekonomi dan kebudayaan. Membatasi peran
organisasi, namun mau berbagi peran. Ciptakan tata dunia damai bersama.
Berpuasa Ramadan harus proaktif menyuarakan perdamaian, keselamatan,
kebahagiaan, dengan asas kebersamaan. Energi positif puasa, selayaknya mampu
menghadirkan masyarakat marhamah (berkasih-sayang), bukan masyarakat malhamah
(kerusuhan).
Indikator muslim adalah mereka yang orang lain
selamat dari lisan dan tangannya. Dua kriteria yang menanda seorang muslim,
berhasil atau tidak puasanya. Sehingga, Nabi Zakaria, Maryam dan banyak
orang-orang saleh, mereka diperintah untuk puasa bicara. Larangan berbicara
kepada manusia pada waktu tertentu. Wudu, dianjurkan diam (membaca dalam hati).
Salat, disuruh untuk diam (membaca dengan hati). Zikir, disenangi Tuhan dengan
diam (zikir hati). Maksudnya, berbicara yang baik atau diam saja. Lisan yang
selamat, merupakan barometer keislaman seseorang. Lisan yang selamat dari
materi pembicaraan dan nada, gaya ucapan. Ada nada menghardik, ada gaya
menggurui, keduanya tidak nyaman untuk dijadikan mitra bicara. Kehalusan budi
bicara, santun sesuai konteks, sopan secara teks, ialah suruhan agama. Hai Musa
dan Harun, kunjungi Fir'aun. Sampaikan nasehat dengan perkataan yang santun
(qaulan-layyina). Mudahan dia tersadar.
Redaksi lengkapnya, termaktub pada surah Taha
ayat 43-44: "Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, karena dia benar-benar
telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu kepadanya (Fir'aun) dengan
perkataan yang lemah lembut. Mudahan dia sadar dan takut."
Mengapa banyak manusia berkomentar, meski
bukan ahli dibidang yang dikomentari? Faktornya, merasa diri mampu, ego kuasa,
ego ingin tampak sempurna. Ego ingin tampil lebih daripada lawan bicara.
Lisan yang terucap baik merupakan profil hati
yang baik. Lisan yang meluncur lancar dalam keburukan adalah cermin hati yang
rusak. Buruk sangka merupakan gambar diri yang buruk. Banyak menanya orang lain
yang membuat dia tersinggung, ialah penampang diri yang pecah terbelah.
Contoh alam semesta, dia bekerja dalam diam
(kesenyapan). Dalam kesenyapan justru banyak karya yang dia persembahkan
sebagai bentuk sujud kepada Tuhan. Manusia merupakan subsistem dari alam
semesta yang bekerja. Bila unsur roh nabati, hewani, insani lebih dominan tanpa
roh rabbani, keributan yang akan terjadi. Tumbuh-kembang, bergerak,
beranak-pinak dan berpikir dengan sedikit merasa, ciri kehidupan berkualitas
rendah. Rasa yang masih dalam tataran rendah, seperti rasa panas, dingin,
sakit, sehat. Rasa manis, asin, asam, pedas, pahit. Rasa tertinggi adalah
beragama, bertuhan. Hidup untuk mengabdi kepada-Nya, dan ikut menunjang proses
skenario Tuhan di bumi. Maryam merupakan perempuan terbaik dalam sejarah
mengendalikan (puasa) lisan. Dalam firman Tuhan: "Maryam, makanlah,
minumlah, dan bergembiralah! Jika ada yang bertanya kepadamu. Katakan: Aku
berpuasa untuk Tuhan yang maha pengasih! Mulai hari ini, aku tidak akan
berbicara kepada siapapun." (Maryam:26).
Orang yang lebih banyak merasa (diam) daripada
bicara, pertanda bahwa Tuhan akan memberikan kepadanya anugerah batin (warid).
Maryam ketika menghamilkan (mengandung janin) Isa, Maryam dalam kondisi tidak
berbicara. Dan, istri Zakaria ketika
menghamilkan (mengandung janin) Yahya, Zakaria sedang puasa bicara. Sebagai
tanda kebesaran Tuhan, mulut mereka terkunci untuk bicara, kecuali dengan
isyarat, rumus (illa ramza). Uraian panjang tentang Zakaria, temukan di surah
Ali Imran ayat 38-41.
Capaian tugas puasa dalam wujud pengendalian
diri ialah perubahan. Perubahan diri antara sebelum puasa Ramadan dan sesudah
puasa Ramadan. Menunjukkan grafik peningkatan kuantitas dan kualitas kebaikan.
Bukan tipuan kebaikan, melainkan yang sebenarnya. Bila tidak, hanya akan
melahirkan pribadi yang tidak utuh, pribadi yang terbelah (munafik),
kepribadian ganda (dual personality). Akhirnya, semua ciri munafik tampak pada
lisan mereka. "Tanda-tanda munafik ada tiga, ketika bicara, bohong. Ketika
berjanji, ingkar. Ketika diberi amanah, khianat." Imam Muslim menambahkan,
"bila berdebat, tidak mau kalah." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Dua nilai yang mesti mendapat perhatian,
menjaga kualitas (mutu) puasa, dan menjaga kualitas (mutu) lisan dalam berucap.
Keduanya sama penting. Bila memelihara rukun puasa berdimensi syariat, sedang
menjaga lisan berdimensi hakikat. Jika sampai kepada puasa yang benar
(makrifat), maka akan memantik penjagaan lisan, dengan cara mentadabburi
Alquran, tidak cukup hanya membaca. Wajar, bila manusia rindu kepada surga.
Tetapi, menjadi terhormat bila seseorang dirindukan surga, sebab perbuatan baik
yang dikerjakan berulang kali. "Empat manusia yang dirindukan surga.
Sering membaca Alquran, berpuasa Ramadan, menjaga lisan, dan memberi makan
orang yang lapar." (Hadis Riwayat Muslim). Lakukanlah perbuatan baik,
hingga akhirnya perbuatan jahat terkalahkan. "Bertakwalah kepada Allah
dimana saja kamu berada. Iringi perbuatan jahat dengan perbuatan baik. Niscaya
perbuatan baik akan menghapus perbuatan jahat. Pergaulilah manusia dengan
akhlak yang paling santun." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Betapa hari ini, manusia bebas berbicara,
sehingga kadang lepas kontrol. Sarkasme (kekerasan) dalam perkataan yang
diikuti sinisme (sindiran) dalam perbuatan, seakan dibenarkan. Bila sebuah
kejahatan telah menjadi tradisi komunitas, niscaya sensitivitas terhadap
perkataan a-moral, menjadi pembenaran. Atau, ketidakmampuan orang-orang baik
berhadapan dengan lingkungan orang-orang jahat. Ketika kejahatan telah aktif,
berakibat kebaikan menjadi pasif. Lebih berbahaya, saat generasi telah hilang
kesantunan bicara lisan dan tulisan. Atau ketidaksanggupan memilih diksi yang
baik. Karena setiap hari disuguhi oleh konten-konten buruk di media sosial,
tanpa kecerdasan untuk menyaring informasi. Lebih banyak konten kebohongan
(hoax) daripada kejujuran. Sebab, orientasi kepentingan bisnis media, lebih
mengedepan ketimbang syiar kebaikan (agama).
Oleh karena itu, jangan sampai terjadi, kontrol
puasa yang lemah terhadap perilaku dalam berucap dan bersikap, hanya akan
melahirkan masyarakat pencela dan pengumpat. Indikator pencela dan pengumpat
adalah mereka yang mengumpulkan harta, lalu menghitungnya. Mereka menyangka,
harta bisa mengekalkan hidup. Tidak! ...
Mereka akan dilemparkan ke dalam neraka Hutamah. (baca Alhumazah:1-4).
Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar