INTERNALISASI ALQURAN PADA BULAN RAMADAN
INTERNALISASI ALQURAN PADA BULAN RAMADAN
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
PERUBAHAN, selalu diawali oleh diri sendiri.
Diri sendiri yang senyawa, senapas, sejalan dengan kitab suci Alquran. Finally,
ketika puncak spiritual seseorang tidak lagi menuhankan tuhan. Tuhan yang
didalam maupun diluar alam semesta. Melainkan Allahul-ahad yang maha meliputi
(muhith) dan maha menyaksikan (syahid). Tuhan-tuhan (palsu) yang berukuran
besar atau kecil, tuhan berdiameter. Dia tidak sanggup menciptakan sesuatu,
bahkan dia diciptakan (baca Alfurqan:3). Selanjut, tuhan palsu tidak mampu
menepis keburukan untuk dirinya. Tidak sanggup mendatangkan kebaikan untuk
dirinya. Tidak kuasa mematikan, tidak kuasa menghidupkan, tidak kuasa
membangkitkan. Mungkin, atau masih bersemayam tuhan-tuhan kecil yang
bersembunyi disebalik diri, tuhan ego. Bukankah yang pertama dan utama tugas
(misi) Alquran, adalah pengosongan diri. Finalti, diri yang tidak memiliki
kuasa. Malah, diri (ego) yang tidak memiliki apapun, meski raga dan rasa
Sejati, bahwa Alquran bukan proses
transformasi, namun proses internalisasi (integration) pada diri yang mendapat
petunjuk (muhtada), dan pada diri yang terpilih (mujtaba). Terutama, proses
integrasi terjadi pada umat Nabi Daud dengan kitab Zabur. Integrasi umat Nabi Musa
dengan kitab Taurat. Integrasi umat Nabi Isa dengan kitab Injil. Internalisasi
dan integrasi umat Nabi Muhammad dengan kitab suci Alquran. Seluruhnya, terjadi
di bulan suci Ramadan dan sedang berpuasa. Sesuai firman: "Wahai
orang-orang beriman. Diwajibkan kepadamu berpuasa. Sebagaimana diwajibkan
kepada umat sebelum kamu (Muhammad), agar kamu bertakwa." (Albaqarah:183).
Disini, wajib dipahami, manusia mengira Tuhan
di luar alam semesta, atau mengira Tuhan di dalam alam semesta. Keduanya ialah
alam baharu (huduts). Mengapa mencari wujud alam semesta ketika ingin bertemu
dengan lailatul-qadar. Meski pahala dan dosa, keduanya adalah wujud yang
bersifat baharu, fana dan akan musnah. Tidak cukup membaca 30 juz yang terdapat
dalam mushaf Usmani, sebagai dalil naqli. Atau membaca 20 juz sebagai dalil
aqli di alam semesta, belum cukup untuk menemukan Tuhan yang sejati. Tuhan yang
sejati bukan nama, tanpa sifat, bukan zat, tanpa perbuatan. Untuk bisa membaca
nama Tuhan yang maha menciptakan, terdapat satu juz di dalam diri. Satu juz di
dalam diri berhakikat satu huruf. Satu huruf kuantum yaitu alif (A). Alif yang
membawa terbit huruf-huruf lain, menjadi bisa terbaca. Seperti kerja algoritma
dalam fisika, aritmetika dalam matematika. Dapat diterjemahkan umpama pasword
dan user name dalam IT (media digital). Bismillah kata bermula, sinyal pembuka
(shut up). Hamdalah kata berakhir, sinyal penutup (shut down).
Dalam skematika tasawuf lama, lambang huruf
sangat penting. Sangat penting bagi tingkat sufi pemula (bidayah), pertengahan
(wasathiyah), dan akhir (nihayah). Mengapa? Sebab, dengan satu huruf terbuka
alam 30 juz mushaf Usmani, dan terbongkar seluruh rahasia alam lahir, dan
terkuak semua rahasia alam batin. Satu huruf inilah yang terus dicari dalam
jejak sufi, murid dan mursyid. Satu huruf yang telah menerangi langkah umat
terdahulu, sekarang, dan terkemudian.
Alquran yang diturunkan oleh Allah yang maha
bijaksana, tidak bisa dilepaskan dengan malam Alqadar. Mengingat kemuliaan malam
Alqadar dapat terjadi berulang kali. Namun, apa yang disaksikan oleh alam
semesta fisika adalah salah satu wujud lailah (malam) Alqadar. Bukan syuhud
Alqadar, sungguh syuhud Alqadar tidak ada satupun makhluk yang tahu. Kecuali
orang tersebut yang menemukan rasa rindu (syauqi), rasa bertuhankan Allah SWT
(zauqillah). Bukankah ini adalah medan-medan rahasia Allah SWT (sirrullah SWT).
Kecuali yang tampak di alam rasa dan raga adalah ayat-ayat atau tanda-tanda
Alqadar. Sehingga Allah menanyakan: "Tahukah kamu, apakah
lailatul-qadar?"
Berangkat menuju Allah SWT dan berjumpa
dengan-Nya (liqa') bersama Alquran. Sebab isi Alquran adalah nur (cahaya)
Rasulullah SAW. Didalam cahaya Rasulullah memancarkan nama Allah, nama Allah
memancarkan sifat Allah SWT. Maka, hijab (dinding) penghalang terbesar memandang
wajah Allah yang maha mulia adalah alam semesta (dunia) yang gelap (kaunuhu
dzulum). Alam semesta yang buta (kaunuhu 'umya), alam semesta yang tuli
(kaunuhu shumma), alam semesta yang bisu (kaunuhu abkam). Jadi, mendekatlah
dengan Alquran setiap hari. Supaya hati menjadi hidup, mata bisa melihat,
telinga bisa mendengar, dan mulut bisa bicara. Hidup, melihat, mendengar,
bicara bersama Alquran. Semoga menemukan momentumnya di Ramadan tahun ini, in
sya Allah. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar