PENDIDIKAN RAMADAN MENGHADIRKAN KELUARGA BAHAGIA
PENDIDIKAN RAMADAN MENGHADIRKAN KELUARGA BAHAGIA
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
BAHAGIA merupakan idaman setiap keluarga.
Keluarga bukan ruang debat, bukan ruang konflik. Tapi, keluarga ialah ruang
saling memahami. Jika ada anggota keluarga (ayah, bunda, dan anak-anak) merasa
unggul dan mau mengungguli anggota keluarga lain, sebenarnya awal keruntuhan
keluarga. Keluarga yang baik, bukan terdiri atas "orang-orang
pintar." Namun, keluarga yang utuh ialah yang saling mengerti (mutual
understanding), saling percaya (mutual trust), saling berbagi (mutual sharing).
Sifat pengalah akan memberi pengaruh hebat
pada keluarga yang akrab. Anomali keluarga, sering Tuhan jodohkan, dualitas
karakter yang berbeda, bahkan sangat jauh. Suami istri, karakter malam berjodoh
dengan karakter siang. Karakter langit berpasangan dengan karakter bumi. Kadang
suami berkarakter neraka, istri berkarakter surga, atau sebaliknya. Di situ,
Allah Swt sediakan medan ujian yang berat. Tapi, dalam berat menanggung beban,
tersembunyi rida Allah SWT. Bila disikapi dengan sabar, pada saatnya tiba,
"debu jadi permata."
Perbedaan karakter suami-istri bukan dijadikan
zona konflik, tetapi jadikan zona untuk berprinsip saling melengkapi
(complicated), saling ketergantungan (interdependensi). Diantara pemicu masalah
kerumah-tanggaan adalah tersumbat jaringan komunikasi. Ketersumbatan karena
jarang bertemu. Baik kuantitas maupun kualitas pertemuan. Pembicaraan
"terkesan ala kadarnya." Kesibukan pasangan dan anggota keluarga,
tidak sedikit menimbulkan kesalah-pahaman. Memang, kedua pasangan memiliki
karakter yang berbeda, suami introvert, sedang istri ekstrovert, atau sebaliknya.
Membangun pondasi rumah tangga milenial tidak
semudah seperti dahulu. Keterbukaan milenial menjadikan setiap orang bisa
bergaul dengan semua orang. Berlainan karakter (timur-barat) sudah masuk ke
dalam kamar pribadi, melalui komunikasi digital. Potensi selingkuh sangat
rawan, dapat mengganggu stabilitas keamanan rumah tangga. Bisa dipicu oleh
faktor ekonomi, atau bertahun-tahun belum memiliki "momongan." Atau
pascapersalinan justru kebutuhan domestik meningkat, akan menjadi pemicu
keretakan tersendiri.
Dalam hal mendidik anak, persimpangan
pemikiran kerap terjadi. Ingin menjadikan seperti apa anak ini. Tidak jarang,
ekspektasi yang tinggi dari orang tua, anak menjadi korban keinginan orang tua.
Begitu juga pendidikan formal yang kurang mendukung bakat anak, kecuali
tuntutan kurikulum yang berat, namun kering dari makna. Menganut pendidikan
berpola otoriter, jika tidak sesuai dengan kehendak anak, maka memantik daya
tolak yang sangat kuat.
Atau pola pendidikan serba boleh (Inggris:
permissif. Perancis: laissez-faire). Pola pembiaran terhadap anak, memberikan
kebebasan (liberal) kepada anak untuk berbuat semaunya. Pola ini, peran orang
tua kurang, bahkan tidak ada. Terakhir, pola pendidikan demokrasi. Posisinya
berada diantara pola otoriter dan laissez-faire. Memberikan kebebasan, namun
terkontrol. Ketiga pola asuh pendidikan tadi, bertumpu pada pemikiran sekuler.
Bagaimana pendidikan dalam perspektif ajaran
Islam? Sedari awal, pembentukan keluarga ialah menjunjung tinggi Alquran dan
sunnah (hikmah). Umat muslim tidak boleh membuat konsep yang menyalahi kedua
asas. Umat muslim disuruh taat menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-Nya. Dalil yang melandasinya ialah bahwa maha pencipta, mengenal betul
kondisi yang Dia ciptakan. Sang pencipta sudah mengetahui kelemahan, kelebihan
"produk" yang Dia ciptakan. Jadi, seluruh konsep pendidikan mengacu
pada aturan ketuhanan (risalah ilahiyah).
Terlebih, menemukan momentum yang paling tepat
adalah bulan suci Ramadan. Bagaimana selayaknya keluarga muslim saling mendekat,
saling merapat dengan Ramadan secara berjamaah. Bila di bulan lain, kadang
terceraikan. Ramadani hadir menciptakan kehangatan keluarga. Ramadani menyapa
untuk menghadirkan kasih sayang yang selalu terbarukan. Melalui kebersamaan
hari-hari Ramadan. Sahur bersama keluarga, berbuka, taraweh, tilawah dan
kebersamaan yang lebih hangat. Saling memahami posisi, bukan intervensi.
Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar