ALJAM'UL JAMA' (UNITATEM IN UNITATEM)

 


ALJAM'UL JAMA' (UNITATEM IN UNITATEM)

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

Selain menjadi judul buku, aljam'ul jama' (bahasa Latin:  unitatem in unitatem) adalah tingkatan teratas dalam jenjang pangkat ma'rifat (ma'rifatun-nihayah). Para pengenal Allah SWT yang sejati ('arifin kamaliyah) adalah mereka yang tidak memperdulikan lagi isyarat yang datang. Sebab dirinya telah hilang (fana) dalam memandang dirinya.

Namun, bila belum sampai bertemu dengan-Nya. Ditingkat asmaul-husna, sungguh Dia, dalam nama-Nya berpasangan, meskipun tidak semua. Seperti Al-Awwal dan Al-Akhir, Ad-Dzahir dan Al-Bathin, An-Nafi' dan Adh-Dhar, Al-Mu'iz dan Al- Mudzil. Perlawanan (antonim) sifat dan nama ini, menunjukkan Dia maha kuasa. Inilah ajaran dari Nabi Muhammad SAW tentang nama-Nya.

Di tingkat sifat (maqamush-shifatullah) terdapat pada diri shallallahu 'ala Muhammadin shifatullah. Beliau sebagai tafsir, takwil, burhan, bayan, irfan tentang sifat Allah SWT. The beast role model (terbaik dalam contoh) perilaku Tuhan dalam sifat Muhammad (uswah hasanah).

Adapun di tingkat perbuatan (af'al) Allah SWT.  Skenario baik dan buruk, benar dan salah, siang dan malam, langit dan bumi, laki dan perempuan, pahala dan dosa, surga dan neraka, mereka semua adalah dualitas. Dualitas realita kenyataan kehidupan yang tidak dapat dipungkiri. Terus, apakah semua yang baik, pasti akan baik selamanya? Dan, apakah semua yang buruk, pasti akan buruk selamanya? Belum tentu. Skenario Tuhan masih sedang tayang. Tunggulah sampai hari pengadilan kelak di akhirat. Kamu sedang menunggu, dan sesungguhnya kami juga sedang menunggu (putusan final).

Terlebih diri-Nya, selalu ada tetapi tidak bertempat. Sebab, Dia bukan di atas, bukan di bawah, bukan di dalam, bukan di luar. Andaikan Dia di atas, pasti membutuhkan tempat untuk berpijak. Umpama Dia di bawah, pasti Dia terpijak. Memijak dan dipijak adalah mustahil bagi Allah SWT. Misal Allah SWT di dalam, pasti Dia terkurung oleh sesuatu. Padahal, Dia maha meliputi. Jika Allah SWT di luar, pasti Dia terusir oleh sesuatu. Padahal, Dia maha memenuhi. Dia selalu bekerja, namun tidak membutuhkan waktu. Dia bukan dahulu, kini, dan kemudian. Hukum waktu dahulu, kini dan kemudian, justru akan musnah. Kemusnahan adalah mustahil bagi-Nya. Sehingga, nama, sifat, perbuatan, diri Tuhan tidak bisa dijelaskan, kecuali menjadi rahasia antara Aku dan Engkau. Akhirnya, tertinggal hanyalah Aku, studi Tasawuf menyebut Aljam'ul Jama' atau dalam bahasa Latin: Unitatem in Unitatem (kesatuan di dalam kesatuan, atau perkumpulan dua entitas menjadi satu entitas). Musnahkan semua makhluk yang musnah, kecuali wajah Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan (baca surah Ar-Rahman:26-27).

Tegas, terang bahwa apa yang menjadi nama Allah adalah nama Rasulullah. Sebab baginda Rasulullah SAW junjungan Allah SWT adalah seorang utusan resmi. Sedang Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan adalah Ahad yang tidak mampu ditulis, dilukis, diukir, dipahat, apalagi dibaca. Bila dibaca, samalah baharu Dia dengan alam semesta. Bila ditulis, baharu tulisan alam semesta. Bila disebut, Dia bukan alam yang bisa disebut, dikata dan diucap.

Secara teori, untuk mencapai kesatuan dari dua entitas, ada dua cara atau jalan (thariqah) yang dilewati. Satu: At-tafriqah (pemisahan dua wujud entitas). Dua: Aljam'u (keragaman menuju kesatuan). Barulah menemukan tingkatan Aljam'ul jama' (kesatuan di dalam kesatuan). Secara praktis, dapat ditempuh melalui zikir yang dipimpin oleh seorang mursyid kamil, atau kajian tasawuf yang berulang kali. Sampai kepada paham dan ketemu paham. Sampai kepada terang terus, dan jejak kepada terus terang, selamanya.

Untuk mewujudkan keterus-terangan inilah, 30 juz Alquran terus dikaji berulang-memutar (murottal). Dari Al-Fatihah sampai An-Nas. Khatam, mulai lagi, begitu seterusnya sepanjang hayat dikandung badan. Baru menemukan betul makna Aku yang tidak berbayang, tidak berbekas, tidak kembar lagi. Bila masih tersisa rasa ketakutan untuk menembus kegelapan hijab (pembatas) langit dan bumi, itulah penghalang (baca surah Ar-Rahman:33).

Jika telah di puncak, alam di sana (martabat wahidiyah dan ahadiyah), masihkah bertingkat? Tingkat, kelas, ruang, semester diperlukan bagi mereka yang belum mencapai puncak. Jika sudah sampai di puncak tertinggi, maka tidak diperlukan lagi tingkat. Di puncak ketuhanan, tidak dibutuhkan lagi nama, sifat, zat, perbuatan. Namun, bukan berarti keempat item ini tidak ada.

Guna menjelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan nama, terbitlah hukum syariat. Hukum syariat yang lima (ahkamul khamsah) yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, makruh dalam fikih versi Imam Syafi'i. Dengan sifat, muncul cara, jalan (thariqah) tentang tatacara salat, puasa, zakat, haji. Dengan perbuatan (af'al), terbit ranah hakikat (inti, hikmah, makna, rahasia) dari perbuatan syariat. Dengan zat (diri) terbit ma'rifat berupa pengenalan yang sebenarnya, sejati tentang Dia. Sungguh telah berkesimpulan, Dia yang esa dan Dia tempat meminta (ahad dan shamad). Tidak beranak dan tidak diperanakkan (lam yalid wa lam yulad). Dan, tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (baca surah Al-Ikhlas:1-4).

Tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah menjelaskan kepada umat tentang Tuhan yang sebenarnya. Hanya para Rasul (utusan) Tuhan yang berhak menyampaikan doktrin (ajaran) Tuhan yang sebenarnya. Dari Rasul yang wajib diimani, mulai dari  Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Semua ajaran tauhid mereka, telah terkodifikasi dalam kitab suci Alquran. Dan pada diri Rasulullah SAW sebagai contoh terbaik dalam firman rohani dan jasmani. "Sungguh benar, pada diri Rasulullah terdapat uswah hasanah (teladan terbaik). Bagi mereka yang berharap rahmat perjumpaan dengan Allah, dan beriman kepada hari akhir, serta banyak mengingat Allah." (Al-Ahzab:21). Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN