REFLEKSI DIRI
REFLEKSI DIRI
Oleh
Ma’ruf Zahran Sabran
DOA orang yang hidup, ditunggu oleh orang yang
mati. Sebab, orang yang sudah mati di alam kubur, ibarat timbul-tenggelam di
dalam laut. Lemparkan saja untuk mereka, meski ban bekas sebagai pelampung,
guna penyelamatan di laut.
Sungguh berat mereka yang kini berada di alam
kubur (barzakh). Terutama, orang-orang yang kita sayangi, kasihi dan cintai.
Ayahnda, bunda, nenek, kakek, pasangan (suami atau isteri), anak, sahabat,
saudara, tetangga, zuriyat. Mereka (almarhum dan almarhumah) menunggu, menanti
dan sangat berharap doa dari kita yang masih hidup. Mendoakan mereka pada
setiap khutbah kedua di hari jumat, tentu sifatnya umum. Umum dalam arti, para
roh (arwah) berebut mendapatkan makanan, minuman, buah-buahan, selimut. Bahkan,
tangan mereka telah menadah sebelum khatib mendoakan: "Allahummaghfir
lil-muslimina wal muslimat, wal mukminina wal mukminat, al-ahya-i minhum
wal-amwat" (Ya Allah, ampuni muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat,
baik yang masih hidup maupun yang telah wafat). Lebih baik, dikhususkan dan
ditujukan alamat nama kepada orang-orang yang spesial di hati kita, dalam
hubungan kesayangan dan kecintaan yang pernah terjalin mesra di dunia. Namun,
kita terpisah dengan kematian.
Begitu pentingnya kekeluargaan dan
persaudaraan seiman. Apa yang diharapkan dari mereka adalah doa mereka.
Artinya, menjadi saudara seiman ibarat medan inti magnet yang saling
tarik-menarik. Medan inti magnet terletak di wilayah hati. Hati inilah alam
kecil, mikrokosmik ('alamush-shaghir) sebagai gambaran alam besar
('alamul-kabir). Simpul doktrin agama terletak di hati sebagai unsur dalam diri
(esoterik), bukan pada unsur luar diri (eksoterik). Tidak berlebihan, jika
fokus beragama adalah niat di hati. Maka, niat baik seseorang, kadang melebihi
pahala dari pada perbuatannya. Oleh sebab itu, urgensi niat terletak di hati.
Kini, momentum Ramadan, tersediakah lapangan hati yang luas, untuk
menerima waridat dan madat ilahiyah (anugerah batin) di malam Alqadar. Terutama
hati yang tidak mempersekutukan Allah, tetapi hati yang selalu meng-esa-kanNya.
Wujud lailatul-qadar secara fisika (jasmani) adalah suhu bumi yang berbeda dari
malam-malam lain. Karena bumi tersedot oleh aura malaikat yang non-fisika.
Adapun tanda rohani ialah ketenangan yang sangat mendalam dirasakan oleh
seseorang. Tanda hati yang sejuk dari kepanasan dunia, merupakan awal dari
perubahan yang mendasar. Sampai tajalli Tuhan tampak padanya berupa ilham-ilham
lembut. Terbukti, Dia maha meliputi yang didalam diri (inner). Dia maha
meliputi yang diluar diri (outer). Bahkan, Dia maha meliputi malaikat dan ruh
(Jibril). Dia meliputi malam sampai terbit fajar. Menyingsing fajar bagi alumni
lailatul-qadar adalah "syamsul ma'rifah" (matahari pengenalan sejati)
ketuhanan, sampai masuk ke dalam surga Firdausi tanpa hisab.
Malam ini, penting (urgent) membangun relasi
dua arah. Komunikasi orang yang hidup kepada orang yang hidup. Komunikasi orang
yang hidup kepada orang yang mati. Berimplikasi kepada sifat relasi
(karakteristik komunikasi) keduanya. Bila sesama manusia hidup, relasi
(hubungan) berlangsung masih bersifat bebas, namun terikat (terbatas).
Maksudnya, hidup artinya ialah jasad hari ini, berperan memenjarakan roh.
Dampaknya, roh terikat, roh terbatas oleh dimensi ruang, waktu, situasi,
kondisi. Hidup artinya keterbatasan yang ditandai dengan kurungan alam dunia.
Tetapi bisa terkoneksi satu sama lain. Makna diperluas, bebas yang terpenjara
(diri jasadiyah mengurung diri ruhiyah). Kecuali itu, kematian dan alam kubur
adalah kebebasan dari sekat-sekat material. Kematian merupakan kemerdekaan yang
selama hidup, merupakan lapangan penjara besar di bumi. Kematian adalah keluar
dari bumi penderitaan, menuju bumi pembebasan.
Telah disinggung, bumi yang bebas-lepas,
justru diawali dengan kematian. Ilustrasinya adalah saat puasa Ramadan, betapa
kita tidak direpotkan oleh makan dan minum di siang hari. Tetapi, Tuhan tidak menghendaki
kita menjadi malaikat. Buktinya, menjelang waktu maghrib, bersiap untuk berbuka
puasa. Baik saat berpuasa dan saat berbuka puasa merupakan dua medan ujian
jiwa. Bersabar di siang hari karena sedang berpuasa, dan bersabar ketika malam
hari, saat sedang tidak berpuasa. Inilah refleksi Ramadan, dan menjemput
Syawal. Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar