KECERDASAN MEMBACA BUKU DIRI

 

KECERDASAN MEMBACA BUKU DIRI

Oleh

Ma’ruf Zahran Sabran

DIRI, dialah wujud terpenting dari alam yang berkalam. Diri lebih penting dari tulisan yang berjalan. Diri lebih mulia dari semua tatanan penciptaan makhluk (fi ahsani taqwim). Diri sangat mulia daripada surga sekalipun, dan lebih tinggi daripada bidadari. Bukankah mereka diciptakan untuk manusia. Laut, sungai, darat, bumi, langit, malam, siang, flora, fauna, matahari, bulan, bintang, untuk manusia. Demi keberlangsungan hidup, Kami beri rezeki yang baik. Dan, Kami lebihkan manusia dari semua ciptaan (baca Al-Isra' ayat 70). Manusia secara umum dalam penciptaan lahir. Sedang manusia secara khusus, mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulullah, serta menggunakan akal sehat (ijtihad), sampai menemukan Tuhan. Menemukan Dia, ketika tidak  lagi menyisakan pertanyaan. Itulah puncak perjalanan spiritual. Saat mulut dikunci, tanpa bisa menghina satupun makhluk, di bumi dan di langit. Iman yang tidak menuntut pertanyaan, dan iman yang tidak membutuhkan jawaban. Tamat, itulah kecerdasan membaca buku diri. Kecuali takdir (putusan) hukum Tuhan (sunnatullah) terhampar pada hukum alam semesta yang bekerja (nature of law). Manusia adalah pemimpin (khalifah) bagi alam semesta. Manusia lebih mulia daripada alam. Manusia lebih unggul daripada semua makhluk. Dengan catatan, jika mereka beriman! Kalau potensi kepemimpinan ini tidak digunakan secara maksimal, sungguh sangat merugi. Merugi saat tidak mengambil kesempatan yang hanya sekali ini saja.

Apa yang dimaksud kesempatan berharga senilai emas? Bukan dengan cara menumpuk benda-benda duniawi. Atau menimbun, menyembunyikan apa yang menjadi hajat orang banyak. Kemuliaan tidak dengan cara memperbanyak harta dan keturunan (takatsur). Dan, bukan pula dengan kesombongan karena keberhasilan dalam capaian duniawi (tafakhur). Lihatlah hari ini, dampak covid-19, betapa banyak perusahaan besar, kecil dan menengah yang "gulung tikar." Bukan sebab kesalahan manajerial, namun kehendak sang penguasa alam. Artinya, pasca covid-19, dunia memasuki horizon baru yang serba tidak menentu. Banyak manusia galau, dunia berada pada kondisi yang tidak pasti. Artinya, saat dunia dingin membeku, dibutuhkan api unggun penghangat diri. Ketika dunia panas membara, diperlukan air penyejuk diri. Kini, dimana api unggun penghangat? Dimana air penyejuk, es dan salju? Bahkan sanggup menyirami diri?

Tatkala manusia mencarinya di luar. Sungguh, selamanya mereka tidak pernah bertemu. Apa yang mereka cari di luar laksana fatamorgana. Kebahagiaan yang mereka cari di luar, begitu didekati, ternyata hanya bayangan palsu. Niscaya kebohongan, kepalsuan. Jadi, kehidupan duniawi tiada lain, kecuali bayangan (efek) suara yang menyentuh gendang telinga. Akhirnya, menghasilkan pendengaran. Efek cahaya yang menyinari lensa mata ke wujud benda atau ruang. Ujungnya, menghasilkan penglihatan. Tidak berlebihan jika kitab suci menyatakan bahwa kehidupan duniawi adalah permainan dan senda gurau. Demikian juga selayaknya kitab diri menyingkap bahwa kehidupan duniawi adalah adegan "wayang orang."

Bicara, dia juga efek perpaduan kerja alam semesta yang diizinkan oleh-Nya. Sinkron lidah, susunan gigi, pipi, struktur mulut, lalu menghasilkan ucapan. Namun, apakah manusia hanya terhenti meyakini kerja alam semesta? Telah mafhum, sungguh alam semesta ini hakikatnya mati (alkaunu mayyit). Oleh sebab itu, Tuhan berfirman:  "Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu: Jangan kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu, musuhmu yang nyata." (Yasin:60).

Jago penyamaran merupakan perilaku buruk syaitan. Supaya dia diikuti. Kadang menjadi orang yang sangat taat (jin qarin). Kadang menjadi orang yang sangat durhaka (jin qarin). Namun ingat, semua berdimensi pada bumi hati.

Di bumi, kamu dilahirkan dan dihidupkan. Di bumi, kamu dimatikan. Di bumi, kamu dipanggil untuk dibangkitkan. Faktanya, orang yang sudah mati secara syariat, sedang secara hakikat, dia bisa dipanggil untuk datang. Karena, bumi Allah ini luas, maka sembahlah Aku (Allah) saja. Dan, bumi seluruhnya akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang saleh. Lalu, dimanakah letak geografis bumi yang dijanjikan itu? Apakah seperti bumi yang dijanjikan Tuhan kepada orang-orang Yahudi? Apakah bumi di surga akhirat yang jauh itu?

Temukan surga sekarang, saat Aku (Allah) bertahta pada hati-Ku (Allah). Penghancuran dan pelepasan diri yang fana, muspra, adalah bumi surga yang dijanjikan dan bumi surga yang disegerakan datangnya (jannah mu'ajjalah). Tuntas, dengan hati yang bersih (qalbun salim). Manusia mukmin kamil yang menemukan akhir perjalanan rute Tuhan, merekalah yang telah berada di dalam rahmat Allah dan mereka kekal didalam-Nya (fi rahmatillahi hum fiha khalidun). Ketika sudah berada didalam rumah Allah (bayt Allah), sungguh kesenangan abadi telah mereka dapatkan. Tiada gusar, tiada gundah gulana. Bila telah sanggup memandang Allah di dunia (bagaimana caranya?). Pasti, sanggup memandang Allah di akhirat.

Hak-Nya, memandang dan dipandang. Mendengar dan didengar. Ketika itu, dimana letak (posisi) manusia. Manusia hanya mendengarkan dan didengarkan. Hakikatnya, diri manusia adalah alam semesta yang mati (kaunuhu mayyit). Diri manusia adalah alam semesta yang buta (kaunuhu 'ama, 'umya). Diri manusia ialah alam semesta yang tuli (kaunuhu shumma). Diri manusia ialah alam semesta yang bisu (kaunuhu bukma). Disini, letak kebebasan spiritual. Artinya, pelepasan hak diri makhluk ke diri Tuhan yang sejati nan abadi. Makna wakaf yang diperluas.

Makna wakaf batin yang diperluas tadi, berupa pelepasan hak dimana manusia tidak lagi mengaku Tuhan. Manusia tidak lagi mengaku nabi, wali, guru, mursyid. Sebab, Allah SWT, Dialah pemilik kebaikan dan semua keluhuran (ahlul-jud). Dialah pemilik kemurahan (ahlul-karamah). Wakaf batin sama dengan pelepasan hak kepemilikan. Pelepasan kewajiban, pelepasan hukum, dan pelepasan semua yang sanggup mengikat. Menuju kepada Allah (tarqiyyah), berasal dari-Nya (tanazzuliyah).

Penutup bahasan, kecerdasan membaca buku diri ialah kesanggupan memerdekakan diri dari segala ikatan. Kemerdekaan diri merupakan capaian dari ujung studi akhlak tasawuf. Maksudnya, hilang debat, muncul kasih sayang. Tenggelam sifat dengki, terbit sifat kemurahan. Dapati Tuhan didalam diri sendiri, bukan diluar diri sendiri. Temukan Tuhan di dalam hati, bukan di jalan hati. Wallahua'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TIPUAN PAHALA DAN DOSA CIRI AKHIR ZAMAN

CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

KULIAH AGAMA - KETUHANAN YME DAN FILSAFAT KETUHANAN