IDULFITRI KEMBALI KEPADA KESUCIAN

 

IDULFITRI KEMBALI KEPADA KESUCIAN

Oleh

Ma’ruf Zahran Ssbran

KESUCIAN identik dengan kepolosan seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya, atau hari kelahiran. Atau, idulfitri adalah hari kelahiran kembali. Orang yang diampuni dosa-dosanya seperti kain putih, suci, bersih. Sama dengan muallaf, berapapun usia mereka saat memeluk Islam, mereka bersih. Mulai dari angka nol. Pemutihan ini, karena keagungan kalimah syahadat (kesaksian). Asyhadu alla ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar-rasulullah. Aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah. Dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.

Bagaimana bagi mereka yang telah menjadi muslim. Puasa Ramadan menemukan momen yang paling tepat untuk menggapai kesucian (fitrah). Meski setiap malam dan setiap hari, setiap orang berpotensi menerima hidayah, inayah, taufik, rahmat dan kesucian (fitrah). Sebab, lailatul-qadar (malam kesucian) Ramadan merujuk kepada fitrah nan fitri. Seperti, selesai salat, seseorang kembali fitnah (kesucian). Bentuk yang paling nyata dari idulfitri adalah pengampunan dosa dan penerimaan semua amal ibadah. Selesai puasa, kembali kepada kesucian (idulfitri). Selesai zakat dan haji juga kembali fitri seperti hari ketika dilahirkan dari rahim ibunya (kayaumi waladathu ummuhu). Seterusnya, menjalani kehidupan dengan lembaran baru.

Tentu, ibadah akan cepat sampai dengan salam dan selawat kepada junjungan, Rasulullah SAW. Tidak berlebihan jika orang tua dahulu mengarus-utamakan salam dan selawat sebagai amaliyah yaumiyah (amal harian). Memulai dan mengakhiri aktivitas selalu dengan bersalam-selawat kepada Nur Muhammad Rasulullah SAW. Beliau adalah sayyidur-ruh (penghulu sekalian arwah), abur-ruh (bapak semua rohani).  Bahkan, sesungguhnya Allah dan para malaikat berselawat kepada Nur Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Ajakan Tuhan, bersalam-selawat kepada Nabimu, (sallimu-taslima), dengan penuh penghormatan (baca Al-Ahzab:56).

Bila Allah SWT mengajakmu berselawat, maknanya, Dia ingin engkau dekat dengan kekasih Tuhan, Nabi dan Rasul-Nya. Terlebih salam, selawat beriring doa yang dipanjatkan: Allahumma shalli wasallim wabarik wa-an'im 'ala sayyidina wahabibina Muhammad, wa 'ala alihi washahbihi ajma'in. Allahumma, inna nas-aluka murafatan-nabiyyi sallallahu 'alaihi wasallama fil jannah, wa 'ibadukash-shalihun (wahai Allah  ...  kami memohon kepada Mu, jadikan kami bertempat-tinggal bersama Rasulullah di dalam surga, dan bersama hamba-hambaMu yang saleh.

Bila Allah SWT menyuruhmu mengaji dan mengkaji Alquran. Maksudnya, Allah SWT sedang mengajakmu untuk berdialog. Mendialogkan ayat-ayat dan pesan-pesan dari-Nya. Tiada lain, kecuali engkau harus semakin dekat dengan dekapan-Nya. Sehingga, Tuhan menyerukan: "Sebenarnya, Alquran itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami." (Al-Ankabut:49).

Rayakan hidayah Allah dengan bersuka-cita di hari fitri nan berbagi. Implikasi dari kesyukuran adalah bersedekah di hari baik, dan di bulan baik. " ... Maka, sempurnakan bilangan puasamu. Dan agungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu. Mudahan kamu bersyukur." (Albaqarah:185).

Bila Tuhan menyuruhmu bersedekah. Artinya, Tuhan inginkan dirimu mendekat dan lebih mendekat lagi. Dia ingin menyejahterakan dirimu dengan jalan sedekah yang engkau berikan. Dia tahu, justru di dalam sedekah terkandung kemurahan Allah SWT.

Amaliah mulia tadi, selawat, mengaji, sedekah, ialah tajalli ruhiyah (climax spiritual) saat engkau menemukan Tuhan. Bukankah ayat-ayat Tuhan yang dimengerti akan memancarkan cahaya di semua kalimat dan huruf? Tidak saja cahaya (nuriyah), tetapi juga petunjuk (hidayah), kasih sayang (rahmaniyah), keindahan (jamaliyah), keagungan (jalaliyah), kesempurnaan (kamaliyah). Sedang sedekah merupakan tajalli Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, mewujud di bumi.

Karena selawat Nur Muhammad Rasulullah SAW berisi rahasia (sir) kasih sayang. Nur Muhammad Rasulullah SAW tidak mengenal tinggi-rendah, besar-kecil, laki-perempuan, lapang-sempit, kaya-miskin. Pertama, relasi Nur Muhammad Rasulullah SAW bersifat non strata, non kasta. Sebab, Nur Muhammad Rasulullah SAW sangat bergantung kepada kekuatan Allah. Studi tasawuf mengistilahkan 'ta'alluq" atau ketergantungan. Artinya, diri rohani Nur Muhammad Rasulullah SAW yang lemah bersandar pada kekuatan Allah An-Nur. Lalu terwujud kenyataan kekuatan, kebesaran, kemuliaan, ketinggian, keagungan Allah SWT. Dalam kajian tasawuf, menyata kekuatan Allah SWT sebagai kepastian dan kebenaran disebut "tahaqquq." Maksud item pertama tadi (ta'alluq) menunjukkan kehinaan kehambaan ('ubudiyah). Item kedua (tahaqquq) menunjukkan yang berhak untuk sombong, Dialah Allah Almutakabbir. Dalam rangka menunjukkan sifat kebesaran dari ketuhanan (rububiyah). Kedua novelty (tajalli ruhiyah) akan mengusung akhlak yang mulia, bermirip dan berhampiran dengan akhlak Tuhan kepada alam semesta. Tinjauan tasawuf menyebut kemiripan ini dengan istilah "takhalluq" atau keberakhlakan. "At-takhalluq bi akhlaqillahi ta'ala" (Berakhlaklah, seperti akhlak Allah yang maha tinggi).

Dua, aktivitas mengaji adalah aktivitas mental. Orientasi khatam yang diikuti dengan orientasi pemahaman, pendalaman, pemantapan, dan pengamalan ayat-ayat suci Alquran. Alquran yang menjadi mukjizat bagi umat Muhammad SAW tidak sebatas dibaca dan dilagukan. Tetapi, penghayatan (contemplation) yang berakhir pada aksi, merupakan perwujudan Alquran yang hidup (the living Quran). Lahir rasa kepedulian non suku, ras, agama dan antar golongan. Sebab, kamu adalah umat yang satu (ummatan-wahidah). Dan, Tuhan kamu adalah Tuhan yang esa (wa-ilahukum ilahuwwahid).

Tiga, sedekah. Sedekah adalah pengkajian, terjemahan, tafsir nyata dari selawat dan mengaji. Aplikasi agama tampak dari sikap memberi dan berbagi. Bukan dari sikap menerima dan mengurangi (jatah atau gaji). Wujud komitmen beriman kepada takdir Allah SWT tentang rezeki adalah berbagi (filantropi) kepada siapa yang membutuhkan. Fakir-miskin dengan meminta-minta (sa-il), dan yang tidak meminta-minta (mahrum). Jadi, pelaksanaan ketiga ranah amaliyah jasmani dan rohani di hari nan fitri, menjadi pertanda bagi gagasan awal kesucian dan keberlanjutan (sustainability) untuk sebelas bulan ke depan. Ramadan to Ramadan. Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN