EMPAT MEDAN UJIAN
EMPAT MEDAN UJIAN
Oleh
Ma'ruf Zahran Sabran
MUSIBAH terbagi dua, pertama musibah (ujian) menyenangkan yang
mengandung item kebaikan (khair) seperti dampak taat dan nikmat. Kedua musibah
(ujian) yang tidak menyenangkan sehingga mengandung item kejahatan (syar)
seperti dampak dosa dan bala'. Nikmat bersifat menyenangkan sebab berkesesuaian
dengan hawa napsu, ingin nyaman, mudah, kaya, berilmu, berpangkat, berharta.
Adapun bala' tidak menyenangkan karena berlawanan dengan hawa napsu. Hawa napsu
bermusuh dengan kepayahan diri, miskin, bodoh, terhina. Walau demikian, hawa
napsu tidak pernah bersyukur bagaimana-pun banyaknya nikmat, dan hawa napsu
tidak pernah bersabar meski sudah terlalu banyak bala'. Sebab awalnya hawa
napsu telah berniat mendurhakai Tuhan pencipta-nya, kecuali hawa napsu yang
telah dilemahkan dengan berpuasa, dan sudah dirahmati Tuhan (baca surah
Yusuf:53).
Bahaya hawa napsu sudah dijelaskan dalam kitab Alhikam
(hikmah-hikmah), merupakan kitab yang dikarang oleh Imam Ahmad ibnu Athaillah
(wafat Mesir, 709 H) pada pasal ke 104, pengarang berujar: "Tidak tersamar
jalan petunjuk untuk-mu, kadang yang menyamarkan adalah napsu yang
diikuti." Beliau juga mengutip doa dari Rasulullah SAW: "Wahai Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari hawa napsu yang ditaati" (Allahumma inni
a'udzubika min hawa-immutha').
Petunjuk taat sudah jelas yaitu rendah hati (tawaduk), sedang napsu
menghendaki taat untuk tinggi hati (takabbur). Bila taat dengan tinggi hati
artinya hamba telah gagal meraih anugerah pertolongan Tuhan (madadun-ilahi).
Sedang bila taat dengan rendah hati artinya hamba telah berhasil mendapat
anugerah pertolongan Tuhan (madadun-ilahi). Demikian pula petunjuk maksiat
supaya segera bertaubat, petunjuk nikmat adalah syukur, petunjuk bala'
(bencana) adalah sabar. Maksudnya menyikapi taat dengan rendah hati dan tawakal
(berserah-diri), menyikapi maksiat dengan taubat, menyikapi nikmat dengan syukur, menyikapi bala (bencana) dengan bersabar. Rumus tersebut sudah dipahami
oleh semua orang. Namun kenapa gerangan taat dengan sombong, sehingga menjadi
penghalang ikhlas. Maksiat dengan putus asa dari ampunan Allah, sehingga
menjadi penghalang taubat. Nikmat menjadi penghalang syukur sehingga memantik
kufur. Bala' (bencana) menjadi penghalang sabar sehingga berkeluh-kesah?
Penghalang semua itu adalah hawa napsu.
Apa-apa yang menimpa-mu tentang kebaikan adalah datangnya dari
Allah (ma ashabaka min hasanah, faminallah). Ironi, kemudian manusia mengaku
taat datang dari dirinya, bukankah ini menuhankan sumber taat dari diri (napsu
taat). Napsu taat akan mendatangkan dosa batin seperti riya' atau ingin dilihat
dan dipuji orang lain, atau memuji diri sendiri, kagum dengan diri yang sedang
taat ('ujub). Padahal taat menyuruh ikhlas, ikhlas sebelum beramal, ikhlas saat
beramal, ikhlas sesudah beramal. Perilaku taat menjadi medan ujian yang pertama
datang dari Tuhan.
'Ujub artinya merasa diri suci, bersih, takwa, taat dan atribut
keagamaan lainnya. Penyakit batin ini menghinggapi para ilmuwan, agamawan dan
para penuntut ilmu, mursyid dan murid. Mereka berada pada kawasan kesucian,
keilmuan. Mereka sangat dekat dengan majelis pengajian dan pengkajian. Kelompok
ini diwakili oleh Samiri (ilmuwan), dan Bal'am bin Ba'ura (agamawan). Mereka
berdua hidup pada masa Musa, Musa seorang utusan Tuhan dari negeri Mesir. Top
brand kesombongan bersumber dari Iblis.
Uraian di atas bermaksud agar jadilah diri Muhammad yang taat,
bukan diri Iblis yang taat. Diri Muhammad yang taat adalah Muhammad yang
ikhlas, Muhammad yang syukur, sabar, ridha, taubat. Muhammad yang taat adalah
Muhammad yang merendahkan diri di hadapan kaum beriman (wakhfidh janahaka lil
mukminin). Bukan menjadi diri taat seperti Iblis yang sombong karena iman,
ilmu, amal, ibadah dan senioritas.
Perilaku maksiat menjadi medan ujian kedua. Setelah didalam taat
terdapat maksiat, lalu didalam maksiat mengandung taat. Taat bagi pelaku
maksiat adalah taubat, sedang maksiat bagi pelaku taat adalah kesombongan.
Banyak pelaku taat dengan kesombongan telah mengantarkan mereka ke neraka.
Tidak sedikit pendosa dengan air mata taubat karena takut kepada Allah ('ainun
bakat min khasy-yatillah) mampu dijemput oleh sang pemilik surga. Jangan
sepelekan dosa, mungkin jalan paling dekat bagi-mu untuk lebih mengenal sang
pengasih. Lumpur dosa yang dapat memberi-mu jalan agar lebih dekat dengan-Nya.
Kotoran dosa yang menerbangkan jiwa untuk lebih mengenal-Nya, mencintai dan
memeluk-Nya, sebab Dia sudah memeluk-mu dengan erat, dan tidak akan dilepaskan
lagi untuk selamanya. Sungguh kondisi ini hanya diperoleh dari pintu taubat.
Jangan banyak ayat, satu ayat saja jika bermuatan hidayah dan
taufik, ayat tersebut mampu membuat seseorang hijrah karena anugerah yang agung
(waridat) dari Allah SWT. Perubahan (awareness) telah Tuhan contohkan
dikalangan para nabi dan para wali-Nya. Tidak mengherankan kini, mereka menulis
lembaran kehidupan dengan tinta emas, setelah gelapnya (habis gelap terbitlah
terang). Bagaimana kehidupan Yusuf, Ayub, dua orang utusan yang
malang-melintang dalam perjalanan karier kenabian. Atau contoh dari ayahnda
Adam, Nuh, Hud, Luth, Saleh, Ibrahim, mereka didustakan oleh kaum-nya. Bahkan
dibunuh seperti Zakaria, Yahya. Sedang upaya pembunuhan juga dilakukan kepada
Isa putera Maryam, namun gagal.
Para wali dan kaum beriman banyak yang mendapat hidayah, taufik dan
waridat dari sebab pembacaan atau mendengar ayat Tuhan dibacakan. Satu ayat
Alkitab Alquran mampu merubah pola kebiasaan hidup seseorang dari jahat menjadi
baik, dari baik menjadi lebih baik lagi, bertingkat-tingkat mereka menuju
Tuhan-nya (latarkabunna thabaqan 'an thabaq). Contoh Ibrahim bin Adham dan
Fudhail bin Iyadh. Dua sufi besar dunia dalam pantauan kajian hikmah.
Ibrahim bin Adham sebagai pangeran kerja-nya hanya berburu ditemani
kaki-tangan kerajaan dengan kuda pilihan, panah pilihan. Namun pada saat dia
berburu di hutan, ada suara yang menegurnya: "Wahai Ibrahim, dengan tujuan
inikah (berburu) engkau diciptakan?" Ibrahim terpana, seketika dia
teringat ayat yang sudah lama tidak dia sentuh: "Dan Kami tidak
menciptakan jin dan manusia, kecuali dengan tujuan beribadah."
(Adz-Dzariyat:56). Satu ayat ini telah membuat Ibrahim konversi dengan masa
lalunya. Lain pula kisah hijrah Fudhail bin Iyadh (seorang raja preman) yang
beralih menjadi sufi besar dunia.
Fudhail bin Iyadh saat pulang malam, dalam perjalanan dia mendengar
ayat Alquran dibaca, sumber suara berasal dari sebuah rumah di kota Bagdad. Dia
terhenti dan hatinya menyimak bacaan ayat 16 surah Alhadid: "Belum tibakah
waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk secara khusyuk mengingat Allah dan
mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan. Janganlah mereka seperti orang-orang
terdahulu yang telah menerima kitab, kemudian mereka melalui masa hidup yang
panjang, sehingga hati mereka keras. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang gemar berbuat dosa (fasiqun)." Ibrahim bin Adham berdialog dengan
ayat ini didalam hati-nya, seraya berkata: "Ya Allah, tiba saatnya aku
berubah."
Ayat yang sudah mengundang hidayah, taufik dan futuh (pembukaan)
bagi hati dan ruhi Fudhail. Ibarat gayung bersambut, saat Fudhail menyatakan
tiba waktu bagiku agar beriman, khusyuk mengingat Allah, mematuhi kebenaran dan
tidak menjadi pendurhaka. Kepastian tersebut Tuhan jawab pada ayat berikutnya
(Alhadid ayat 17): "Ketahuilah, sungguh Allah yang menghidupkan bumi
setelah matinya. Benar, telah Kami jelaskan kepadamu ayat-ayat, agar kamu
mengerti." Tuhan sudah menghidupkan hati Fudhail yang mati, menyirami yang
kering, menerangi yang gelap, dan merubah hidupnya ke jalan Tuhan untuk lebih
khusyuk sampai akhir hayat Fudhail.
Fudhail bin Iyadh kemudian meninggalkan Bagdad menuju Mekah. Di
Mekah dia berguru dengan Sufyan Tsauri dan mursyid besar lainnya. Akhirnya,
Fudhail bin Iyadh menjadi sufi besar yang setara dengan As-Sibli, Ma'ruf
Alkarhi, dan Attabik Ghulam. Fudhail bin Iyadh dan Ibrahim bin Adham adalah
sedikit contoh perjalanan konversi kehidupan sampai mereka mengenal Tuhan yang
sebenarnya. Tidak luput, sejarah telah meliput mereka.
Perilaku penikmat dari nikmat Tuhan menjadi medan ujian. Medan
ujian ketiga ini banyak yang gagal atau tidak lulus ujian. Sebab nikmat
bergelimang dengan hawa napsu. Kesenangan menjadi anak kandung hawa napsu,
kemudahan sebagai sahabat hawa napsu, kesehatan dan waktu luang menjadi alat
pelalai manusia dari zikir maut. Kemewahan menjadi pasangan hidup hawa napsu,
sehingga lupa dengan amanah nikmat yang Tuhan pesankan yaitu syukur.
Medan ujian keempat adalah bala'. Bedanya, dengan ujian nikmat
banyak orang merasa tidak sedang diuji. Bahkan ujian nikmat bisa menyebabkan
seseorang sombong. Nikmat harta yang disombongkan bisa menjadi siksa.
Jadi, musibah bala' telah banyak menyadarkan manusia ke jalan
kebenaran Muhammad SAW. Mudahan pengalaman spiritual yang sebentar, mampu
memberikan bekas yang lama bagi kebangkitan rohani dan kesadaran beragama yang
murni. Ketaatan yang stabil saat lapang dan sempit, saat kaya dan miskin, di
darat dan di laut. Dalam nasehat-Nya: "Maka apabila mereka naik kapal,
mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (tauhid).
Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka syirik,
mempersekutukan Allah. Biar mereka mengingkari nikmat yang Kami berikan kepada
mereka untuk bersenang-senang. Kelak mereka akan mengetahui akibat
perbuatan-nya." (Al-Ankabut:65-66). Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar